Dalam ushul fikih dalil yang disepakati oleh para ulama ada empat, al Qur’an, hadis, ijma’ dan qiyas. Empat dalil ini yang kemudian menjadi acuan dalam instinbat hukum fikih empat madzhab yang diakui sampai saat ini, yakni madzhab Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Maliki.
Empat madzhab inilah yang kemudian dikenal dengan pemahaman ulama salaf. Jika ada yang mengatakan berpegang pada ulama salaf lalu menanggalkan para madzhab dengan pernyataan “kembali kepada al Qur’an dan hadis” akan terlihat aneh. Aneh bukan karena keduanya diragukan statusnya sebagai sumber primer hukum Islam, tapi karena arogansi dan keangkuhan mau merujuk langsung pada dua sumber tersebut. Padahal, hanya level mujtahid mutlak yang mampu melakukan hal tersebut.
Pernyataan ini sesuai dengan pendapat beberapa ulama salaf yang melarang selain mujtahid mutlak untuk merujuk langsung kepada al Qur’an dan hadis. Tegas kata, selain mujtahid mutlak harus ikut pada salah satu madzhab fikih yang ada, yaitu, Madhab Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam Hanafi.
Ada Potensi Menyesatkan Jika Tidak Memumpuni
Imam Nawawi al Bantani, salah seorang ulama Nusantara tegas mengatakan dalam kitabnya al-Tsimaru al Yani’ah Syarah Riyadi al Badi’ah, selain mujtahid mutlak wajib mengikuti salah satu empat madzhab fikih. Tidak boleh bertaklid (ikut) kepada selain mereka, sekalipun kepada pembesar sahabat karena madzhabnya tidak terbukukan.
Lebih rinci Imam Zarkasi dalam kitabnya al-Bahru al-Muhith membuat klasifikasi manusia menjadi tiga kelompok besar. Yaitu, mujtahid, orang berilmu yang belum setara dengan mujtahid dan orang awam. Yang awam boleh meminta fatwa serta wajib bertaklid secara totalitas dalam hukum Islam. Demikian juga orang alim yang belum mencapai level mujtahid.
Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi dalam kitabnya Bughyatu al Musytarsyidin menjelaskan, orang alim yang cerdas dan pintar dan banyak mempelajari karya ulama klasik, seperti tafsir, hadis, ushul fikih, kaidah fikih, selama belum mencapai derajat mujtahid mutlak tidak boleh memutuskan hukum dengan pendapatnya sendiri.
Apabila sampai memutuskan hukum dengan pendapatnya sendiri, maka orang tersebut sesat dan menyesatkan. Wajib ditolak karena menjauhkan dari ajaran agama yang benar seperti telah ditradisikan oleh Nabi. Termasuk golongan ini adalah mereka yang menolak kitab-kitab ulama salaf, tidak mengakui empat madzhab dan mengaku memutuskan hukum dengan berdasar kepada al Qur’an dan hadis, padahal kemampuannya tidak cukup.
Orang model seperti ini, menurut Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi wajib ditolak serta wajib untuk tidak mengikutinya. Sebab tidak mungkin bisa memahami dua sumber tersebut tanpa mempelajari karya-karya ulama salaf.
Masih dalam kitab yang sama, Imam Fakhrurrozi menyatakan, orang-orang zaman sekarang ibarat sekumpulan orang banyak, namun tidak satupun yang levelnya mujtahid mutlak.
Mengutip pendapat para ulama, Ibnu Hajar bilang, setelah masa imam Syafi’i, tidak ada satupun ulma fikih yang mencapai derajat mujtahid mustaqil atau mujtahid mutlak. Imam Suyuthi yang menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan masih bertaklid kepada Imam Syafi’i.
Jelas sudah pesan ulama salaf bagi penganut jargon kembali ke al Qur’an dan hadis. Karenanya, sebelum terlalu jauh dikubangan kesesatan, alangkah baiknya untuk bertaubat. Caranya, kembali ke al Qur’an dan hadis tetapi dengan cara membaca dan mempelajari karya-karya ulama salaf lebih dulu supaya tidak salah memahami dan memahamkan al Qur’an dan hadis.
Bukti kesesatan penganut madzhab kembali ke al Qur’an dan hadist telah banyak kita temukan. Rata-rata, mereka adalah orang miskin ilmu. Hanya karena media digital saat ini memberi peluang bebas bicara kepada siapapu, sehingga mereka nekat tampil berbicara seolah-olah memang menguasai ilmu agama. Padahal, jauh panggang dari api.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah