Khatib Salat Jumat
Khatib Salat Jumat

Sejarah Khutbah Jumat Membaca Surah An-Nahl Ayat 90, Serta Memetik Kandungan Makna Dalam QS An-Nahl Ayat 90

Surah An-Nahl ayat 90 menjadi salah satu ayat yang penuh makna dan pelajaran, baik dari sisi sejarah maupun pemahaman konteksnya dalam kehidupan umat manusia. Ayat ini tidak hanya mengandung petunjuk moral, tetapi juga merupakan cerminan dari ajaran Islam yang universal, yang menyentuh berbagai aspek kehidupan, termasuk keadilan, ketakwaan, dan kedamaian. Dalam sejarahnya, ayat ini turun di masa yang penuh tantangan bagi umat Islam, ketika dakwah Nabi Muhammad SAW menghadapi perlawanan keras dari kaum Quraisy.

Kandungan makna dari QS. An-Nahl 90 sangat relevan dalam konteks sejarah perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan risalah Islam, di mana ajaran-ajaran tersebut mengajarkan prinsip-prinsip penting seperti keadilan sosial, perintah untuk berbuat baik kepada sesama, serta kewajiban untuk menjauhi kemungkaran. Ayat ini juga mengingatkan tentang pentingnya ketulusan dalam niat, serta ketaatan terhadap ajaran Allah yang dapat menuntun umat menuju kedamaian yang hakiki.

Sejarah Khutbah Jumat Membaca Surah An-Nahl ayat 90

Pada tahun 717 M/99 H seorang penguasa Muslim yang kekuasaannya terbentang dari Kufah hingga Semenanjung Iberia dan Afrika Utara bernama Umar bin ‘Abdul ‘Azîz (682-720 M/63-101 H) mengirim surat kepada penguasa wilayah bawahannya yang berisi perintah kepada orang-orang yang menjadi khatib dalam khutbah Jumat supaya membaca Al-Qur’an Surat An-Nahl ayat 90. Tujuan membaca ayat ini yaitu untuk mengganti perkataan khatib yang berisi cacian dan makian kepada menantu Nabi Muhammadﷺ yang bernama Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Pasca terjadi perang saudara sesama umat Islam pada tahun 657 M/37 H di tebing Sugai Furat (Syiria) yang melibatkan dua tokoh besar Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan atau dikenal dengan Perang Shiffin, umat Islam terpecah belah menjadi berbagai kelompok. Ada kelompok yang fanatik terhadap Ali, ada yang teguh pendirian mengikuti Mu’awiyah, dan ada yang tidak terlibat sama sekali ke dalam pertikaian politik berdarah itu.

Seiring berjalannya waktu, setelah dua tokoh besar Islam yang berselisih di dalam politik itu wafat, sisa-sisa konflik di dalam tubuh umat Islam tidak semakin surut, tapi justru naik membanjiri kehidupan setelahnya, yakni para simpatisan keduanya saling mencaci maki. Orang-orang yang fanatik terhadap Mu’awiyah kerap menyampaikan umpatan dan cacian kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib di berbagai ruang publik, terutama di dalam khutbah Jumat. Karena itu ketika Umar bin Abdul Aziz yang telah lama mendapatkan petunjuk atas makna QS An-Nahl 90 berkuasa menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik (674-717 M) yang sama-sama dari Dinasti Umayyah meminta kepada para khathib supaya menghentikan ujaran kebencian dalam khutbah Jumat. Perkataan-perkataan yang dapat melanggengkan api pertikaian itu meminta diganti dengan membaca QS An-Nahl 90. Sejak itu sampai sekarang semua orang yang khutbah selalu membaca ayat tersebut.

Isi Perintah Allah Dari QS An-Nahl 90

QS An-Nahl 90 dimaksud yaitu ayat:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil, berbuat baik, berbagi kepada kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, mungkar dan bermusuhan. Dia memberi kepada kalian agar kalian dapat mengambil pelajaran.”

Apa kandungan makna dari QS An-Nahl 90 itu? Mufassir besar Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) dalam karyanya, Mafâtîh al-Ghaib atau yang lebih dikenal dengan At-Tafsîr al-Kabîr menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah memberikan perintah kepada umat Islam sebanyak 3 hal dan larangan dalam jumlah yang sama. Isi perintahnya adalah (1) berbuat adil (al-‘adl), (2) berbuat baik (al-ihsân), dan (3) menjalin persaudaraan atau menebar kasih sayang (îtâ`i dzî al-qurbâ).

Pertama, berbuat adil (al-‘adl) maksudnya kita diperintahkan untuk menjadi orang yang moderat dalam segala hal, baik dalam berkeyakinan maupun bertindak. Kita tidak boleh terlalu sempit atau al-ifrâth, juga dilarang berlebihan atau at-tafrîth, yakni yang sedang-sedang saja.

Kedua, berbuat baik (al-ihsân), artinya kita diperintahkan untuk berperilaku baik, yakni melakukan sesuatu di atas yang diwajibkan. Jika al-‘adl atau adil bermakna ukuran wajib yang harus dipenuhi dalam kebaikan, maka al-ihsân atau berbuat baik artinya menunaikan kebaikan di atas kewajiban. Jika kita praktikkan dalam ibadah maka al-‘adl atau adil adalah menjalankan kewajiban seperti shalat, zakat, puasa, sedangkan al-ihsân adalah menunaikan kesunahan-kesunnahan di dalam shalat seperti mengerjakan shalat sunnah qabliyah dan ba’diyah, memberikan infak atau bersedekah dan berpuasa sunnah. Apabila kita praktikkan di dalam pekerjaan, jika kita seorang karyawan atau pegawai negeri maka adil adalah kita mengerjakan yang menjadi kewajiban kita, sedangkan berbuat baik atau al-ihsân kita mengerjakannya dengan sungguh-sungguh di atas yang menjadi kewajiban atau mengerjakan kewajiban secara memuaskan.

Ketiga, menjalin persaudaraan atau menebar kasih sayang (îtâ`i dzî al-qurbâ) maksudnya kita diperintahkan untuk mengasihi semua makhluk Allah (asy-syafaqah ‘alâ khalqillah). Menurut ar-Râzî, perwujudan dari perintah ini banyak sekali, namun yang paling mulia dan agung adalah merajut persaudaraan atau shilaturrahim.

Isi Larangan Allah Dari QS An-Nahl 90

Adapun 3 larangan yang terdapat dalam QS An-Nahl 90 ini yaitu (1) perbuatan keji (al-fahsyâ`), (2) berlebihan dalam mengikuti nafsu amarah (al-munkar), dan (3) keangkaraan atau kebengisan (al-baghy).

Pertama, perbuatan keji (al-fahsyâ`) yaitu kita dilarang mengikuti dorongan nafsu hewani (asy-syahwâniyyah al-bahîmiyyah) secara berlebihan yang ada di dalam tubuh kita. Dalam diri manusia terkandung nafsu kebinatangan; manusia ingin makan, minum, menikah, mendapatkan kekayaan yang melimpah dan seterusnya, tapi ini semua jika kita menghasilkannya melampaui batas-batas yang telah ditentukan agama maka disebut “melakukan perbuatan keji” atau al-fahsyâ`. Orang ingin kaya maka harus bekerja, bukan dengan mengambil hak orang lain, orang ingin menyalurkan hasrat seksualnya maka harus menikah bukan dengan berzina, orang ingin menghilangkan rasa lapar dan dahaga maka harus dilakukannya dengan makan dan minum barang yang halal.

Kedua, berlebihan dalam mengikuti nafsu amarah (al-munkar) artinya kita dilarang mengikuti kekuatan amarah yang ada pada diri kita. Di dalam diri manusia terdapat amarah yang juga dimiliki binatang buas (al-quwwah al-ghadlabiyyah as-sabu’iyyah), amarah ini selalu mengajak manusia melakukan keburukan dan menyakiti orang lain. Jika kita lengah atau mengikuti kehendak dorongan sifat binatang buas ini maka akan lahir dari diri kita perbuatan-perbuatan yang bagi orang lain sudah pasti dilihat sebagai kemungkaran.

Ketiga, keangkaraan atau kebengisan (al-baghy) maksudnya kita tidak boleh mengikuti nafsu syaithaniyah (al-quwwah al-wahmiyyah asy-syaithâniyyah) yang ada di dalam diri kita. Nafsu ini mendorong pemiliknya menguasai orang lain, menjatuhkan dan mengalahkan, serta memperlihatkan kesombongan.

Tiga perintah Allah yaitu perintah berbuat adil, berbuat baik dan berbagi kepada sesama, serta tiga larangan Allah yang berupa larangan berbuat keji, melakukan kemungkaran dan berperilaku bengis di atas menjadi inti di dalam syariat Islam, yakni syariat Islam diturunkan untuk menegakkan keadilan, kebaikan dan menjalin persaudaraan antarsesama umat manusia dan dalam waktu yang bersamaan syariat Islam hadir untuk melarang manusia melakukan perbuatan keji, mungkar dan bengis.

Sahabat Nabi Muhammad yang bernama Ibnu Mas‘ûd RA mengatakan bahwa QS An-Nahl 90 adalah ayat yang mengandung arti kumpulan kebaikan dan keburukan.

إِنَّ أَجْمَعَ آيَةٍ فِي الْقُرْآنِ لِخَيْرٍ وَشَرٍّ هَذِهِ الْآيَةُ

“Sesungguhnya satu ayat di dalam al-Quran yang kandungan artinya mencakup (perintah melakukan) kebaikan dan (larangan melakukan) keburukan adalah ayat ini.”

Mufassir dari kalangan tâbi’în yang bernama Qatâdah menyampaikan, perbuatan baik yang dilakukan pada masa Jahiliyah yang kemudian (setelah Islam datang) diperintahkan oleh Allah untuk dilakukan dan perbuatan buruk pada masa pra Islam yang kemudian dilarang oleh Allah untuk ditinggalkan setelah Islam datang terkumpul di dalam ayat ini, yakni QS An-Nahl 90.

Artinya, kandungan arti QS An-Nahl 90 ini universal. Perbuatan baik yang dijelaskan di dalam ayat ini diakui oleh semua manusia disepanjang zaman, demikian juga dengan perbuatan buruk yang dilarang Allah juga diakui sebagai keburukan oleh siapapun. Karena itu tak heran jika Umar bin Abdul Aziz meminta kepada para khatib Jumat untuk membaca QS An-Nahl 90 ini dengan tujuan supaya semua orang Islam memahami dan mempraktikannya dalam kehidupan nyata sebagaimana pesan dalam kata-kata terakhir dari ayat ini, la-‘allakum tadzakkarûn, agar kalian dapat mengambil pelajaran.

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Syah Alfarabi

Check Also

bulan rajab

Mari Mengambil Keutamaan Bulan Rajab di Momen Tahun Baru

Malam 1 Rajab 2025 jatuh pada tahun baru Masehi 2025.  Tahun baru, seringkali menjadi momen …

sufi nusantara

Belajar Bagaimana Menjadi Seorang yang Lemah Lembut Ala Sufi

Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yang mengajarkan kasih sayang, cinta dan perdamaian kepada seluruh …