haid mengajar quran
haid mengajar quran

Sedang Haid Masih Belajar dan Mengajarkan Al-Qur’an

Seorang pemikir Islam berkebangsaan Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, menyatakan bahwa peradaban Islam merupakan peradaban teks. Al-Qur’an sebagai Kitab Suci umat Islam juga bertumpu pada teks yang berbahasa Arab. Sebagai sebuah pedoman tentu Al-Qur’an menjadi sentral dan urgen untuk dipelajari oleh seluruh umat Islam. Bahkan, dengan membacanya saja sudah dinilai ibadah, sebab kalimat paling baik yang menjadi sebuah ungkapan adalah kalimat Al-Qur’an. (Ibn Hajar al-Haitami, Fath al-Bari li Ibn Hajar, Jilid XIV, hal. 234).

Belajar dan mengajarkan Al-Qur’an merupakan perbuatan yang sangat mulia. Bahkan Imam al-Tsauri ketika ditanyakan lebih utama mana antara berjihad dan mengajarkan Al-Qur’an menyatakan bahwa yang kedua lebih utama dari pada yang pertama. (Ibn Hajar al-Haitami, Fath al-Bari li Ibn Hajar, Jilid XIV, hal. 246). Kanjeng Nabi menggolongkan orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an dalam kategori umat yang terbaik, sebagaimana bunyi hadis berikut ini:

خَيْركُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآن وَعَلَّمَهُ.

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkan Al-Qur’an”. (Shahih al-Bukhari, No. 5027., Sunan Abi Daud, No. 1454., Sunan al-Turmudzi, No. 3154., Sunan Ibn Majah, No. 218., Sunan a-Darimi, No. 3400.).

Al-Qur’an sebagai kalam sakral dan Kitab Suci tentu orang-orang yang hendak bersinggungan dengannya haruslah dalam kondisi suci pula. Aktifitas mengajar tidak terlepas dari membaca dan menyentuh Al-Qur’an. Membaca ayatnya dan menyentuh mushafnya haruslah dalam kondisi suci dari hadas kecil maupun besar.

Bagi pengajar kaum laki-laki mengupayakan kesucian saat aktifitas mengajar bukanlah persoalan, namun bagaimana dengan pengajar perempuan saat sedang haid. Bolehkah mereka tetap melanjutkan aktifitas mengajarkan Al-Qur’an meskipun dalam kondisi sedang haid? Atau seorang perempuan yang sedang belajar Al-Qur’an, haruskah berhenti belajarnya saat sedang haid?

Semua ulama mazhab sepakat bahwa haram hukumnya bagi perempuan yang sedang haid menyentuh, membawa dan membaca Al-Qur’an di luar aktifitas belajar mengajar. Akan tetapi, dalam aktifitas belajar mengajar secara khusus mereka berbeda pendapat. Pendapat Imam al-Karkhi dari kalangan Hanafiyah mengatakan bahwa seorang pengajar perempuan (mu’allimah) tetap mengajarkan Al-Qur’an saat haid dengan cara diputus-putus per satu kata. Bahkan, Imam al-Thahawi memperbolehkan hingga separuh ayat. Tidak boleh satu ayat lengkap, tetapi dipotong-potong menjadi setengah ayat. Sementara jika mengajarkan cara membaca huruf-huruf hijaiyah diperbolehkan. Demikian juga, diperkenankan bagi perempuan yang sedang belajar Al-Qur’an membaca satu kata atau kurang dari satu ayat. Sedangkan membaca dalam rangka berdoa, semisal membaca ayat kursi, dan ayat-ayat yang mengandung doa juga diperbolehkan. (Mahmud Ibn Mazah, Al Muhit al-Burhani fi Fiqh al-Numani, Jilid I, hal. 288., Fiqh al-Ibadat Hanafi, Jilid I, hal. 65.).

Sementara menurut mazhab Maliki diperbolehkan bagi perempuan haid yang sedang belajar atau mengajarkan Al-Qur’an menyentuh dan membawa Al-Qur’an, sekaligus membacanya. Alasan mazhab Malikiyah ini karena penghalang hadas yang berupa haid ini tidak bisa ditanggulangi dan dihilangkan, merupakan kodrat perempuan. Hal ini berbeda dengan orang junub yang dapat ditanggulangi dengan mandi besar, sehingga tetap tidak diperbolehkan menyentuh, membawa, dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam konteks belajar mengajar. Kondisi junub ini juga sama dengan perempuan yang haidnya sudah tuntas, namun belum mandi besar, sebab dalam kondisi tersebut hadas dapat dihilangkan dengan cara mandi besar. (Muhammad bin Yusuf bin Abil Qasim Al-Abdari, Al-Taj wa al-Iklil li Mukhtashar Khalil, Jilid I, hal. 192., Ahmad bin Muhammad Al-Shawi, Hasyiyah al-Shawi ala Syarh al-Shaghir, Jilid I, hal. 247., Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, hal. 396).

Sedangkan golongan Syafi’iyah dan Hanabilah tidak memberikan peluang kebolehan menyentuh dan membaca Al-Qur’an meskipun dalam kegiatan belajar mengajar. Mazhab Syafi’i hanya mentoleransi bacaan Al-Qur’an yang bertujuan untuk zikir dan do’a, semisal doa naik kendaraan yang memang diambil dari ayat Al-Qur’an, itupun harus kosong dari niat membaca Al-Qur’an. Bahkan, mazhab Hanbali menyatakan perempuan haid tidak boleh membaca Al-Qur’an dalam kondisi apapun, meskipun ada kekhawatiran akan lupa terhadap hafalannya andai tidak dibaca. (Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, Jilid I, hal. 364., Mushtafa bin Saad, Mathalib Uli al-Nuha fi Syarh Ghayah al-Muntaha,Jilid II, hal. 107-108., Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Jilid I, hal. 396).

Dengan memperhatikan urgensitas belajar mengajar Al-Qur’an dan kemaslahatan bersama pendapat ulama Malikiyah dan Hanafiyah dapat dijadikan pegangan dalam hal kebolehan menyentuh dan membaca Al-Qur’an bagi perempuan yang sedang haid. Tentu dengan tetap memperhatikan kehormatan Al-Qur’an sebagai kalam suci. Hal ini juga akan menyelamatkan kaum hawa yang rentan dengan gangguan jin dan syetan saat haid disebabkan kosong dari bacaan-bacaan Al-Qur’an dalam kesehariannya. []

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …