image 2020 10 13 162301
image 2020 10 13 162301

Etika Menasehati Pemerintah

Kodrat manusia diciptakan oleh Allah swt dengan banyak kekurangan di antaranya sifat lupa dan salah. Tidak ada di muka bumi ini manusia yang tidak pernah lupa dan salah. Bahkan Nabi Muhammad saw sosok insan yang paling dicintai oleh Allah swt dan dijaga dari sifat-sifat buruk masih saja lupa dan pernah bersalah.

Begitulah memang adanya manusia diciptakan oleh Allah swt. Rasulullah saw bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

Artinya: “Setiap Bani Adam melakukan kesalahan, dan paling baiknya orang yang melakukan kesalah adalah orang-orang yang mau bertaubat” (HR. Ibn Majah dan lainnya)

Seseorang yang sadar telah melakukan suatu kesalahan maka dianjurkan untuk segera bertaubat dan meninggalkan dosa-dosa itu[1]. Kemudian bagi yang menyaksikan perbuatan dosa, maka harus berusaha menolak dan memperbaikinya dengan cara apapaun yang bisa ia lakukan, apakah dengan tindakan atau dengan ucapan.

Jika tidak mampu melakukan perubahan, cukuplah baginya berpaling meninggalkan perbuatan dosa itu. Nabi saw bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ

Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaknya merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, kemudian jika tidak mampu maka dengan hatinya, yang demikian itu paling lemahnya iman” (HR. Muslim dan lainnya)

Menurut Imam Nawawi, menganjurkan seseorang berbuat baik dan menahan terjadinya perbuatan munkar merupakan fardu kifayah. Akan tetapi hukum ini bisa berubah juga kepada fardu ain jika tidak ada lagi yang bisa melakukannya[2]. Bahkan imam Ghazali jika orang tersebut diam padahal mampu melakukan nasehat, maka orang tersebut tergolong sebagai pelaku kemungkaran.

Dalam Ihya’ Ulumiddin, imam Ghazali berkata:

وَكُلُّ مَنْ رَأَى سَيِّئَةً وَسَكَتَ عَلَيْهَا فَهُوَ شَرِيْكٌ فِي تِلْكَ السَّيِّئَةِ

Artinya: “Setiap orang yang melihat tindakan buruk dan ia diam terhadapnya, maka orang tersebut tergolong sebagai pelaku keburukan itu”[3]

Begitu juga seandainya yang berbuat kekeliruan itu adalah Pemerintah. Sebab Pemerintah sebagai manusia yang memikul tanggung jawab besar, dan interaksi sosial yang luas sangat memungkinkan berbuat salah. Maka rakyat wajib memberikan nasehat dan kritik untuk kebaikan negara.

Etika Muslim Memberikan Nasehat

Hanya saja, ada etika khusus di dalam agama Islam cara mengkritik Pemerintah. Yaitu kritikan atau nasehat disampaikan secara tertutup, tidak secara terang-terangan di depan umum. Hal ini untuk mengurangi terjadinya fitnah dan kebencian rakyat terhadap Pemerintah. Nabi saw bersabda:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلا يُبْدِهِ عَلانِيَةً وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُوا بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

“Barang siapa yang hendak menasehati penguasa, maka hendaknya tidak secara terang-terangan, tetapi dengan mengambil tangan penguasa, lalu menyepi. Jika nasehatnya diterima berarti sudah sesuai yang dikehendakinya, tetapi jika ditolak, maka orang tersebut telah melaksanakan kewajibannya (menasehati penguasa)” (HR. Ahmad bin Hanbal dan lainnya)

Dalam Syarh Muslim, imam Nawawi menjelaskan secara rinci bagaimana menasehati Pemerintah, yaitu:

وَأَمَّا النَّصِيحَة لِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ فَمُعَاوَنَتهمْ عَلَى الْحَقّ ، وَطَاعَتُهُمْ فِيهِ ، وَأَمْرُهُمْ بِهِ ، وَتَنْبِيههمْ وَتَذْكِيرهمْ بِرِفْقٍ وَلُطْفٍ ، وَإِعْلَامهمْ بِمَا غَفَلُوا عَنْهُ وَلَمْ يَبْلُغهُمْ مِنْ حُقُوق الْمُسْلِمِينَ ، وَتَرْك الْخُرُوج عَلَيْهِمْ ، وَتَأَلُّف قُلُوب النَّاس لِطَاعَتِهِمْ

Artinya : “Menasehati para penguasa ummat Islam yaitu dengan melakukan kerjasama dalam kebenaran, mentaatinya dan memerintahkan untuk melakukan kebenaran tersebut, menasehati serta mengingatkannya dengan cara lemah lembut dan memberi tahu mereka terhadap apa yang mereka lupakan dan hak-hak rakyat yang tidak diberikannya, dengan meninggalkan sikap menentang terhadapnya dan melunakkan hati rakyat agar taat kepada mereka (Pemerintah)”[4]

Begitu etika ummat Islam yang telah dicontohkan oleh para sahabat-sahabat Nabi saw, seperti yang dilakukan Usamah bin Zaid ra terhadap Khalifah Utsman bin Affan ra dan anjuran Abdullah bin Abi Awfa ra terhadap Sa’id bin Jumhan ra.

Akan tetapi jika cara di atas tidak mungkin dilakukan, misal susah untuk menyampaikan aspirasi rakyat terhadap Pemerintah karena semisal rumit dalam prosedurnya, maka boleh melakukan kritikan dengan secara terbuka. Seperti kisah yang di sampaikan Sa’id al Khudry ra terhadap Marwan ra yang menjabat sebagai Khalifah di Madinah saat itu.

Pada saat melakukan shalat Ied (Hari Raya), Marwan ra memulainya dengan khutbah lalu shalat Ied. Hal ini dikritik oleh jama’ah shalat karena menyalahi dengan yang dilakukan Nabi saw. Kritikan terbuka seperti demikian tidak mengapa, sebab kritikan yang disampaikan jama’ah memang harus disampaikan saat itu, tidak perlu menunggu lama ke rumah Marwan ra, karena jama’ah didesak dengan waktu shalat Ied.

Tentang menyampaikan kritik secara terbuka dalam kondisi terpaksa juga dijelaskan oleh imam Nawawi dalam Syarh Muslimnya, yaitu:

شرح النووي على مسلم ـ مشكول (9/ 374)

وَفِيهِ الْأَدَب مَعَ الْأُمَرَاء ، وَاللُّطْف بِهِمْ ، وَوَعْظهمْ سِرًّا ، وَتَبْلِيغهمْ مَا يَقُول النَّاس فِيهِمْ لِيَنْكَفُّوا عَنْهُ ، وَهَذَا كُلّه إِذَا أَمْكَنَ ذَلِكَ ، فَإِنَّ ذَلِكَ ، فَإِنْ لَمْ يُمْكِن الْوَعْظ سِرًّا وَالْإِنْكَار فَلْيَفْعَلْهُ عَلَانِيَة لِئَلَّا يَضِيع أَصْل الْحَقّ

“Itu adalah etika bersama penguasa, bersikap lembut dan menasehati mereka dengan secara tersembunyi, menyampaikan aspirasi rakyat agar mereka tidak memberontak. Perlakuan ini semuanya jika mungkin dilakukan, jika tidak mungkin dilakukan dengan menasehati secara tersembunyi, maka dilakukan secara terbuka, agar asal kebenarannya tidak hilang”[5]

Begitulah etika dalam Islam ketika terdapat ketidak nyamanan rekyat terhadap Pemerintah. Tidak kemudian rakyat sebebas-bebasnya mengkritik, bahkan sampai membeberkan keburukan Pemerintah di depan umum, secara langsung atau melalui Medsos. Apalagi melakukannya dengan tindakan anarkis, dengan merusak barang-barang milik negara dan umum.

Jelas tindakan yang ingin menyampaikan tetapi tidak dengan cara baik sangat bertentangan dengan prinsip dalam Islam. Bukankah di dalam Kaidah Fiqh telah dijelaskan:

اَلضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ الْآخَرِ

“Dharar tidak boleh dihilangkan dengan dharar yang lain”

Dalam konteks ini saya ingin menegaskan mencegah kemungkaran tidak boleh dilakukan dengan munkar. Begitu pula mengajak pada kebaikan harus dilakukan dengan cara baik. Tidak ada alasan apapun mencegah mudharat dari penguasa, justru menimbulkan dharurat baru.

Wallahu a’lam

[1] Ali al Munawi, Faidhul Qadir, Juz 5, Hal 22

[2] Syaraf al Nawawi, Syarh Muslim, Juz 1, Hal 131

[3] Abu Hamid al Ghazaly, Ihya’ Ulum al Din, Juz 2, Hal 144

[4] Syarf al Nawawi, Syarh al Nawawi ala al Muslim, Juz1, Hal 144

[5] Syarf al Nawawi, Syarh al Nawawi ala Muslim, Juz 9, Hal 374

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

membaca al-quran

Membaca Al Qur’an di Kuburan Menurut Ibn Qayyim Al Jauziyah

Di antara tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu melakukan ziarah kubur. Bahkan menurut Ibn Hazm sebagaimana …

shalat jamaah perempuan

Posisi Yang Utama Bagi Perempuan Saat Menjadi Imam Shalat

Beberapa hari belakangan ini sempat viral di media sosial tentang video yang menampilkan seorang perempuan …