al azhar
al azhar

Wahabi, Sunnah dan Pakaian al-Azhar

Seorang guru besar ilmu hadis Mesir; Prof. Ibrahim al-Asymawi mengeluarkan fatwa haram berpakaian dan berpeci ala al-Azhar bagi yang manhajnya “non-Azhari” atau berupaya memerangi manhaj al-Azhar. Prof. al-Asymawi bertanggung jawab secara pribadi atas fatwa dimaksud. Menurutnya, hal itu adalah bentuk penipuan dan tadlis (pengelabuhan) terhadap umat Islam. Semua tahu bahwa penipuan dan tadlis hukumnya haram.

Tadlis diantara istilah yang sering dipakai dalam tradisi ilmu hadis. Al-Azhar sebagai institusi dipandang karena ulama dan manhajnya, bukan sekedar bangunan gedung dan aktivitas penelitiannya. Oleh karena itu, tidak membuka ruang bagi siapa pun untuk mengaku-ngaku “Azhari” atau bagian dari kalangan al-Azhar. Orang yang non-Azhari dan berpenampilan (baca:berseragam) seperti guru, santri atau simpatisan al-Azhar berarti telah melakukan manipulasi atau tadlis yang diharamkan. Ini merupakan “tadilis al-Muassasah” atau memanipulasi insitusi yang tidak jauh berbeda dengan perbuatan menutupi atau manipulatif terhadap hadis dan guru (periwayat) hadis.

Dalam periwayatan, seorang santri menutupi alias tidak menyebut terang-terangan siapa gurunya dengan maksud agar kelemahan gurunya tidak diketahui atau diviralkan. Terkadang seorang periwayat tidak menyebut nama periwayat yang ia temui lantaran banyaknya hadis yang disampaikan dan di satu sisi mengulang-ulang penyebutan nama bisa menjenuhkan. Seorang penulis bisa jadi tidak menyebutkan sumber kutipannya untuk “menghilangkan” namanya dari pikiran pembaca, atau lantaran  yang dikutip masih “junior” atau ada faktor saingan sehingga khawatir mengviralkan namanya.

Imam Sakhowi dalam kitabnya “al-Ghayah fi Syarh al-Hidayah” menyebut bahwa senyatanya Imam Bukhari dan Imam-Imam yang lain juga tidak lepas dari tadlis atau menutupi guru-guru mereka, namun tidak bermaksud menyamarkan prinsip memperbanyak guru, melainkan mendorong periwayat (peneliti) hadis agar berusaha maksimal dalam mengenali prilaku periwayat dan tidak sampai terperosok tadlis dalam bentuk apapun.

Dengan kata lain, bertemu  langsung dengan periwayat atau hasil mengenalinya sendiri lebih utama dibanding hasil  dikenalkan oleh orang lain. Imam Abu Hanifah pernah dikritik habis oleh seseorang lantaran kitabnya yang beredar dengan menulis kitab bantahan, namun setelah bertemu langsung dengan Imam Abu Hanifah, orang tersebut mencabut kitabnya dan polemik pun selesai.

Bersikap adil membutuhkan kelapangan hati dan wawasan yang luas. Ibnu Hajar mengaku terkesima dengan pendapat Ibnu Daqiq al-Ied bahwa menutupi orang stiqah (kredibel) bisa berdampak positif dan juga negatif. Positifnya, bisa menguji nalar peneliti agar mencari sendiri sosok yang stiqah, terutama peneliti yang sedang diuji hafalan dan pengetahuannya tentang sosok-sosok ulama. Negatifnya, orang yang sebenarnya stiqah bisa samar-samar di mata masyarakat, bahkan tidak dikenal (majhul) dan pengamalan hadis yang disampaikan gugur meskipun dirinya  adil.

Selain itu, Ibnu Hajar menambahkan dampak buruknya bahwa  hadis dan periwayatnya yang ditutupi secara otomatis menyetujui popularitas periwayat lemah dengan hadis-hadis yang disampaikan.  Pada prinsipnya, orang stiqah yang tidak salah dalam periwayatannya dan riwayatnya bersambung dengan orang-orang stiqah sebelumnya hadisnya shahih. Jika salah, hadisnya mengandung unsur kecacatan dan perlu diteliti kembali dengan studi perbandingan.

Ala kulli hal, fenomena wahabi di al-Azhar dan umumnya Mesir semakin meresahkan. Prof. Ibrahim al-Asymawi meminta mereka tidak memakai pakaian khas al-Azhar agar tidak menipu umat Islam. Jika wahabi semakin merasuk ke dalam al-Azhar maka arus  paham ekstrimis di Mesir semakin sulit untuk dibendung.  Saudi Arabia yang sudah dikuasai oleh wahabi dari generasi ke generasi menjadikan penghapusan wahabi seperti yang diupayakan oleh Putra Mahkota Ibnu Salman membutuhkan waktu yang relatif panjang.

Dalam tradisi hadis, jumlah jalur periwayat yang semakin banyak menambah kekuatan hadis tersebut. Ini bukan berarti hadis yang hanya memiliki satu jalur tidak bisa masuk kategori shahih, tetapi setiap hadis yang sudah memenuhi syarat kesahihan hadis baru terkonfirmasi kesahihannya jika terhindar dari illat (kejanggalan) setelah diteliti dengan bantuan keberadaan jalur-jalur lain. Begitu pula hadis yang dianggap masyhur tidak semerta merta menunjukkan hadis itu shahih.

Pasalnya, wahabi dikenal melakukan tadlis tidak hanya dalam hal pakaian seperti terjadi di al-Azhar, melainkan juga dalam hal riwayat hadis Nabi. Wahabi mempopulerkan hadis yang tidak populer dan menutupi hadis yang sudah populer karena dianggap membahayakan kelompoknya. Jika terpaksa menyebutkannya, maka mengutipnya dari jalur yang menilai sanad hadis tersebut tidak kuat seperti hasan gharib; hadis yang berumber dari para periwayat yang semua atau sebagian mereka hafalannya lemah dan keberadaan hadis tersebut tidak diketahui kecuali melalui satu jalur.

Kekuatan hafalan atau ke-dlabit-an seorang periwayat menurut kalangan Hanafi tidak cukup dilihat dari hafalan hadisnya, melainkan juga pemahaman makna bahasa dan syariat terhadap  hadis yang diriwayatkan. Berbeda dengan kalangan muhaddis yang umumnya tidak mensyaratkan pemahaman dan cukup dengan menghafal. Namun Syekh Said Mamduh dalam hal ini  menyebut para penghafal atau huffad al-Hadis adalah banyak dari kalangan Hanabilah dan wahabi mengklaim mengikuti Hanabilah, sedangkan para muhaddis sebenarnya adalah dari kalangan Syafi’iyah. Syekh Said Mamduh memahami bahwa seorang muhaddis tidak cukup menghafal hadis, melainkan juga mampu menyeleksi dan memahami hadis.

Seorang Wahabi tidak segan menyebut kalangan Ahlus Sunnah gagal paham dengan hadis Nabi: “Wahai manusia,  sungguh Aku meninggalkan untuk kalian perkara yang selama kalian berpegang teguh dengannya, kalian tidak akan tersesat; kitab Allah dan Ahlul Bait-ku”. Selain menuduh gagal paham, mereka juga mengutip penilaian hadis ini dari sumber yang menguntungkan mereka, dalam hal ini Imam al-Tirmidzi yang menyebutnya hadis hasan gharib, seolah-olah bersumber dari satu jalur. Padahal hadis tersebut juga termaktub dalam kitab Shahih Muslim, Musnad Ahmad, al-Jami’ al-Shaghir, Misykat al-Mashabih, Mustadrak a-Hakim, Kitab al-Sunnah, al-Bidayah wa al-Nihayah dan kitab hadis maupun sejarah lainnya. Walhasil, wahabi, sunnah dan pakaian al-Azhar tidak pernah nampak serasi dan indah dalam dunia keilmuan.   Wallahu A’lam.

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …