kehidupan new normal
kehidupan new normal

New Normal dan Memaknai Hidup Normal yang Sejati dalam Islam

Dari hari ke hari penularan virus Covid 19 semakin menyebar luas, hingga hampir setiap hari masyarakat disuguhkan dengan berita tentang bertambahnya jumlah kasus positif, kesembuhan, dan meninggal. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah mulai dari physical distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pelarangan mudik, hingga yang baru-baru ini kebijakan New Normal.

Tak dapat dipungkiri bahwa sejak adanya wabah virus Corona ini, kita mau tak mau dipaksa untuk memasuki era baru, di mana segala apapun yang dilakukan harus berdasarkan protokol kesehatan. Dulu, orang harus memakai masker dan menyediakan handsanitizer seakan sesuatu yang asing. Namun keasingan itu kini terpatahkan oleh hadirnya wabah Covid 19 ini.

Sejak kecil kita sudah diajari bahwa kehidupan di dunia ini hanya bersifat sementara dan apapun yang ada di dalamnya hanyalah menipu. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur’an  AI-Ankabut [29] : 64.

يَعْلَمُونَ كَانُوا۟لَوْ ۚٱلْحَيَوَانُ لَهِىَ الْآخِرَةَ ٱلدَّارَ وَإِنَّ ۚوَلَعِبٌ لَهْوٌ إِلَّا ٱلدُّنْيَآ ٱلْحَيَوٰةُ هَٰذِهِ وَمَا

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. dan Sesungguhnya akhirat Itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.

Kenyataannya, begitulah hidup. Penuh kegiatan menghibur diri remeh-temeh, tidak memiliki kedalaman/keseriusan, padahal itu semuanya bersifat segera berlalu begitu saja tanpa menimbulkan kesan atau dampak yang bermakna. Akibatnya, kebahagiaan selalu berkelit dari kita. Sebentar kita gembira, selebihnya kita mengalami kehampaan jiwa. kita lupa bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih luhur dari kehidupan dan cara hidup serba dunia yang selama ini kita jalani.

Namun, sadar atau tidak, kita tetap saja menganggap episode kehidupan dunia sebagai kehidupan yang amat penting. Kalau tak malah lebih penting bagi kita, yakni, dalam makna merasakan kesenangan-kesenangan hidup di dalamnya.

Memang, agama tak melarang kita menikmati kesenangan-kesenangan dunia. Tapi biasanya agama melihat kesenangan-senangan itu, sebagaimana semua kesibukan kita di dunia, sebagai persiapan saja agar kita bisa berbekal buat akhirat kita.

Nabi Muhammad saw. bersabda; “Kehidupan di dunia adalah ladang-tempat kita mengumpulkan bekal-bagi kehidupan akhirat kita”. Al-Ghazali membuka bukunya yang berjudul Kimiya’ as-Sa’adah dengan meluruskan kesalahan kita memaknai doa sapu jagat.

Peradaban kita sekarang sudah berjalan terlalu jauh kepada yang serba duniawi. Bukan soal manusia sudah menjadi lebih baik atau buruk tapi kemungkinan besar ini soal kebiasaan dan tujuan utama dalam kehidupan dalam (mempersiapkan sebaik mungkin untuk kehidupan selanjutnya) yang berubah menjadi ekonomi dunia untuk memanipulasi segalanya demi kepentingan sempit.

Sarana telah kita jadikan tujuan. Mencari kenikmatan dunia telah kita jadikan tujuan akhir. Bukan kehidupan akhirat. Maka kita pun amat ketakutan bahwa, jika semua ini sudah berlalu, segalanya tak bisa kembali seperti sedia kala.

Akan ada resesi ekonomi berkepanjangan, bahkan akan hilang sebagian sumber kenikmatan kita yang dulu. Seolah-olah cara hidup kita yang lama itulah yang normal. Padahal, sebagian mungkin normal, tapi sebagian yang Iain-mungkin sebagian cukup besar-sesungguhnya tidak normal. Dan bahwa musibah ini adalah cara Allah untuk menormalkan itu semua.

Kalau kita mau kembali kepada agama, sebetulnya esensi beragama hanya tiga. Beriman kepada Allah, Hari Akhir, Ialu beramal saleh atau melakukan ihsan. Sampai-sampai, non-Muslim pun dijamin keselamatannya di akhirat dengan syarat yang sama: Beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan beramal baik.

Oleh karena itu, salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperbaiki pola kehidupan di tengah pandemi saat ini yaitu New Normal di mana masyarakat diperbolehkan melakukan aktivitas seperti biasa di tengah pandemi saat ini.

Berbeda dengan kebijakan-kebijakan yang sebelumnya masyarakat diimbau untuk bekerja, beribadah dan menjalankan segala aktivitas hanya di rumah. Kini, masyarakat diperbolehkan menjalani aktivitas seperti sedia kala, namun harus tetap sesuai berdasarkan protokol kesehatan.

Sehingga apabila dalam waktu cepat atau lambat musibah ini berlalu, dan peradaban kembali “normal”, hendaknya kita tetap bisa kembali kepada pemahaman sejati tentang kehidupan, sebagaimana diajarkan agama kita. Meninggalkan peradaban serba duniawi secara berlebih-lebihan, bahkan mementingkan pengejaran kenikmatan dunia seolah itulah tujuan hidup, Ialu menomorduakan kepentingan akhirat kita. ]ika kita bisa mengoreksi cara hidup kita selama ini sepanjang pemahaman baru ini, maka sesungguhnya kita telah mencapai kehidupan “normal” yang sesungguhnya.

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Cahyo

Mahasiswa Program S2 PTIQ Jakarta

Check Also

Hari Santri

Memperingati Hari Santri Sebagai Wujud Hubbul Waton Minal Iman

Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak tanggal 22 Oktober 2015 telh ditetapkan sebagai peringatan hari santri …

meninggal di tanah suci

Belajar dari Peletakan Hajar Aswad : Praktek Demokrasi Ala Nabi

Pada saat ini banyak Negara islam ataupun Negara yang mayoritasnya adalah muslim turut mengadaptasi sistem …