tidak haji karena pandemi
tidak haji karena pandemi

Tidak Berhaji karena Pandemi, Menengok Takaran Mampu dalam Ibadah Haji

Telah maklum bahwa syarat sah ibadah haji adalah beragama Islam, berakal, baligh, merdeka dan mampu. Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi secara otomatis seseorang belum berkewajiban untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.

Hal yang penting diketahui terkait ibadah haji di tengah pandemi yang masih mengganas saat ini adalah syarat sah haji yang terakhir, yaitu mampu (istitha’ah). Bahasan ini diuarai secara panjang oleh para ulama mengingat firman Allah yang berbicara tentang istitha’ah memakai redaksi ‘am (umum).

Allah berfirman, “Mengerjakan ibadah haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke Baitullah”. (Ali Imran:97).

Menafsirkan kata mampu pada ayat ini, secara garis besar para ulama menitik beratkan pada tiga kriteria. Yakni mampu secara fisik (badan), mampu secara finansial dan mampu secara keadaan, yaitu keadaan yang aman dan kondusif.

Tulisan ini hanya fokus pada poin terakhir, keadaan kondusif dan aman. Pada masa dulu, kondisi perjalanan yang aman menjadi perhatian serius mengingat para jamaah haji harus melewati padang pasir, lembah dan perbukitan yang sepi. Oleh karena itu keamanan jalur yang akan dilalui menjadi perhatian serius. Seperti ancaman penyamun, perampok dan bentuk kejahatan yang lain. Sehingga beberapa kafilah haji terkadang harus menyewa pengawal keamanan.

Pertimbangan keamanan dalam perjalanan ini dimaksudkan untuk menjaga kemaslahatan jiwa manusia. Contoh kongkrit hal ini diajarkan oleh baginda Nabi ketika beliau bersama jamaah haji yang jumlahnya mencapai seribu lima ratus orang dihadang oleh Khalid bin Walid. Peristiwa ini dikenal dengan Baitu al Ridwan.

Nabi dan rombongan dari Madinah kala itu sudah berihram dan bertalbiyah menjawab seruan Allah. Beberapa kilo meter Khalid bin Walid yang kala itu masih kafir beserta pasukannya dengan senjata lengkap menghadang dan memaksa Nabi beserta rombongan untuk kembali ke Madinah.

Beberapa sahabat senior geram dan mengusulkan kepada Rasulullah untuk berperang melawan pasukan Quraisy mengingat mereka telah melakukan perjalanan panjang dari Madinah ke Makkah dan dengan tujuan yang mulia. Yakni menunaikan ibadah haji. Maka mati berkalang tanah sebagai syuhada lebih baik daripada harus kembali ke Madinah.

Namun apa yang dilakukan oleh Nabi benar-benar di luar dugaan. Demi menjaga stabilitas keamanan beliau membuat suatu perjanjian yang di kemudian hari dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Setelah perjanjian itu selesai ditandatangani oleh kedua belah pihak, Nabi memerintahkan kepada rombongannya untuk balik arah dan gagal menunaikan ibadah haji tahun itu. Padahal kalau Nabi berkehendak, dengan mudah bisa meminta kepada Allah supaya mereka dihancurkan oleh kaum muslimin.

Berdasarkan pada uraian di atas, ulama fiqih kemudian menetapkan keamanan dalam perjalanan dan tempat tujuan menjadi syarat sahnya ibadah haji. Maka pada saat ini, di tengah Covid-19 yang masih menebar ancaman, tentu menjadi mani’ (penghalang) bagi para jamaah untuk menunaikan ibadah haji. Sebab menjaga keselamatan jiwa lebih diutamakan daripada harus memaksakan diri berangkat ke Baitullah dengan resiko yang sangat tinggi.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …