Virus corona atau Covid 19 telah mampu menciptakan bangunan akidah yang mengerikan. Menggeser akidah lama yang telah mapan. Muncul narasi-narasi teologis dalam merespons bencana kemanusiaan ini.
Di sini, penting untuk melihat dan mencoba membangun kembali narasi teologis ini karena sangat berkaitan dengan cara manusia menghadapi bencana. Termasuk pula bangunan teologis berpengaruh terhadap aspek peribadatan dan kehidupan manusia.
Narasi Jabariyah dan Qadariyah dalam Covid-19
Kita akan mulai dengan narasi teologis kepasrahan. Narasi ini mengatakan bahwa mestinya covid 19 ini tak perlu ditakuti tapi yang perlu ditakuti adalah pencipta covid 19, yaitu Allah, Tuhan semesta alam. Karena Covid 19 tidak akan membawa mudharat tanpa izin Allah.
Keyakinan ini ditopang oleh firman :
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS: alhadid:22).
Al Jazairi mengatakan bahwa bencana yang menimpa pada dirimu yang dimaksud salah satunya adalah wabah penyakit. (Aysar al-Tafasir, 4/212). Dari sini terbangun keyakinan teologis bahwa mati karena covid 19, sepenuhnya berada dalam catatan takdir Allah, bahkan konon, takdir itu sudah ditulis lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan pribadi manusia.
Sabda Nabi :
عبد الله بن عمرو ، يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ” قدر الله المقادير قبل أن يخلق السماوات والأرض بخمسين ألف سنة
Abdullah Ibn Umar berkata: aku mendengar Rasulullah bersabda: Allah telah menentukan guratan guratan nasib lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi. (HR:Ibnu Hibban: 6229).
Diktum ini, mungkin tidak terlalu berlebihan dan kelihatannya benar sebagai kepasrahan total menghadapi kematian. Covid 19 hanyalah bagian kecil dari sebab kematian. Bila takdir mati karena corona sudah menjadi ketetapan ilahi, maka siapapun tidak akan mampu mengelaknya.
Walaupun mendapatkan penanganan yang maksimal. Tetapi bila guratan nasibnya seseorang mati sebab yang lain, seribu covid 19 menjangkiti, maka tentu ia akan selamat dan tetap mampu bertahan hidup.
Dalam bangunan besar teologi Islam, cara pandang ini membawa seseorang pada tipologi pemikiran akidah “Jabariyyah”. Sebuah bangunan teologi klasik yang menyakini bahwa manusia hanyalah wayang yang dikomandoi oleh suatu kekuatan dari Allah.
Manusia tidak memiliki hak apapun terhadap kehidupannya, ia tinggal menjalani tanpa pemberontakan. Manusia tidak bisa menjadi arsitek bagi kehidupannya sendiri.
Paham ini sesungguhnya bagus karena mengajarkan kepasrahan kepada Allah. Namun, di sisi lain menafikan kemampuan manusia dalam membangun sebuah perubahan positif dalam kehidupan. Akibatnya, manusia menjadi pasif tanpa guna dalam upaya.
Maka paham ini ditentang habis-habisan oleh paham Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia mampu menjadi arsitek bagi kehidupannya. Hidupnya ditentukan sebebas-bebasnya oleh keinginan dan kemampuannya.
Keyakinan teologis inipun selaras dengan firman Allah: Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.QS:al-ra’d:11.
Dengan demikian bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Karena itu sangat pantas, orang yang berbuat akan mendapatkan balasannya sesuai dengan tindakan atas pilihan sendiri, bukan oleh takdir Tuhan.
Paham ini, sesungguhnya juga bagus, karena tetap akui kreatifitas manusia, namun paham ini berbahaya karena mampu mengantarkan manusia untuk menjadi pribadi yang angkuh.
Reformulasi Teologi Jalan Tengah
Dalam konteks covid 19 ini, kita tidak bisa begitu saja pasrah tanpa upaya apapun untuk mengentasinya. Memang mati dan tidaknya kita pasrahkan sepenuhnya kepada Allah, tetapi menghindari potensi kematian adalah tugas manusia.
Upaya ini bisa dilakukan dengan tidak keluar rumah selama 14 hari, atau menghindari kontak fisik secara langsung, menghindari kerumunan, menggunakan masker, cuci tangan dan lain merupakan upaya untuk keluar dari teror covid 19.
Karena itulah, dalam merespon bencana covid-19 dalam pandangan teologis adalah ambil jalan tengahnya, mengkombinasikan paham Jabariyah dan Qadariyah. Bagaimana akidahnya?
Memang benar hidup dan mati kita sepenuhnya berada dalam tulisan takdir, kita tidak bisa ikut campur soal itu, namun sesungguhnya takdir itupun berbicara sesuai dengan kadar upaya yang dimaksimalkan oleh manusia, allah berfirman
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri (QS:al-Nisa’:79).
Korban covid 19 yang jumlah ratusan itu, akibat kelalaian medis. Kekurang akuratan penanganan terhadap covid 19, bukan karena takdir dari Allah. Kira-kira begitu kesimpulan dari ayat ini. Karena itulah, manusia harus menghindari dan memperbaiki diri dari kelalaian berikutnya.
Kepasrahan tentang takdir dan mati bukan lantas menutupi upaya dan usaha. Tak heran bila Rasul memerintahkan untuk menghindari lepra. Sabdanya
“Larilah engkau dari lepra (Judzam) sebagaimana engkau lari dari singa” (HR. Ahmad:9532).
Ini adalah bentuk upaya konkrit Rasulullah menghindar dari potensi kematian. Siapa yang meragukan kepasrahan dan totalitas Nabi kepada Allah. Namun, upaya manusia adalah bagian dari wujud kepasrahan.
Wallahu a’lam