Benci dan cinta merupakan sikap dasar yang melekat dalam diri manusia di setiap interaksi yang dilakukan oleh seseorang. Bila interaksi itu merugikan, pastilah membenci. Dan kala menguntungkan niscaya mencinta.
Kebencian yang mengebu-gebu seringkali membuat seseorang lepas kendali; baik tindakan ataupun ucapan, arogansi, bahkan bertindak brutal. Sumpah serapah hingga kutukan tak beralamat seperti mendo’akan keburukan kepada orang lain.
Kadang karena ketidaksukaan atau kekecewaan terhadap sebuah sistem pemerintahan atau kejadian politik, seseorang termakan kebencian sehingga tak segan mendoakan lawannya agar segera mati. Doa dengan umur pendek termasuk doa paling buruk karena menghendaki orang lain cepat mati.
Lalu bagaimana aturan agama melihat fenomena ini?
Pada dasarnya, agama sama sekali tidak melarang umatnya untuk berdoa. Malah, doa itu diperintah. Firman Allah
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhan kamu berfirman: “Berdoalah kamu kepada-Ku nescaya Aku perkenankan doa permohonan kamu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong takbur daripada beribadat dan berdoa kepada-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina”. QS: Ghafir: 60
Menurut Ibnu ‘Ajibah, doa dengan segala dimensinya pasti terkabulkan. Termasuk juga mendoakan keburukan untuk orang lain, seperti segera meninggal dan lain sebagainya. Tafsir Ibnu ‘Ajibah, 5/ 378
Namun, menurut al-Imam al-Barbahari, tak baik mendoakan seorang dengan doa buruk, apalagi terhadap pemimpin. Menurutnya, justru mendoakan baik kepada seorang pemimpin dan penguasa adalah praktik ‘sunnah Nabi’. Hingga Imam Fudhail Ibn ‘Iyadh berkata: andai aku memiliki doa yang mustajab, niscaya akan aku gunakan untuk mendoakan kebaikan seorang Penguasa.
Ibn al-Mubarak, memohon penjelasan terhadap perkataan Ibn al-‘Iyadh. Menurutnya, jika aku gunakan do’a mustajab itu untuk diriku sendiri, maka hanya aku saja yang merasakan manfaatnya, tetapi jika aku gunakan untuk mendo’akan baik seorang penguasa, kemudian penguasa menjadi baik, maka bukan hanya penguasa yang baik, rakyatpun akan menjadi baik. Karena kesalehan rakyat tergantung akan kesalehan Pemimpinnya. Maka, aku melarang untuk mendo’akan keburukan untuk Pemimpin. Al-Fawaid al-‘Asyr, 1/38
Syaikh Dimytahi Syatha al-Bikri mengutip warning al-Syarbini berkata dalam kitab Mughni al-Muhtaj bahwa orang yang didzalimi boleh mendoakan buruk pada orang yang mendzalimi.
Firman Allah
لا يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلا مَنْ ظُلِمَ
“Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya”. QS:Al-Nisa’:148
Menurut al-Suyuthi orang yang teraniaya secara ekonomi, social, dan lain lain boleh memilih untuk membalas melakukan penganiayaan serupa atau mendoakan buruk bagi orang yang telah mendhaliminya. Tafsir al-Jalalain 2/148
Jika pemimpin terkategori penguasa yang dhalim, maka menurut agama, mereka boleh didoakan buruk oleh rakyatnya yang merasa terdhalimi. Jika tidak, maka orang yang mendoakan buruk bagi orang baik baik, ibarat meludah ke langit. Akhirnya ludah itu akan jatuh menimpa wajahnya sendiri.
Namun, kadang perlu kita harus berhati-hati. Terkadang dalam dinamika politik ketidaksukaan terhadap lawan politik mudah menjadi wabah kebencian. Kebencian itulah yang mendorong ucapan bahkan doa yang buruk terhadap orang lain. Karena itulah, kita harus berhati-hati karena bisa jadi doa buruk itu akan berbalik kepada diri kita, termasuk yang mengamini.
Wallahu a’lam bish shawab
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah