Problema perzinahan memang hampir tidak pernah berujung, mulai dari masalah moral manusia hingga pada HIV yang banyak dipengaruhi oleh zina. Masalah lain yang membuntuti perbuatan hina ini adalah nasib anak yang kelak dilahirkan dari pasangan haram ini.
Dalam literatur kitab Fiqh dijelaskan bahwa anak zina tidak memiliki nasab dengan ayah zinanya, hal ini didasarkan pada hadits:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجْرُ
Artinya: “Anak untuk orang yang menikah, dan pezina terhalangi (nasabnya) (HR. Bukhari dan lainnya)
Sebab itu ayah yang menzinahi ibunya boleh menikahi anak hasil zina tersebut. Dalam kitab Fath al Qarib disebutkan:
أَمَّا الْمَخْلُوْقَةُ مِنْ مَاءِ زِنَى شَخْصٍ، فَتَحِلُّ لَهُ عَلَى الْأَصَحِّ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَسَوَاءٌ كَانَتِ الْمَزْنِيُّ بِهَا مُطَاوِعَةً أَوْ لَا
Artinya: “Anak wanita yang tercipta dari air zina seseorang hukumnya halal dinikahi olehnya, akan tetapi hukumnya makruh, baik wanita yang dizinahi sama-sama mau atau tidak (dipaksa)”[1]
Bahkan sekalipun ayah zina tersebut menikahi wanita yang dizinahi tadi, tetap saja nasab anak hasil zina terputus dengan ayah zinanya[2]. Sebab itulah, anak zina tidak memiliki hak waris ayah yang menzinahi ibunya[3].
Dalam jumhur fuqaha’, keberadaan wali menjadi mutlak syarat sah akad nikah. Dari itu, pernikahan tanpa ada wali hukumnya tidak sah. Sementara pada anak zina, tidak ada wali dari jalur nasab karena nasabnya sudah hilang dengan ayah zina. Lalu, siapakah yang akan menikahkan anak zina tersebut jika nasabnya sudah putus?
Dalam riwayat ‘Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda:
السُّلْطَانَ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
Artinya: “Sulthan adalah walinya orang yang tidak ada wali” (HR. Ahmad bin Hanbal)
Berangkat dari hadits ini, para Fuqaha’ menjadikan hakim sebagai wali bagi orang-orang yang tidak memiliki wali nasab. Yang dimaksud dengan wali nasab yaitu: Ayah, kakek, saudara laki-laki, paman, keponakan, dan sepupu.
Setiap wanita yang tidak memiliki ikatan nasab dengan orang-orang tersebut (wali nasab) maka yang berhak menikahkan adalah hakim. Dalam konteks Indonesia adalah KUA. Di dalam Fath al Qarib, Ibn Qasim al Ghazi menjelaskan: “Hakim dapat menikahkan ketika tidak ada wali nasab dan wali wala’”[4]
Dengan demikian maka wanita yang diperoleh dari hasil zina tetap memiliki hak menikah dengan laki-laki idamannya dengan cara menyerahkan pernikahannya kepada KUA. Sebab wanita hasil zina tidak memiliki ikatan nasab dengan ayah zina apalagi dengan kakek atau wali nikah jalur nasab lainnya.
Wallahu a’lam
[1] Ibn Qasim al Ghazi al Syafi’i, Fath al Qarib al Mujib, Hal 303
[2] Dr. Abdullah bin Muhammad al Thayyar, dkk, Al Fiqh Al Muyassar, Juz 11, Hal 150
[3] Abu Muhammad al Baghawi, At Tadzhib Fi Fiqh al Imam al Syafi’i, Juz 5, Hal 49
[4] Ibn Qasim al Ghazi al Syafi’i, Fath al Qarib al Mujib, Hal 300