fatwa
fatwa

Memahami Fatwa (8): Kepribadian Mufti Menurut Ahmad Bin Hambal

Seorang mufti menjadi corong dan mediator penyampai aturan-aturan syariat terutama yang terkait dengan hukum Islam. Ia berposisi sebagai wakil Tuhan layaknya seorang rasul, serta melanjutkan misi risalah Nabi. Dengan begitu, seorang mufti dituntut tidak hanya memiliki kualitas keilmuan yang memadai, namun ia juga harus mempunyai kepribadian yang utuh, karena hal ini menyangkut persoalan agama yang transendental. Kriteria kredibilitas dan kepribadian yang harus dimiliki antara lain bersifat ajek, jujur, menjaga muruah, berkelakukan baik, mempunyai track record yang baik, percaya diri, dan diakui kemampuannya (baca kembali artikel unsur-unsur fatwa dan kriteria seorang mufti).

Selain itu, Imam Ahmad bin Hambal, pendiri mazhab Hanabilah atau Hambali, secara lebih detail memberikan kriteria terkait kepribadian seorang mufti mengingat betapa pentingnya fatwa, penuh risiko, dan tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang kecuali telah memenuhi kualifikasi mufti. Menurutnya, seseorang yang memenuhi kriteria kualitas keilmuan sebagai mufti, seyogianya tidak boleh tampil untuk memberikan fatwa kecuali telah memeliki lima kepribadian berikut ini.

Pertama, mempunyai niat yang tulus, komitmen yang kuat. Dalam berfatwa harus diniati ikhlas karena Allah, mengharap ridla-Nya, bukan dalam rangka mencari jabatan atau kekayaan duniawi, bukan pula karena takut terhadap penguasa. Fatwa yang tidak disertai niat yang tulus tidak memiliki aura positif dan tidak membekas dan menghujam dalam hati masyarakat, sehingga apa yang disampaikan oleh mufti tidak mengandung petuah yang bermakna.

Kedua, memiliki sifat sabar, ketajaman berpikir, pengertian yang mendalam, memiliki kewibawaan dan ketenangan dalam bertindak, tenteram dan damai. Sikap tersebut sangat dibutuhkan oleh seorang mufti agar fatwa yang dikeluarkan benar-benar berangkat dari kematangan berpikir dan cakrawala pemahaman yang luas, tidak tergesa-gesa dalam memutuskan, sehingga penjelasan yang disampaikan menjadi komprehensif. Orang bijak mengatakan, kesabaran merupakan pakaian yang pantas dimiliki oleh orang yang berilmu, kesabaran akan berbuah ketenangan, kewibawaan, dan ketenteraman yang membawa kedamaian.

Ketiga, harus memiliki bekal dan kekuatan yang cukup untuk mendukung posisi fatwa dan segala resiko yang akan ditimbulkan. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang persoalan yang sedang membutuhkan fatwa, sehingga mampu mem-back up segala persoalan rentetan yang dimungkinkan akan terjadi. Dengan bekal yang memadai, maka seorang mufti tidak sedang menjerumuskan dirinya terhadap resiko tingkat tinggi.

Keempat, memiliki kecukupan dan kekayaan hati ataupun harta. Dimaksud dengan kecukupan dalam konteks ini adalah mufti tidak mempunyai kepentingan dan tidak membutuhkan terhadap apa yang ada di tangan manusia, berupa harta ataupun jabatan. Jika seorang mufti masih mengincar sesuatu dan memiliki kepentingan maka akan mencemarkan fatwa dan akan mendapat cibiran masyarakat. Hal itu akan menjadikan fatwa tidak berpetuah dan kehilangan taringnya.

Kelima, memahami kondisi sosial masyarakat. Hal ini mencakup berbagai aspek sosial yang perlu dipelajari dan dipahami. Antara lain, harus selalu bersikap waspada terhadap deskripsi permasalahan yang dipaparkan oleh penanya, supaya tidak terjerumus dan tergiring kepada hal-hal yang menimbulkan kebencian. Harus mampu membaca situasi dan kondisi agar terhindar dari tipu muslihat orang zalim berpenampilan orang yang dizalimi (madzlum), orang dalam posisi salah mengaku dipihak yang benar.

Di samping itu, harus memahami kondisi sosial masyarakat yang menjadi obyek fatwa, yang terbaik buat mereka, yang paling maslahat buat kehidupan mereka, sehingga hukum yang muncul dalam fatwa disesuaikan dengan latar belakang sosial mereka agar tidak terlalu miring kanan atau kiri. Intinya, fatwa yang muncul merupakan keputusan dan hasil ijtihad yang mempertimbangkan segala aspek sosial kemasyarakatan agar fatwa dapat diterapkan dengan pas dan membawa kebaikan bersama. []

Wallahu a’lam bisshawab.

Referensi utama:

Abdurrahman al-Najdi, Dlawabith al-Fatwa fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, Cet. II, 2007, hal. 118-121.

Manshur bin Yunus bin Idris al-Bahutiy, Kasysyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’, Jilid VI, Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1983, hal. 299.

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …