sejarah gelar habib
sejarah gelar habib

Menelusuri Jejak Sejarah Penyematan Gelar Habib (Bagian 2)

Fase Penyebaran

As-Syathirî dalam catatan sejarahnya yang terangkum dalam kitab Sîratu as-Salaf min Banî `Alawî  (2001: 17-18) menguraikan secara rinci fase-fase persebaran mereka ke berbagai negara di dunia dengan beberapa gelar (laqab) yang pernah disematkan kepada tokoh-tokoh dan para pembesar dzurriyah  nabi.

Pada fase pertama, yang berlangsung sejak abad III hingga abad IX hijriyah, gelar yang diberikan kepada para tokoh dari kalangan dzurriyyah nabi ini adalah al-Imam. Tokoh-tokohnya yang terkenal di antaranya al-Imam al-Muhajir, al-Imam `Alawi bin Ubaidillah dan al-Imam Sayyid Muhammad bin Ali Ba `Alawi yang lebih dikenal dengan nama al-Faqîh al-Muqaddam. Banyak di antara mereka yang merupakan imam-imam mujtahid, dan sebagian besar ijtihadnya bersesuaian dengan pandangan Imam Syafi`i.

Fase kedua (abad IX – pertengahan abad XI H) julukan yang diberikan terhadap tokoh-tokoh dzurriyah kala itu adalah as-Syaikh. Fase ini berlangsung kisaran pada masa sayyid al-Faqih al-Muqaddam sampai masa al-Haddad. Pada fase ini, seiring dengan semakin banyaknya suku-suku dari kalangan `alawiyyin maka mereka mulai membentuk sistem kepemimpinan sosial dengan bentuk Naqābah, dengan cara memilih seorang ketua umum dengan dibantu sebuah majlis yang terdiri dari sepuluh orang, perwakilan dari masing-masing klan atau kabilah.  Hal ini bermula sejak masa al-Mihdār, tepatnya di akhir abad IX hijriyah.

Fase ketiga (Abad XI – XIV H) gelar yang disematkan kepada para tokoh dan pemuka Bani `Alawiyyin adalah Habib. Tokoh-tokoh yang terkenal pada masa ini di antaranya Habib Abdullah bin `Alawi al-haddad, Habib Ahmad bin Zain al-Habsyi, Habib Hasan bin Shalih al-Bahar, dan lain sebagainya. Pada fase ketiga ini mulai banyak bermunculan beberapa manshib (fam atau marga) di kalangan mereka, seperti al-`Atthas, al-`Idrûs, al-Habsyi, al-Haddād, al-Jufriy, al-Syathirî, dan lain sebagainya.

Fase ini, tepatnya pada kisaran abad XI dan XII Hijriyah, terjadi gelombang migrasi secara besar-besaran yang di kalangan `Alawiyyin ke berbagai negara, seperti ke India, Afrika, wilayah Timur Jauh, termasuk pula ke pulau Jawa, semenanjung Melayu dan berbabagai wilayah lainnya. Di wilayah barunya, banyak keturunan `Alawiyyin yang berhasil menjadi pengendali gerakan perdagangan bahkan mendirikan sebuah kerajaan, yang jejak-jejaknya masih tetap eksisi hingga saat ini. Seperti kerajaan Sayyid al-`Idrus di Sirte Libiya, Kerajaan keluarga Al-Qadri dan Syeikh Abu Bakar bin Salim di Komoro (Afrika Timur), serta kerajaan Qadariyah di Pontianak Indonesia.

Fase ke empat (awal abad IV – sekarang), gelar  yang disandangkan adalah Sayyid. As-Syathiri menengarai fase ini sebagai masa-masa kemunduran bagi kalangan bani `Alawiyyin di berbagai sendi kehidupan, seperti halnya kemunduran dan dekadensi yang dialami oleh dunia Islam. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadi kemerosotan ini, namun faktor terbesarnya adalah tidak adanya sistem pendidikan yang baik.

Pergeseran Penyematan Gelar Habib di Kalangan Muslim Indonesia

Mengacu pada rentetan sejarah yang ditampilkan di atas, ditengarai bahwa penyematan gelar habib terhadap kalangan `Alawiyyin dan seluruh dzurriyah nabi secara umum yang lazim diberikan masyarakat Indonesia hingga saat ini disebabkan kedatangan mereka ke nusantara ini banyak berlangsung pada fase ke tiga, dimana saat itu julukan yang berkembang luas adalah istilah habib. Hingga akhirnya penyebutan ini diwariskan secara turun temurun sampai saat ini.

Selain itu, penulis juga melihat terjadinya pergeseran atau lebih tepatnya sebagai perluasan istilah yang terjadi di tengah masyarakat dalam penyematan gelar habib. Pada mulanya, gelar-gelar yang dipaparkan di atas, (al-Imam, as-Syekh, al-Habib, dan as-Sayyid), hanya diberikan kepada pembesar atau tokoh-tokoh dari kalangan `Alawiiyyin. Tidak semua mereka yang memiliki pertalian nasab dengan bani `Alawi dapat menyandang gelar tersebut. Gelar itu hanya diperoleh bagi orang-orang yang telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang telah disepakati dalam norma sosial. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya, seperti yang banyak terjadi di Indonesia, gelar habib itu dengan mudah disematkan kepada siapa saja yang masih memiliki trah atau nasab yang dianggap sampai dengan sayyidina Hasan dan Husein bin Ali.

Oleh sebab itu, Sayyid Zein Umar bin Smith, ketua Rabithah `Alawiyyah Indonesia, pernah menyatakan bahwa penyematan kata “habib” secara serampangan kepada setiap kalangan bani `Alawiyyin merupakan bentuk kesalahan yang perlu diluruskan. Gelar habib tidak bisa diberikan kepada setiap sayyid atau syarif. Setiap habib pasti dari kalangan sayyid/syarif, tetapi tidak semua sayyid/syarif dapat disebut habib.  Habib Ali al-Jufri, (seorang habib yang berfikiran moderat dan penulis buku al-Insāniyyatu qabla at-Tadayyun) juga mengutarakan bahwa sebutan habib hanya diperuntukkan bagi bani `Alawiy yang alim, memiliki aqidah yang kokoh dan menjalankan ajaran Islam dengan taat.

Bagikan Artikel ini:

About Buhori, M.Pd

Dosen IAIN Pontianak dan Wakil Ketua PW.GP ANSOR Kalba

Check Also

firaun vs musa

Benarkah Fir`aun Panik Dengan Rencana Kepulangan Musa?

Beberapa hari ini saya menemukan tulisan dengan tajuk “Provokasi dan Kepanikan Fir`aun”, yang banyak tersebar …

demo anarkis

Demonstrasi Anarkis, Bagaimana Hukum Islam Memandangnya ?

Dalam sistem demokrasi, sebagai sistem pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat, warga negara atau rakyat …