Berani atau takut terhadap virus corona sebenarnya bukan ukuran dari kualitas keimanan seseorang. Seolah yang berani berarti beriman tebal? atau Justru sebaliknya?
Tidak ada habisnya sebenarnya mendiskusikan persoalan ketaatan kepada agama di tengah pandemi ini. Meskipun berkali-kali sudah diingatkan dengan dalil dan fatwa dari berbagai negara dan organisasi keisalaman yang ada, tetap saja ada sebagian kecil yang masih ngotot untuk melaksanakan keramaian dengan shalat berjamaah.
Di Afganistan lebih mengerikan. Ribuan muslim Afganistan tetap melakukan salat berjamaah dan mengabaikan kebijakan lockdown negara. Alasannya satu mereka menganggap mati karena corona adalah syahid. Doktrin mati syahid karena penyakit menular seperti covid-19 mendorong keberanian mereka untuk melanggar protokol yang ada.
“Kami tidak peduli dengan virus Corona. Kami percaya Tuhan menciptakan virus Corona. Saya pikir itu hanya ciptaan Tuhan, sama seperti kita. Adalah kehendak Tuhan untuk menciptakan virus semacam itu,” kata salah satu peserta dalam shalat berjamaah di Afganistan.
Mereka sepertinya sangat ingat hadist Nabi yang mengatakan meninggalnya karena wabah penyakit menular seperti tha’un dikategorikan mati syahid. Itu sangat benar dan tepat sebagai doktrin. Namun, di sisi lain mereka lupa hadist Nabi ketika wabah untuk menjauh dan menghindari. Bahkan ketika wabah di dalam rumah dengan sikap sabar adalah mendapatkan pahala syahid.
Saat ini justu menjadi terbalik. Keberanian mengalahkan ketaatan. Seolah berani terhadap corona adalah keimanan yang kuat. Seorang yang berani dalam kondisi wabah seperti ini menjadi ukuran tebalnya keimanan dan ketaatan seseorang.
Jika kita ingin mengukur keberanian dan ketaatan sepertinya kita harus kembali pada keberanian orang pertama yang membawa risalah Islam dan para Sahabatnya. Apakah Nabi tidak percaya sama kekuataan Allah akan menolongnya ketika dalam kesusahan. Apakah Nabi tidak berani dalam melakukan hal yang heroic dan tidak perlu bersembunyi.
Rasulullah pernah bersembunyi di dalam gua tsur bersama Abu bakar ketika dikejar orang kafir untuk hijrah ke Madinah. Apakah dalam konteks ini, Nabi takut terhadap sesama manusia? Jika Nabi berani dan selalu percaya Tuhan akan menolong, buat apa Nabi bersembunyi?
Nabi Musa pun pernah lari dari kejaran Fir’aun dan pasukannya. Bahkan ketika harus berhadapan dengan laut mukjizat itu keluar membelah lautan dan menelan pasukan Fir’aun. Kenapa Nabu Musa lari? Bukankah tidak langsung meminta mukjizat saja tidak perlu lari? Apakah Nabi sekelas Nabi Musa takut?
Terakhir, siapa yang tidak kenal dengan Sahabat Pemberani Umar bin Khattab. Singa Allah di Padang Pasir ini tidak gentar sama sekali terhadap musuh-musuh Allah. Tidak pernah mengeluh dalam berjuang untuk Islam. Namun, suatu ketika beliau harus mengurungkan niatnya untuk mengunjungi Syam karena ada wabah thaun ketika itu. Kenapa? Singa Allah penakut terhadap wabah yang sebenarnya diciptakan oleh Allah?
Jika saya harus memperhadapkan keberanian masyarakat saat ini menghadapi wabah bahkan sampai tidak takut mati mungkin melebihi keberanian dari Nabi Muhammad, Musa, dan Umar yang tetapi melakukan ikhtiyar untuk keselamatan. Tetap menjadikan usaha sebagai bagian dari kepasrahan tapi sepenuhnya ingin binasa atas nama ketaatan.
Sungguh mengerikan ukuran keimanan seseorang saat ini dipatok pada keberanian dalam menghadapi virus corona sebagai sesama ciptaan Allah. Iman yang kuat adalah seolah mereka yang berani untuk tetap menggelar ibadah dalam keramaian tanpa mempertimbangkan protokol kesehatan yang ada.
Namun, sebenarnya keberanian terhadap corona dengan tetap menggelar ibadah bukan ukuran tebalnya iman, tetapi dangkal pemahaman keagamaan seseorang. Di samping itu, keberanian itu menunjukkan tipisnya ketaatan mereka terhadap anjuran Rasulullah dan ulil Amri ketika ada wabah.