anak yatim
anak yatim

Tradisi 10 Muharram sebagai Hari Raya Anak Yatim

Masalah klasik yang tak henti diperdebatkan setiap tahunnya, terutama di media massa, adalah tradisi 10 Muharram. Di Indonesia, sebagian kecil umat Islam menentang dan beranggapan tradisi ini tidak memiliki argumentasi dan dalil yang kuat. Sementara mayoritas umat Islam mentradisikan hal ini dengan argumentasi dalil yang validitasnya juga tidak diragukan.

Alhasil perlu melakukan pembacaan yang benar supaya bisa menilainya secara objektif. Tradisi ini muncul sebab ada beberapa hadis Nabi yang membincang keutamaan menyantuni anak yatim pada tanggal sepuluh Muharram. Sebab itu, tradisi ini tak lekang sampai saat ini dari generasi ke generasi.

Dari sekian hadis Nabi yang berbicara keutamaan 10 Muharram, salah satunya dimuat dalam kitab Tanbih al Ghafilin.

“Barang siapa mengusap kepala anak yatim (menyantuni dan menyayangi) pada hari Asyura (10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya sebanyak rambut anak yatim tersebut yang terusap oleh tangannya”

Beberapa hadis yang berbicara tentang keutamaan menyantuni anak yatim pada 10 Muharram, termasuk hadis ini, dinilai dhaif sehingga sebagian kalangan mengharamkan tradisi ini. Bahkan menganggap bid’ah. Menyantuni anak yatim mestinya dilakukan setiap saat. Tak terikat oleh waktu.

Lalu, apakah kelompok mayoritas yang mentradisikannya tidak punya dalil?. Tentu tidak demikian. Bahwa hadis-hadis tersebut dhaif mereka juga paham. Namun apakah mengamalkan hadis dhaif tidak boleh?. Dalam hal mengamalkan hadis dhaif, jumhur ulama membolehkan dengan beberapa syarat.

Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar menulis, para ulama ahli fikih dan ahli hadis menyatakan boleh mengambil dan mengamalkan hadis dhaif dalam hal fadhail a’mal, targhib (motivasi) dan tarhib (memberi peringatan) selama hadis tersebut bukan hadis palsu (maudhu’).

Argumentasi berikutnya dari kalangan jumhur ulama, walaupun hadis-hadis tentang keutamaan menyantuni anak yatim tanggal 10 Muharram semuanya dhaif, tetap tidak bertentangan dengan hadis yang secara umum berbicara tentang anjuran untuk menyantuni anak yatim kapan saja. Tidak terikat oleh waktu. Dengan demikian, tidak ada masalah dengan tradisi menyantuni anak yatim pada tanggal 10 Muharram.

Argumen ini diperkuat oleh Shafiyurrahman al Mubarakfuri dalam Mirqatu al Mashabih mengutip pendapat Imam Ibnu Hajar al ‘Asqalani yang menjelaskan bahwa ulama jumhur membolehkan mengamalkan hadis dhaif bila ada hadis shahih yang menaungi walaupun konteksnya umum.

Dengan demikian, tradisi menyantuni anak yatim pada tanggal 10 Muharram patutlah dilestarikan. Di samping ada pengabsahan dari jumhur ulama, juga sebagai alarm peringatan kepada umat Islam akan pentingnya menyantuni anak yatim. Sebab tidak semua umat Islam memiliki kesadaran tentang ibadah yang sangat disenangi oleh Rasulullah ini.  Barangkali, momentum 10 Muharram menjadi pemecut semangat untuk mengaktualisasikan pesan Nabi.

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini. Kemudian beliau memberi isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengahnya serta agak merenggangkan keduanya”. (HR. Bukhari).

Bagikan Artikel ini:

About Khotibul Umam

Alumni Pondok Pesantren Sidogiri

Check Also

sirah nabi

Pesan Nabi Menyambut Ramadan

Bulan Ramadan, atau di Indonesia familiar dengan sebutan Bulan Puasa, merupakan anugerah yang diberikan Allah …

imam ahmad bin hanbal

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka …