shalat sunah
shalat sunah

Shalat Mualaf yang Belum Bisa Baca Al-Fatihah

Ibadah shalat menempati rukun kedua setelah dua syahadat dalam rangkaian rukun Islam. Artinya, ketika seseorang berikrar dan menyatakan dengan kemantapan hati bahwa tiada Tuhan yang semestinya disembah kecuali Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan-Nya, hal pertama yang perlu dipikirkan dan dipersiapkan adalah pelaksanaan shalat.

Shalat sebagai perintah wajib menjadi pembuktian pertama sebagai bentuk manifestasi keimanan yang terpatri dalam hati. Sebagaimana maklum bahwa iman adalah meneguhkan kepercayaan dalam hati (tashdiq bil qalbi), berikrar dan menyatakan dengan ungkapan (wal-iqrar bil lisan), serta mengejawantahkan dalam bentuk tindakan nyata (wal ‘amal bil arkan), maka shalat menjelma sebagai pembuktian terhadap ikrar yang telah diucapkan.

Oleh karena itu, kewajiban pertama bagi orang yang baru berikrar masuk dalam agama Islam, mualaf, adalah shalat. Elemen shalat (arkan) terdiri dari gerakan dan bacaan (fi’liyah dan qauliyah). Para ulama’ sepakat bahwa satu-satunya rukun yang bersifat bacaan adalah Al-Fatihah, kecuali Hanafiyah yang hanya mewajibkan membaca ayat Al-Qur’an saja, meskipun kurang afdal. Unsur gerakan dalam shalat tentunya tidak sulit untuk dipelajari dalam waktu yang relatif singkat.

Namun, untuk bacaan Al-Fatihah bagi orang yang belum pernah mengenal bacaan Al-Qur’an, seperti mualaf,orang yang baru masuk Islam bukan sesuatu yang mudah, belum lagi jika harus dihafalkan. Sementara waktu kesempatan belajar sangatlah terbatas jika harus melaksanakan shalat lima kali dalam sehari semalam. Haruskah menunggu hafal dan bisa membaca Al-Fatihah untuk melaksanakan shalat? Bisakah diganti dengan bacaan terjemah Al-Fatihah dalam bahasa lain?

Semua ulama sepakat bahwa bacaan Al-Fatihah tidak boleh diganti dengan bahsa lain, selain bahasa Arab, bahkan juga tidak boleh diganti dengan bahasa Arab yang searti dengan kalimat dan rangkaian kata yang terdapat dalam Al-Fatihah. Ketidakbolehan ini berlaku umum, baik bagi yang mampu membaca Al-Fatihah dengan baik, ataupun orang yang sama sekali belum bisa. Akan tetapi, sebagian ulama Hanafiyah membolehkan membaca terjemah Al-Fatihah dalam bahasa selain Arab.

Wahbah Zuhaili, seorang ulama ahli filsafat hukum dan pakar hukum Islam asal Suriah memberi catatan terhadap pendapat ini. Menurutnya, pendapat ini sudah ditarik kembali dan tidak seorang pun dari para pengikutnya yang pernah mempraktikkan pendapat ini. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid II, hal. 31).

Lalu bagaimana bagi seorang mualafyang sama sekali belum mampu membaca Al-Fatihah? Menurut ulama Syafiiyah dan Hanabilah jika orang tersebut belum memungkinkan untuk belajar dalam waktu yang singkat, maka langkah pertama jika hanya belum hafal bacaan Al-Fatihah, boleh membaca dengan melihat pada mushaf.

Selanjutnya, jika masih memiliki hafalan ayat Al-Qur’an selain Al-Fatihah boleh membaca tujuh ayat yang dihafal secara berurutan atau tidak berurutan. Yang menjadi ukuran adalah tujuh ayat dan bilangan hurufnya tidak kurang dari huruf-huruf Al-Fatihah, yaitu sebanyak 167 huruf. (Muhammad Syatha al-Dimyathi, Hasyiyah I’anah al-Thalibin, Jilid I, hal. 144).

Jika masih belum mampu sama sekali menghadirkan bacaan ayat Al-Qur’an, maka boleh diganti dengan bacaan tujuh macam zikir, semisal subhanallah, wal hamdulillah, wa la ilaha illallah wallahu akbar, dengan tetap memperhitungkan bilangan huruf Al-Fatihah, meskipun dengan cara diulang-ulang. Cara yang demikian ini berdasarkan hadis Nabi yang berbunyi:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنِّى لاَ أَسْتَطِيعُ أَنْ آخُذَ مِنَ الْقُرْآنِ شَيْئًا فَعَلِّمْنِى مَا يُجْزِئُنِى مِنْهُ. قَالَ « قُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ

Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi Saw., dan berkata, sesungguhnya aku tidak mampu menghafal sedikitpun dari ayat Al-Qur’an, ajarilah aku bacaan yang dapat menggantikan Al-Qur’an. Lalu Nabi bersabda, bacalah subhanallah, wal hamdulillah, wa la ilaha illallah wallahu akbar wa la haula wala quwwata illa billah”. (Sunan An-Nasai, No. 923., Sunan Abi Daud, No. 832).

Jika ternyata membaca zikir saja masih belum bisa, maka tetap dalam posisi berdiri dan berdiam seukuran waktu membaca Al-Fatihah. Jika di kemudian hari mengalami perkembangan, semisal mampu membaca sebagian ayat dari Al-Fatihah, maka bacalah sesuai kemampuan dan diulang-ulang hingga mencapai hitungan huruf Al-Fatihah. (Muhammad Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafii, Jilid I, hal. 255-256., Abu Ishaq Ibrahim bin Ali al-Syirazi, Al-Muahddzab, Jilid I, hal. 73).

Sedangkan menurut mazhab Maliki orang yang belum bisa membaca Al-Fatihah, jika sudah tidak memungkinkan untuk belajar, langkah pertama ia harus shalat dengan cara bermakmum kepada orang yang mampu membaca Al-Fatihah. Kemudian, jika tidak menjumpai orang yang bisa dijadikan imam, maka berdiam sekedar menjadi penanda yang memisahkan antara takbir dan rukuk. Dalam posisi diam tersebut sunah diisi dengan bacaan zikir semampunya. (Abdur Rahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, Jilid I, hal. 253). [] 

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …