Para ulama’ sepakat bahwa niat merupakan sebuah kewajiban dalam setiap ibadah apapun. Bahwa di antara mereka ada yang mengkategorikan niat sebagai rukun, sebagian yang lain mejadikannya syarat, itu tidak penting. Artinya perbedaan hanya pada tataran teoritis bukan subtantif. Demikian juga halnya dengan ibadah puasa Ramadhan, niat menjadi unsur dan elemen penting untuk menentukan sah dan tidaknya ibadah puasa.
Penting untuk diketahui dalam ibadah puasa terdapat dua unsur yang harus ada: menahan diri (imsak) dan berniat. Unsur pertama adalah menahan diri dari keinginan makan, minum, dan berhubungan seksual sepanjang hari, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.
Sedangkan unsur kedua adalah niat. Niat menjadi penentu sah dan tidaknya amal ibadah. Niat juga menjadi penentu arah dan tujuan suatu perbuatan sebagaimana hadis yang sudah masyhur dan shahih, riwayat Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad, dan yang lain berikut ini:
إِنَّمَا اْلأعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
Artinya: “Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang (akan mendapatkan balasan) sesuai apa yang diniatkannya, maka barang siapa yang berhijrah menuju (ridha) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya menuju (ridha) Allah dan Rasul-Nya, barang siapa yang berhijrah karena (harta kemegahan) dunia yang diharapkannya atau karena seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya menuju arah yang ditujunya”.
Niat dalam ibadah adalah kehendak untuk melaksanakannya karena perintah Allah dalam rangka mendekatkan diri dan mengharap ridha-Nya. Fungsi niat di antaranya adalah untuk membedakan antara perbuatan ibadah dengan adat dan kebiasaan yang umum lainnya.
Misalnya, banyak orang yang menahan untuk tidak makan, minum, dan semacamnya sepanjang hari dengan tujuan diet atau kesehatan tubuh. Terkadang juga karena kesibukan tertentu yang menyita pikirannya, seseorang bisa saja lupa makan dan minum seharian. Tentu hal itu tidak dapat dikategorikan puasa syar’i karena tanpa berniat melaksanakan ibadah puasa. Dalam posisi inilah niat sangat urgen dalam ibadah puasa. Oleh karena itu, Allah tidak akan menerima suatu amal ibadah, kecuali disertai niat.
Lalu kapan waktunya niat puasa? Jika puasa sunnah boleh berniat di siang hari sebelum matahari tergelincir atau sebelum masuk waktu shalat Zuhur, untuk puasa wajib masih dirinci. Jika puasa itu berupa qadha’ dari puasa wajib, atau puasa kaffarat, atau puasa nadzar yang tidak ditentukan harinya, maka para ulama’ sepakat harus menginapkan niat (tabyit) sebelum terbit fajar. Sementara kalau puasa tersebut adalah puasa Ramadhan atau puasa nadzar di hari tertentu, maka ulama’ berbeda pendapat kapan niat harus dilakukan.
Menurut Jumhur yang terdiri dari pendapat Umar bin Khatthab, Abdillah bin Umar, Imam Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq niat harus dilakukan di malam hari (tabyit), jika tidak tabyit, maka puasanya tidak sah. Namun menurut Hanafiyah boleh dilakukan siang hari sebelum masuk waktu Zuhur seperti puasa sunnah.
Bagi yang berpendapat harus tabyit niat puasa dapat dilakukan sejak terbenam matahari hingga terbit fajar, baik di awal malam, di pertengahan, atau di akhir. Artinya, seandainya seseorang berniat di awal malam lalu tidur atau makan dan minum, maka tidak perlu lagi memperbaharui niatnya sebelum terbit fajar.
Lalu apakah niat puasa Ramadhan harus dilakukan setiap malam untuk berpuasa keesokan harinya? Menurut Imam Syafi’i niat wajib dilakukan setiap malam, karena puasa setiap harinya merupakan ibadah yang independent yang tidak menggugurkan kewajiban puasa hari perhari dan tak terkait dengan hari-hari yang lain. Sedangkan menurut Imam Malik puasa Ramadhan merupakan satu kesatuan, meskipun terbagi ke dalam hari perhari, sehingga cukup berniat di awal bulan saja tanpa harus memperbaharui niat setiap malam.
Tempat niat adalah dalam hati dan tidak disyaratkan untuk mengucapkan melalui lisan. Namun menurut Jumhur ulama’selain Malikiyah disunnahkan mengucapkan niat di lisan dengan tujuan membantu hati untuk konsentrasi. Oleh karena itu, jika hati berniat dan lisan berucap, maka berarti melaksanakan yang paling sempurna menurut Jumhur. Jika lisan berucap, tetapi hati tak berniat, maka dianggap tidak sah niatnya. Sebaliknya, jika hati berniat, namun lisan tak berucap, maka niat tetap sah.
Inilah niat puasa menurut Imam Malik:
نَوَيْتُ صَوْمَ شَهْرِ رَمَضَانَ كُلِّه هذِهِ السَّنَةَ للهِ تَعَالى
“Saya niat berpuasa satu bulan Ramadhan penuh, di tahun ini karena Allah”.
Inilah niat puasa menurut Imam Syafi’i:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍعَنْ أَدَاءِفَرْضِ شَهْرِ رَمَضَان هذِهِ السَّنَة للهِ تَعَالى
“Saya niat berpuasa esok hari untuk melaksanakan fardu di bulan Ramadhan tahun ini karena Allah”.
Untuk mengantisipasi terjadinya lupa berniat setiap malam, maka di awal bulan Ramadhan kaum muslimin dapat menggunakan niat puasa satu bulan penuh sebagaimana pendapat Imam Malik agar puasa menjadi aman dan tetap sah.[]