Shalat menjadi syiar utama yang memaklumatkan tentang keislaman seseorang. Kewajiban shalat tergolong perkara yang ma’lumun min al-din bi al-dlarurah. Artinya, bahwa shalat itu mutlak hukumnya wajib telah diketahui oleh khalayak umum secara terang benderang, baik di kalangan awam ataupun kelompok eksklusif. Oleh sebab itu, ibadah ini tetap harus dikerjakan dan terlaksana apapun kondisi dan keadaan yang melingkupinya.
Selama akal sehat masih bersarang dalam kerangka tubuh manusia muslim, maka di saat yang sama kewajiban shalat tetaplah ada. Tak peduli kondisi fisik seperti apa dan bagaimana, dalam situasi dan kondisi apapun. Hal ini terbukti dalam opsi hierarkis bagi siapa saja yang tidak mampu melaksanakan shalat dalam keadan berdiri sesuai kriteria rukunnya.
Dalam situasi normal dan sehat, berdiri merupakan rukun shalat yang mendominasi. Hitungan rakaat dalam shalat pun didasarkan terhadap pengulangan berdiri pasca melakukan sujud yang kedua. Para ulama fikih sepakat bahwa kewajiban berdiri dalam shalat menjadi gugur bagi orang yang tidak mampu melakukannya.
Beragam faktor yang menjadikan mushalli (orang yang melaksanakan shalat) termasuk dalam kategori tidak mampu berdiri (al-‘ajz ‘an al-qiyam). Faktor tersebut dapat dikelompokkan dalam dua macam: faktor fisik dan non fisik. Faktor fisik semisal karena usia atau sakit yang menyebabkan tubuh tidak mampu berdiri, sedangkan non fisik seperti faktor situasi dan kondisi di luar tubuh.
Beberapa faktor non fisik yang dapat menggugurkan kewajiban berdiri dalam shalat antara lain:
a)orang yang shalat telanjang dikarenakan tidak menjumpai pakaian untuk menutup aurtanya. Menurut mayoritas ulama fikih selain Syafiiyah, orang tersebut harus melaksanakan shalat dengan cara duduk.
b) kondisi gawat atau bahaya yang dapat menganggu konsentrasi (khusyu’), seperti shalat dalam perahu atau kapal yang sedang berlayar, seandainya shalat berdiri dikhawatirkan jatuh ke laut atau membuat kepala pusing (mabuk laut) karena goncangan ombak yang dapat mengganggu konsentrasi shalat,
c) orang yang mempunyai penyakit beser, andaikata shalat berdiri akan mengeluarkan air seni, tetapi jika shalat sambil duduk tidak keluar air seni,
d) pasein dalam masa pengobatan, jika shalat berdiri akan mengeluarkan darah dari luka yang terdapat di tubuhnya. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid II, hal. 15., Muhammad Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i, Jilid I, hal. 244).
Orang yang tidak mampu melaksanakan shalat dengan berdiri, selanjutnya mengikuti urutan opsi hierarkis sesuai kondisi dan kemampuannya. Urutan hierarkis tersebut didasarkan pada sebuah hadis riwayat ‘Imran bin Hushain berikut ini:
صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
Artinya: “Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu shalatlah dengan duduk, jika tidak mampu shalatlah dengan berbaring”. (Shahih Bukhari, No. 1117., Sunan Abi Daud, No. 953).
Berdasarkan hadis ini para pakar fikih kemudian memberikan rumusan opsi hierarkis terhadap orang yang tidak mampu melaksanakan shalat berdiri dengan segala kemungkinannya. Opsi selanjutnya adalah shalat dengan cara duduk. Menurut Malikiyah dan Hanabilah posisi duduk yang dianjurkan adalah duduk bersila, kecuali pada saat sujud, duduk di antara dua sujud, dan saat tahiyat (Malikiyah), dan kecuali rukuk serta sujud (Hanabilah). Sementara menurut ulama Hanafiyah dan Syafiiyah dianjurkan posisi duduk seperti tahiyat awal, kecuali pada saat sujud dan tahiyat akhir. (Abdurrahman Al-Juzairi, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Jilid I, hal. 770).
Selanjutnya, jika tidak mampu dengan cara duduk, shalat dengan cara berbaring dengan posisi tubuh miring, sehingga wajah menghadap ke arah kiblat. Diutamakan miring ke sisi kanan, sehingga posisi kepala bearada di arah utara dan kaki di arah selatan. Jika miring ke sisi kanan dirasa sulit, maka miring ke sisi kiri dapat menjadi pilihan.
Urutan berikutnya, jika tidak mampu berbaring dengan posisi tubuh miring, maka shalat dengan posisi tidur terlentang dengan cara posisi kaki menjulur ke arah kiblat dengan kepala diganjal bantal agar wajah dapat menghadap ke arah kiblat, kemudian melakukan rukuk dan sujud dengan gerakan semampunya. Gerakan awal cukup berisyarat dengan anggukan kepala untuk menunjuk gerakan rukuk dan sujud.
Jika masih tidak mampu dengan gerakan isyarat kepala, cukuplah dengan isyarat kedipan mata. Jika sudah tidak mampu berisyarat dengan kedipan mata, maka terakhir menjalankan rukun dan sunah shalat dalam hati dan pikiran. Akan tetapi menurut Hanafiyah opsi terakhir adalah isyarat dengan anggukan kepala, sementara untuk isyarat yang lain sudah tidak dianggap. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid II, hal. 15-20., Muhammad Zuhaili, Al-Mu’tamad fi al-Fiqh al-Syafi’i, Jilid I, hal. 244-245).
Alhasil, opsi terakhir bagi orang yang uzur melaksanakan shalat secara normal dikarenakan kondisi fisik yang lemah untuk melakukan gerakan rukun fi’liyah, ulama berbeda pendapat. Menurut Hanafiyah opsi terakhir yang paling mudah dilakukan adalah berisyarat dengan gerakan kepala. Sedangkan Malikiyah mematok opsi terakhir adalah berisyarat dengan kedipan mata. Sementara Syafiiyah dan Hanabilah lebih jauh lagi memberikan opsi terakhir dengan cara menjalankan semua rukun dan sunnah shalat dalam hati dan pikiran dengan membayangkan gerakan-gerakan shalat.
Namun penting untuk menjadi pedoman bahwa seluruh ulama sepakat kewajiban shalat tidak pernah gugur selama akal masih normal, karena barometer taklif (pembebanan hukum) adalah akal. Selama masih bisa mengerjakan shalat dengan opsi-opsi yang dirumuskan oleh para pakar fikih, maka shalat tetap harus dikerjakan dan tidak wajib mengkada. Terkecuali bagi orang yang tidak mampu melakukan dengan cara isyarat gerakan kepala, maka dalam mazhab Hanafiyah orang tersebut wajib mengkada. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid II, hal. 21).[]
Wallahu a’lam Bisshawab!