Baru-baru ini kita dikejutkan dengan satu pernyataan yang membuat kontroversial dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM, Prof. Mahfud MD. Secara sederhana ucapan beredar dengan berbunyi: dilarang atau haram meniru sistem pemerintahan Nabi. Lalu, di mana letak kontroversinya?
Mari kita ulas sesuatu yang sudah menjadi kontroversial itu secara perlahan dengan pikiran tenang dan hati yang tentram. Kita mulai dengan perkataan Menkopolhukam : “Karena kita dilarang, oleh agama kita, mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi. Kaget? Iya dilarang. Karena negara yang didirikan Nabi itu teokrasi, di mana Nabi itu mempunyai tiga kekuasaan sekaligus. Legislatif, kalau ada masalah hukum baru. Lembaga legislatifnya Nabi, lembaga eksekutifnya nabi juga. Lembaga yudikatifnya? Nabi. Sekarang nggak bisa ada negara seperti (zaman, red.) Nabi itu. Haram, kalau kita,”.
Ada banyak alasan mengapa ini menjadi kontroversial. Penggunaan istilah Mahfud memang terlihat tidak anggun walaupun ada pesan subtansial yang ingin disampaikan. Entah ini bagian dari bahasa jurnalis dan media, kita perlu telusuri lebih lanjut dengan tabayyun. Akhirnya kalimat itu disimpulkan masyarkat : “haram meniru sistem pemerintahan Nabi” dan menjadi kayu bakar yang ampuh untuk membakar emosi. Tentu saja sekali lagi bagi yang bersumbu pendek dan mudah terbakar.
Kemarahan itu tentu saja beralasan karena umat Islam diperintahkan untuk meniru Nabi Muhammad. Dalam ayat Al Quran dinyatakan: “Sungguh bagi kalian, terdapat contoh tauladan yang baik pada pribadi (dan ajaran dalam segala hal dari) Rasulullah SAW,” (QS. Al-Ahzab, 21). Ayat ini jelas mengatakan bahwa Nabi adalah teladan yang wajib diikuti, bukan malah haram diikuti.
Namun perkataan Saudara Mahfud perlu dijernihkan. Sebenarnya apabila diamati apa yang diucapkan Mahfud adalah bukan persoalan meniru dan meneladani, tetapi persoalan meniru menjadi Nabi. Artinya, umat Islam memang diperintahkan meniru Nabi, tetapi tidak boleh meniru menjadi Nabi.
Pemerintahan ala Rasulullah adalah pemerintah khusus yang dimiliki seorang Nabi yang sekaligus pemimpin negara. Setelah Rasulullah tidak ada Nabi dan Pemimpin negara yang sama seperti kewenangan yang dimiliki Nabi. Prototipe kepemimpinan Nabi di Madinah adalah unik, khusus dan hanya dimiliki seorang Nabi. Bersatunya eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam diri Rasul yang dipandu langsung oleh wahyu.
Menjadi pemimpin dengan meniru Nabi harus dilakukan, tetapi menjadi pemimpin yang meniru menjadi Nabi di mana tiga kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu tidak boleh. Prototipe kepemimpinan Kenabian inilah sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Saudara Mahfud. Bukan dalam konteks keharaman sistem dan tata nilai pemerintahan yang diajarkan Nabi.
Dari Nabi yang Tidak Wajib Ditiru
Dalam hal lain, memang umat tidak boleh meniru menjadi Nabi. Ada beberapa hukum yang hanya bisa dilakukan Muhammad sebagai statusnya menjadi Nabi. Dalam kategori sunnah Nabi itu, Abdul Wahab Khalaf dalam kitab Ushul Fiqh membagi tiga kategori dari perkataan dan perbuatan Nabi yang bukan sebagai sumber hukum dan tidak wajib mengikuti.
Pertama, sesuatu yang datang dari Nabi yang berkaitan dengan tabiat kemanusiaan seperti bangun, tidur, duduk, jalan, makan, minum. Semua hal tersebut bukan bagian dari hukum kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal itu untuk diikuti.
Kedua, sesuatu yang datang dari Nabi berdasarkan pengalaman pribadi, pengalaman dan pemikiran nabi dalam urusan keduniaan seperti perdagangan, pertanian, stratgei perang, resep obat dan lainnya. Perbuatan ini bukan bagian dari syariat dan tidak wajib diikuti. Nabi pernah melarang penduduk Madinah untuk tidak mengawinkan pohon kurma. Akibatnya, pohon kurma dimaksud mengalami gagal panen. Sehingga kemudian Rasul bersabda: “Kalian lebih tahu akan urusan-urusan duniamu.”
Dalam salah satu riwayat lain sebagian Sahabat dalam suatu peperangan bertanya kepada nabi tentang strategis penempatan pasukan pemanah, apakah ini merupakan wahyu atau pandangan Nabi sebagai strategi perang? Nabi berkata: tidak, ini bukan wahyu tetapi pandangan saya. Lalu sahabat memberikan pandangan alternatif strategi lain.
Ketiga, sesuatu yang datang dari Nabi dan ada dalil tentang kekhususan hanya untuk nabi. Dalam kasus ini perbuatan tersebut bukan teladan yang wajib diikuti dan bukan sumber syari’at secara umum. Hal ini misalnya pernikahan Nabi yang lebih dari empat, padahal Nash menunjukkan pembatasan istri dengan jumlah empat.
Dari kategori ketiga ini ada hukum yang hanya khusus untuk Nabi. Misalnya ada ibadah yang khusus berhukum wajib bagi Nabi seperti shalat tahajjud, tetapi tidak bagi umatnya. Kekhususan seorang Nabi inilah yang tidak bisa ditiru oleh umat Islam. Artinya meniru Nabi harus dilakukan, tetapi meniru menjadi Nabi dengan kekhususannya tidak boleh.
Barangkali ini sebenarnya yang mau disampaikan oleh saudara Mahfud dengan mengatakan prototipe kepemimpinan Nabi itu adalah unik dan khusus yang tidak akan ada setelah Nabi. Para penggantinya yang disebut khalifah, hanya pengganti yang tidak memiliki kewenangan seperti Nabi. Otoritas kenabian tidak bisa digantikan, tetapi otoritas pemerintahan dengan semangat rasul harus dilaksanakan.
Beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia dan negara mayoritas muslim lainnya sebenarnya sudah sesuai dengan semangat dan nilai Islami yang diajarkan oleh Nabi. Meniru dan meneladani cara Nabi dalam memimpin yang amanah dan adil adalah kewajiban. Namun, menjadi pemimpin seperti Nabi dalam otoritas kenabian dan kenegaraan tentu sudah tidak ada lagi.
Selebihnya memang perlu tabayyun dan klarifikasi yang arif agar tidak mudah terprovokasi dengan statemen di media. Sebelum salah paham apalagi sampai paham yang salah sebaikanya persoalan kontroversial tidak semakin diruncingkan tetapi diselesaikan dengan tabayyun untuk mendapatkan kebenaran.
Wallahu a’lam