Nama KH. Mustofa Bisri bukan nama baru. Namanya sudah melanglang buana. Karyanya diakui karena sarat kritik sosial dan budaya. Puisinya selalu tampil beda dan telah memiliki genre sendiri. Banyak penyair mencoba meniru gaya berpuisi Gus Mus, panggilan akrab KH Mustofa Bisri. Akan tetapi, itu tidak berhasil. Orisinalitas Gus Mus dan puisinya memang diakui banyak pihak. Gaya puisi Gus Mus tak ada yang mampu meniru.
Kepopuleran Gus Mus dalam dunia sastra dikarenakan karyanya kerap diasosiasikan dengan Islam. Puisi yang ditulis Gus Mus selalu mengungkit fenomena umat di masyarakat. Dia mengangkat topik yang hangat. Bukan sekadar kritik, tapi bersifat reflektif. Salah satu puisi Gus Mus yang paling popular adalah Selamat Tahun Baru Kawan. Puisi tersebut biasanya viral setiap tahun baru Masehi atau Hijriyah di media sosial. Puisi tersebut juga tak pernah membosankan untuk dibaca berulang kali. Apalagi dibaca dan direnungkan saat perayaan malam tahun baru.
Puisi “Selamat Tahun Baru Kawan” karya Gus Mus
Puisi berjudul Selamat Tahun Baru Kawan. Puisi tersebut merupakan salah satu dari buku Antologi Puisi Tadarus karya Gus Mus, yang diterbitkan oleh Adicita Karya Nusa Yogyakarta pada 2003. Berikut puisi Selamat Tahun Baru Kawan karya Mustofa Bisri (2003):
“Selamat Tahun Baru Kawan
Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk memandang diri sendiri
Bercermin firman Tuhan, sebelum kita dihisab-Nya
Kawan siapakah kita ini sebenarnya?
Muslimkah, mukminin, muttaqin, kholifah Allah, umat Muhammadkah kita?
Khoirul ummatinkah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain atau bahkan lebih rendah lagi
Hanya budak perut dan kelamin
Iman kita kepada Allah dan yang ghaib rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan
Lebih pipih dari kain rok perempuan
Betapapun tersiksa, kita khusyuk didepan masa
Dan tiba tiba buas dan binal disaat sendiri bersama-Nya
Syahadat kita rasanya lebih buruk dari bunyi bedug,atau pernyataan setia pegawai rendahan saja.
Kosong tak berdaya.
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu
Lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan 1000 anak pemuda.
Doa kita sesudahnya justru lebih serius memohon enak hidup di dunia dan bahagia dis urga. Puasa kita rasanya sekadar mengubah jadual makan minum dan saat istirahat, tanpa menggeser acara buat syahwat, ketika datang rasa lapar atau haus.
Kita manggut manggut, ooh…beginikah rasanya dan kita sudah merasa memikirkan saudara saudara kita yang melarat.
Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak melepas penghasilanya untuk kupon undian yang sia-sia
Kalaupun terkeluarkan, harapan pun tanpa ukuran upaya-upaya Tuhan menggantinya lipat ganda
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri, mencari pengalaman spiritual dan material, membuang uang kecil dan dosa besar.
Lalu pulang membawa label suci asli made in saudi “HAJI”
Kawan, lalu bagaimana dan seberapa lama kita bersama-Nya atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya, mensiasati dunia khalifahnya,
Kawan, tak terasa kita semakin pintar, mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita paling tidak kita semakin pintar berdalih
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran,mengacau dan menipu demi keselamatan Memukul, mencaci demi pendidikan
Berbuat semaunya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa apa demi ketenteraman
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian pendek kata demi semua yang baik halallah sampai yang tidak baik.
Lalu bagaimana para cendekiawan, seniman, mubaligh dan kiai sebagai penyambung lidah Nabi
Jangan ganggu mereka
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak kemana-mana
Para kiai sibuk berfatwa dan berdoa
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka di atas sana Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri (KH Ahmad Mustofa Bisri, 2003)
Makna Dalam Puisi Gus Mus
Sistem sosial yang sangat utama muncul dalam puisi Gus Mus adalah masalah keyakinan. Itu tidak lepas karena Gus Mus adalah seorang ulama Nahdatul Ulama yang sudah diakui kealimanannya dan keilmuannya banyak puisinya juga kerap bersinggungan dengan urusan keyakinan, yakni Islam. Keyakinan memang sebenarnya bukan hanya berkaitan dengan agama semata, tetapi, keyakinan, misalnya agama, memiliki nilai yang terukur dan bersifat komunal.
Dalam puisinya, Gus Mus menyindir keras berkaitan dengan keyakinan. Dia juga mengkritik konsep keyakinan pada diri sebagian umat Islam yang dinilai tidak lagi sesuai dengan keyakinan yang sebenarnya. Dia ingin menggugah tentang arah kompas keyakinan pada diri manusia.
… Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu Lebih cepat dari pada menghirup kopi panas dan lebih ramai daripada lamunan 1000 anak pemuda. …
Sebuah sindiran yang sangat keras dari Gus Mus. Salat adalah amalan yang pertama dihisab di akhirat. Ukuran keimanan seorang Muslim umumnya dilihat dari salat. Apalagi, salat juga disebut sebagai tiang agama. Ketika salat saja sudah disepelekan dan dinomorduakan, maka keyakinan pun bisa keropos dan mudah digoyang.
Sebagian umat Islam tidak lagi menjadikan salat sebagai urusan penting. Mereka lebih senang dengan urusan dunia yang fana dan sementara. Padahal, urusan keyakinan bukan urusan hati saja. Urusan keyakinan terutama salat juga menjadi pijakan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Perasaan sentimen juga menjadi bagian dari sistem sosial. Perasaan bukan urusan pribadi semata karena masyarakat adalah mahkluk sosial. Dia tidak bisa hidup sendirii. Keberlangsungan suatu masyarakat juga ditentukan oleh perasaan yang ada di dalam hati manusia, apakah rasa suka, benci, dan lain sebagainya.
… Memukul, mencaci demi pendidikan …
Dari kutipan di atas, terdapat makna perasaan menentukan stabilitas sosial di masyarakat. Gus Mus mengingatkan semua orang kebencian akan mengakibatkan penderitaan. Cacian tidak akan mewujudkan harapan. Perkelahian tidak akan mewujudkan keinginan. Meskipun kebencian, cacian, dan perkelahian itu untuk mencapai tujuan baik bagi mereka seperti pendidikan. Seolah-olah Gus Mus ingin mengajak kembali umat Islam untuk berpegang teguh kembali Kembali untuk menggunakan perasaan untuk hal hal kebaikan. Perasaan harus diisi dengan kasih dan sayang, cinta dan kepedulian, menjaga dan mengingatkan. Jangan korban perasaan untuk hal yang merusak hati yang berujung mengganggu relasi sosial.
Selanjutnya, tujuan menjadi hal penting dalam sistem sosial. Tujuan bisa diwujudkan dalam cita cita seseorang dan cita cita masyarakat. Hal tersebut yang akan mengendalikan perasaan dan pikiran untuk kehidupan sosial yang lebih baik.
… Doa kita sesudahnya justru lebih serius memohon enak hidup di dunia dan bahagia di surga. …
Dari kutipan puisi di atas, doa merupakan awalan pertama dalam mewujudkan target. Melalui doa, manusia akan memiliki target yang jelas. Melalui doa, orang juga akan melihat visi dan misi yang lebih jelas untuk mewujudkan citacita. Dengan doa, semangat pun bisa dipupuk sehingga langkah dan ayunan akan semakin mantap. Akan tetapi, justru cita-cita manusia hanya menginginkan kenikmatan dunia dan di surga. Mereka lebih peduli dengan hal yang menyenangkan dan membahagiakan saja. Bahkan, hanya untuk diri mereka sendiri, kelompok mereka, dan golongan mereka.
Mereka melupakan hal yang penting. Kemaslahatan umat manusia. Mereka mengabaikan persatuan dan kesatuan bangsa. Mereka lupa bahwa banyak masyarakat lain juga harus diperjuangkan dan dibantu. Cita-cita sebenarnya bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk bisa bermanfaat untuk orang lain. Selanjutnya, kekuasaan menjadi sistem sosial yang sangat lekat dengan unsur politik. Mereka yang berkuasa dalam iklim demokrasi dipilih oleh rakyat. Meski terkadang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kursi. Meski kekuasaan diraih dengan kezaliman. Hal tersebut terjadi karena kekuasaan menjadi magnet yang mampu memperkuat diri dan kelompoknya.
… Para pemimpin sedang mengatur semuanya Biarkan mereka di atas sana Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri …
Sebagai sistem sosial yang memiliki kekuatan, kekuasaan dalam hal ini adalah pemerintah mampu mendominasi kehidupan sosial. Mereka hadir karena mereka memiliki alat kekuasaan untuk menegakkan hukum dan aturan. Namun, kekuasaan juga memiliki tanggung jawab besar karena harus bertanggungjawab dalam hal keamanan dan kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Mereka tidak bisa semena-mena karena mereka terikat dengan janji politik. Akan tetapi, seperti yang disindir Gus Mus, kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin justru menghadapi dilema. Mereka menikmati dan meratapi. Gus Mus sepertinya ingin menggugah semua pemimpin yang terlalu sibuk mengurusi urusan sendiri, tetapi mengabaikan urusan yang lebih penting yakni rakyatnya. Dia juga mengajak masyarakat untuk tak perlu meributkan para pemimpin yang sibuk dengan urusannya sendiri.
Kemudian, ketegangan sangat bermain pada puisi Gus Mus. Dia menampilkan dua sisi yang berbeda dan bersifat paradoks. Itu menjadi fenomena kebanyakan orang di Indonesia. Hal itu sangat serius karena tidak ada manusia tidak lagi percaya dengan esensi, karena citra bisa yang ditampilkan bisa menipu. Sikap dan pemikiran tidak mencerminkan pemikiran dan perasaan. Hal tersebut dikarenakan banyak manusia mengandalkan rekayasa dalam kehidupan mereka.
… Kawan, tak terasa kita semakin pintar, mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita paling tidak kita semakin pintar berdalih Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran,mengacau dan menipu demi keselamatan Memukul, mencaci demi pendidikan Berbuat semaunya demi kemerdekaan Tidak berbuat apa apa demi ketenteraman Membiarkan kemungkaran demi kedamaian pendek kata demi semua yang baik halallah sampai yang tidak baik. …
Dari kutipan puisi di atas, mengandung makna bahwa manusia zaman sekarang memang suka berdalih. Terkadang mereka mengetahui apa yang mereka lakukan itu salah, tetapi mereka menggunakan pengetahuan untuk mencari dalih, mencari pembenaran dengan kebutuhan masyarakat, dan mengusaha semuanya berjalan lancar dengan segala cara. Tipuan demi kepentingan pribadi pun menjadi hal biasa. Dengan dalih untuk kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Gus Mus mengkritik sebagian masyarakat yang selalu melihat segala sesuatu dari jangka pendek, bukan jangka panjang. Otak mereka lebih berpikir pendek, enggan berpikir panjang. Hal tersebut karena mereka terjebak pemikiran dan konsep yang salah tentang hidup. Gus Mus menjelaskan kalau itu semua karena orang belum mengalami “proses pematangan” yang cukup dalam keilmuan dan keprofesionalitasan. Mereka mudah dibeli oleh uang, kekuasaan, dan pengalaman. Mereka tidak mau berpijak pada moralitas dan kepentingan bersama.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah