Tanpa mengurangi rasa ta’dhim dan kagum terhadap Ustadz Adi Hidayat (UAH), tulisan ini mencoba mengoreksi bagian kecil dari sabqu al-lisân (salah ucap) UAH tentang kalimat masyallah.
Siapa yang tak kenal dengan Ustadz Adi Hidayat (UAH), sosok ustadz cerdas yang ceramahnya banyak tersebar di akun media sosial dan telah ditonton jutaan orang. Ustadz kelahiran Banten ini memang terkenal cerdas sejak kecil.
Tidak mengherankan, jika ustadz lulusan Libiya yang hafal Alquran ini, ketika dewasa tumbuh menjadi sosok da`i muda yang kharismatik. Terkenal akan keluasan ilmunya, ceramahnya banyak diminati jutaan jamaahnya.
Di antara keahlian yang dimiliki, sekaligus menjadi kekhasan dari seorang UAH adalah kemampuannya dalam menjelaskan secara detail kandungan ayat-ayat Alquran. Bahkan lengkap dengan nomor ayat dan surat, serta posisi ayat dalam mushaf.
Kemampuan ini jarang dimiliki ustadz-ustadz lain. Ustadz Abdussomad (UAS) -pendakwah masyhur dengan jutaan viewer– pun telah mengakui kehebatan UAH, dan beliau mengakui tidak sanggup untuk menirunya.
Kalimat subhânallah dan mâ syâ Allah
Salah satu ceramah beliau yang menyita perhatian saya adalah saat beliau menjelaskan penggunaan kalimat subhânallah dan mâ syâ Allah. Dalam video berdusari 2,43 menit yang dimuat di akun youtube ini beliau menjelaskan bahwa kalimat tasbih subhânallah dihadirkan dan dimunculkan untuk menolak ucapan yang isinya tidak sesuai dengan keagungan dan kebesaran Allah swt.
Pada saat melihat sesuatu yang kurang baik, maka ucapkanlah subhânallah.. dan jika ada sesuatu, yang menghadirkan keindahan, takjub, luar biasa, maka ucapkan mâ syâ Allah”. Beliau menjelaskan hal ini seraya menyitir QS.al-Kahfi (18): 39.
Penjelasan beliau sampai detik ini sangat jelas dan mengagumkan. Namun yang membuat janggal adalah pada saat UAH mengatakan bahwa kata mâ (ما) pada lafadz ما شآء الله yang terdapat di QS. 18: 39 merupakan mâ ta`ajjub (bermakna kagum), sehingga kalimat ما شآء الله beliau artikan dengan “Allah… saya kagum dengan keindahan ini”.
Benarkah kata Mâ pada kalimat Mâ syâ Allah adalah Mâ Ta`ajjub ?
Abu Hayyan al-Andalûsi (w.745 H) dalam Tafsir al-Bahru al-Muhîth (Juz 7/254) menjelaskan bahwa kalimat ما شآء الله pada QS. 18: 39 berarti bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah swt. Sedangkan untuk kata ما yang mengawalinya terdapat tiga alternatif; Pertama sebagai ما syarthiyyah mahal nashab dengan jumlah jawab yang dihilangkan, sehingga kalimat masyi`ah tersebut dapat ditejemah “Apa yang dikehendaki Allah maka pasti terjadi”.
Kedua, mâ maushul yang bermakna الذي dan mahal rafa` sebagai mubtada` dari khabar yang dihilangkan. Sehingga bermakna “segala sesuatu yang dihendaki Allah itu terjadi”.
Ketiga, berstatus mâ maushul mahal rafa` sebagai khabar dari mubtada` yang dihilangkan, dan bermakna “Hal itu merupakan sesuatu yang telah Allah kehendaki”.
Abul Barakat an-Nasafi (w.710 H) dalam Tafsir Madârik at-Tanzil wa haqâ’iq at-Ta’wîl (Juz 2/239) memberikan uraian yang tak jauh berbeda. Menurutnya, kata mâ pada kalimat ما شآء الله merupakan mâ maushul yang berstatus sebagai mubtada` atau khabar, dan dapat pula menjadi mâ syarthiyyah mahal nashab. Kalimat tersebut merupakan pengakuan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah swt.
Sementara al-`Ukbâri dalam at-Tibyân fî i`râbi al-qur`ân (Juz 2/848) mengatakan bahwa ما pada kalimat ما شآء الله terdapat dua wajah, yaitu sebagai mâ maushul yang memiliki makna layaknya kata الذي dan berstatus sebagai mubtada` atau khabar, dan bisa juga sebagai mâ syarthiyyah, sementara jawab syarat nya dihilangkan.
Berdasarkan penelusuran dari beberapa literatur kitab tafsir dan qawâ`id `arabiyyah, tidak ada satupun ulama ahli tafsir dan ahli bahasa yang memposisikan kata ما pada kalimat ما شآء الله sebagai mâ ta`ajjub atau mâ yang berarti kekaguman.
Uslub Ta`ajjub dalam bahasa Arab
Uslub ta`ajjub merupakan gaya bahasa untuk mengungkapkan kekaguman atau takjub atas sesuatu. Dalam bahasa Arab terdapat dua wazan (pola) untuk membuat shigat ta`ajjub, yaitu wazan مَا أَفْعَلَهُ dan أَفْعِلْ بِهِ . Seperti uraian Ibnu Malik (w.672 H) dalam kitab Alfiyah bait ke 474:
بِأفْعَلَ انْطِقْ بَعْدَ مَا تَعَجُّبَا ¤ أوْ جِئْ بِأفْعِلْ قَبْلَ مَجْرُورٍ ببَا
Contoh kalimat ta`ajjub seperti: ما أجملَ السماء atau أَجْمِلْ بالسماءِ (alangkah indahnya langit itu), ما أعذبَ ماءَ النيل (betapa jernihnya air sungai Nil). Kata ما yang mengawali dua wazan tersebut disebut sebagai mâ ta`ajjub yang bermakna kekaguman atau takjub.
Selain dua pola di atas, terdapat juga beberapa bentuk kalimat yang juga berfaedah ta`ajjub atau kagum, yang hanya dapat diketahui dengan adanya qarînah (petunjuk kuat). Seperti bentuk istifham dalam QS.al-Baqarah (2): 28, dan tamyiz pada kalimat لله دره فارسا.
Dalam Mu`jam al-Ma`âni (www.almaany.com) kalimat ما شآء الله juga dikategorikan sebagai ungkapan yang dapat berfaedah sebagai istihsân dan ta`ajjub, hanya saja perlu ditegaskan kembali bahwa kalimat tersebut bukan mengikuti sighot ta`ajjub sehingga kata ما yang mengawalinya bukanlah mâ ta`ajjub. Makna ta`ajjub di dalamnya hanya terjadi pada saat disesuaikan dengan konteks kejadian, bukan dari segi lafadznya.
Last but not least, saya ber-husnudzon bahwa ucapan beliau ini bagian dari bentuk sabqu al-lisân (salah ucap), sehingga sebagai orang yang mengagumi keilmuan beliau, saya terpanggil untuk memberikan koreksian atas setitik kekeliruan (minimal menurut pandangan saya pribadi), sama sekali tanpa bermaksud mengkritik apalagi merendahkan kealiman UAH.
Wallâhu a`lam