Menurut Syekh Ahmad al-Mutamakkin seorang sufi tidak boleh bersikap apatis dan pasif terhadap persoalan di sekililingnya. Sufi harus menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, membantu orang sakit dan miskin, serta membebaskan mereka yang tertindas.
SyekhAhmad al-Mutamakkin merupakan seorang ulama sufi yang menyebarluaskan risalah Islam di wilayah pantai utara Jawa dan sekitarnya. Dalam local history setempat Syekh Ahmad al-Mutamakkin juga diingat dengan nama Syekh Cebolek.
Kandito Argawi (2013:90) mengatakan bahwa SyekhAhmad al-Mutamakkin menyebarluaskan risalah Islam dari Desa Cebolek pada abad ke-18 M, yang berada di Tuban menuju ke arah barat, sampai ke Desa Kalipang, yang terletak di Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang. Di sana beliau menetap beberapa lama dan sempat mendirikan sebuah masjid. Setelah itu, beliau meneruskan riḥlah sampai ke Cebolek, sebuah Desa di kecamatan Margoyoso Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ketika itu wilayah Cebolek masih bagian dari Kecamatan Juwana. Setelah bermukim di Cebolek beberapa lama, beliau kemudian hijrah ke Desa Kajen sampai akhir hayatnya.
Menurut Zainul Milal Bizawie (2014:117) asal usul SyekhAhmad al-Mutamakkin yang merupakan keturunan dari bangsawan Jawa. Versi ini sendiri mengutip dari penuturan turun-temurun masyarakat sekitar yang bersumber dari local history setempat. Keberadaan local history yang dimaksud ialah Teks Kajen. Di dalamnya dijelaskan secara terperinci mengenai silsilah SyekhAhmad al-Mutamakkin dari leluhurnya yang merupakan bangsawan Jawa.
SyekhAhmad al-Mutamakkin merupakan keturunan Raden Patah (Raja Demak, Sultan Bintoro). Silsilah SyekhAhmad al-Mutamakkin berada melalui Sultan Trenggono. Sultan Trenggono mempunyai empat orang anak, yaitu Putri Sekar Taji, Sunan Prawoto (Raden Bagus Mukmin), Ratu Kalinyamat (istri pangeran Hadirin, Jepara) dan putri istri Pangeran Timur di Madiun. Putri Sekar Taji ini dinikahi Jaka Tingkir (Sultan Pajang, Sultan Hadiwijaya). Dari pernikahan ini lahir anak bernama Sumahadiningrat (Sunan Benawa I). Sunan Benawa I ini mempunyai putra ber nama Sumahadinegara (Sunan Benawa II). Perkawinan antara Sunan Benawa II dengan Putri Raden Tanu melahirkan Sumahadiwijaya alias SyekhAhmad Mutamakkin
Dalam setiap prosesi dakwahnya Syekh Ahmad al-Mutamakkin selalu menganjurkan, agar masyarakat muslim selalu meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menggunakan waktu untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Ia juga menegaskan agar masyarakat muslim menjalankan tugas-tugas keduniaan untuk mencapai pemenuhan spiritual. Hal ini sejalan dengan pendapat Azyumardi (2014:189) yang menilai, bahwa ulama-ulama neo-sufisme biasanya tidak hanya menekankan aktivitas intelektual, tetapi juga aktivisme yang lebih praktis.
Permasalahan yang melatarbelakangi timbulnya kasus al-Mutamakkin sebenarnya bermula dari sikap keberatan para ulama ahli syariah atau fiqh terhadap cara perjuangan al-Mutamakkin dengan mengajarkan ilmu hakekat dan selalu menyindir ulama syariah yang hidup di atas kekuasaan keraton. Persoalan mendasar yang menjadi titik perjuangan al-Mutamakkin sebenarnya terletak pada upaya melakukan perubahan hubungan antara ulama sebagai ”pimpinan umat” di satu sisi dan penguasa di sisi yang lain di masa hidup Mutamakkin, para ahli fiqh (hukum Islam) cenderung untuk ”membela” penguasa, bahkan di kala mereka melakukan kesalahan- kesalahan besar.
Sikap ini mungkin dilakukan karena adanya ”ketentuan” yang disebut dalam Al-Qur’an, agar kaum muslimin selalu taat kepada Allah, utusannya, dan para penguasa (Uli al-Amri). Sikap ”tutup mata” atas pelanggaran-pelanggaran fiqh para penguasa ini, terjadi dalam skala besar dan meliputi masa yang panjang.
Sebaliknya, para peminpin tarekat, para mursyid beserta badal-badal mereka, menentang penguasa yang ada, dan ada yang menyebut nama mereka secara terbuka di muka umum. Karena itu, pada masa ini dapat dijumpai cerita-cerita ulama yang dibakar hidup-hidup atau dikupas kulit mereka sebagai hukuman dari penguasa.
Ada beberapa hal yang dipermasalahkan oleh ulama fiqih atau syariat terhadap Syekh Ahmad Mutamakkin yang kemudian membawa al-mutamakkin ke persidangan untuk dibahas dan ditentukan nasibnya. Situasi persidangan digambarkan dalam dua teks yakni serat Cebolek dan teks local Kajen secara kontradiktif. Serat Cebolek menarasikan al-Mutamakkin kalah berdebat di persidangan dengan ulama keraton bernama Ki Ketib Anom. Sedangkan teks local Kajen menggambarkan al-Mutamakkin-lah yang memenangkan perdebatan saat itu.
Dari sekian perdebatan, baik dalam Serat Cebolek maupun Teks Kajen, pendapat anggota sidang dapat dibagi menjadi dua kelompok yang saling mempertahankan dan menolak gugatan. Ada beberapa ulama yang teguh dan gigih berani membela al-Mutamakkin dan ada pula yang tetap menuntut agar dia diadili.
Tidak lama kemudian, akhirnya raja mendapat keterangan dari Raden Demang Urawan. Pertama, sembilan dari sebelas ulama setuju dengan larangan raja terhadap ajaran hakekat yang diajarkan oleh al-Mutamakkin. Namun demikian al- Mutamakkin tetap teguh pada pendiriannya, menolak untuk mundur, serta siap menghadapi hukuman raja. Ia diikuti oleh seorang ulama dari Kedung Gede dan siap untuk menjalani hukuman mati bersama al- Mutamakkin.
Dalam persidangan terdapat dua risalah pendapat yang saling berlawanan, yaitu menuntut dan membela al-Mutamakkin. Kedua, sikap al- Mutamakkin selalu tabah dan tenang dalam menghadapi segala kemungkinan dan tetap berpegang teguh pada pendirian. Sedangkan yang ketiga, bai’at tetap dipertahankan artinya al-Mutamakkin tidak jadi dihukum.
Menurut Syekh Ahmad al-Mutamakkin, tidak seharusnya seorang sufi bersikap apatis dan pasif terhadap persoalan di sekililingnya. Sufi yang sebenarnya bukanlah sufi yang mengalienasikan diri dari masyarakat, melainkan sufi yang menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, membantu orang sakit dan miskin, dan membebaskan mereka yang tertindas.
Azyumadi Azra (2014:201)mengatakan bahwa seorang sufi juga dituntut, untuk melakukan ta’awwun (tolong menolong) dengan muslim lain, dalam rangka menyongsong terciptanya kemaslahatan umat. Inilah beberapa contoh yang harus dilakukan oleh setiap sufi, untuk menjadi manusia sempurna (al-insān al-kāmil).
Dalam kondisi sosial-politik yang agama seringkali dibuat sebagai legitimasi kekuasaan telah membelenggu pemikiran masyarakat, sehingga masyarakat terjerembab dan sangat lekat dengan budaya feodalistik, yang lebih mementingkan kepentingan elit dibanding kepentingan masyarakat. Dalam tradisi feodalistik, masyarakat menganggap raja adalah satu-satunya perantara antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.
Dengan kata lain, menurut Moertono (2017:200) dalam dunia gaib dan lahir kedudukan raja diakui rakyat sebagai wakil Tuhan di muka bumi atau sebagai pemegang wewenang murba wisesa Situasi demikian yang sejatinya menimbulkan kekhawatiran dalam benak SyekhAhmad al-Mutamakkin. Beliau menganggap konsep politik raja-sufi adalah bentuk reproduksi, atau dihidupkannya khazanah budaya pra Islam dan Hindu- Buddhis yang dicampur dengan ajaran sufisme.
Dalam konteks perlawanan Syekh Ahmad al-Mutamakkin, neo-sufisme telah menjadi sebuah ideologi perlawanan untuk menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kekuasaan yang menyimpang tidak harus dilawan menggunakan kekerasan fisik, melainkan bisa dilakukan melalui cara yang lebih santun.
Syekh Ahmad al-Mutamakkin telah memberikan contoh, bahwa perlawanan kultural jauh lebih efektif dibanding- kan kekerasan fisik, sebab hanya dengan memberikan kritik, tidak mengikuti kebiasan buruk penguasa, serta berusaha tampil beda dengan penguasa, yang dipersepsikan menyimpang merupakan perwujudan dari fungsi manusia sebagai agen perubahan.