Mengapa aliran Salafi Wahhabi dimusuhi ummat Islam ? Adalah tanda tanya besar ketika melihat umat Islam dari berbagai madzhab menolak dan memusuhi aliran yang mengklaim dirinya sebagai pengikut ulama’ Salaf ini. Tentu persoalannya bukan karena perbedaan dalam berijtihad. Sebab perbedaan hasil ijtihad sudah terjadi sejak masa ulama’ Salaf, bahkan pada masa Rasulullah saw. Dan tidak ada satu sahabat atau tabi’in karena berbeda pendapat menghina dan menolak pendapat sahabat atau tabi’in yang lain. Bahkan fakta yang terjadi hingga saat ini perbedaan hasil ijtihad antara empat madzhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali tidak berujung saling mengklaim dirinya paling benar dan pendapat lainnya salah. Justru di antara mereka saling menghargai satu pendapat dengan pendapat yang lainnya. Hingga muncul kaidah Fiqh:
اَلْإِجْتِهَادُ لَا يَنْقُضُ بِالْإِجْتِهَادِ
Artinya: “Ijtihad tidak batal sebab ada ijtihad yang lain”
Salah satu contoh di mana madzhab Syafi’i tetap menilai musta’mal terhadap air sisa wudhu’ madzhab Hanafi yang tidak berniat, padahal dalam madzhab Syafi’i dianggap tidak sah, sebagai bukti bahwa madzhab Syafi’i tidak menolak hasil ijtihad madzhab Hanafi. Hal tersebut menunjukkan persoalan Salafi Wahhabi ditolak dan dibenci oleh umat Islam secara umum tentu bukan karena hasil ijtihadnya, pasti ada faktor lain.
Jika kita lihat bagaimana sepak terjang sejak muncul dan perkembangan Salafi Wahhabi baik di Nusantara atau manca Negara tidak lepas dengan ungkapan-ungkapan keji yang sangat menyakiti orang lain. Bahkan dalam sejarah perjalanannya, tidak sedikit Salafi Wahhabi melakukan aksi teror dan pertumpahan darah demi diterimanya hasil ijtihad mereka oleh orang lain. Inilah sebenarnya akar persoalan Salafi Wahhabi dibenci oleh umat Islam, karena tidak elok dalam menyampaikan suatu kebenaran.
Lalu bagaimana cara menyampaikan suatu kebenaran ?
Dalam menyampaikan sesuatu sekalipun itu benar harus memperhatikan etika berbahasa, agar pesan tersebut dapat diterima dengan baik. Berikut etika menyampaikan kebenaran dalam Islam:
- Menyampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami, agar tidak menjadi salah tafsir bagi penerimanya.
- Menyampaikan dengan tutur kata yang baik dan lembut. Di dalam al Qur’an dijelaskan:
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Artinya: “Dan katakanlah kepada hamha-hamba_Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik” (QS. al Isro’: 53)
Kata “Ahsan” (perkataan yang baik) di akhir ayat tersebut menghendaki dalam berbicara agar menggunakan bahasa dan tutur kata yang baik dan lembut sekiranya tidak menyinggung dan menyakiti hati orang lain.
Berkata baik merupakan cermin dari akhlak mulia yang merupakan salah satu misi utama dalam Islam. Allah swt berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sungguh bagi kalian yang ada pada diri utusan Allah adalah teladan yang baik, bagi siapa aja yang mengharap Allah dan hari akhir, dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya” (QS. Al Ahzab: 21)
Rasulullah saw juga menegaskan bahwa dirinya diutus ke dunia tiada lain dalam rangka menyempurkan akhlak yang rusak sebelumnya. Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ
Artinya: “Hanya saja, aku diutus dalam rangka menyempurnakan akhlak” (HR. al Baihaqi)
Terkait dengan menjaga lisan, Imam Ibn Hajar al Atsqalani berkata:
وَاشْتَمَلَ حَدِيْثُ الْبَابِ مِنَ الْطَرِيْقَيْنِ عَلَى أُمُوْرٍ ثَلَاثَةٍ تَجْمَعُ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ الْفِعْلِيَّةِ وَالْقَوْلِيَّةِ
Artinya: “Hadits tentang bab (berkata yang baik-baik saja) mencakup tiga hal yang mengumpulkan terhadap akhlak dalam aspek tindakan dan perkataan”
- Yang disampaikan cukup yang baik-baik saja. Rasulullah saw bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam saja” (HR. Bukhari dan lainnya)
Dalam menyampaikan suatu kebenaran, cukup lah yang baik-baik saja. Adapun hal-hal yang buruk yang berdampak negatif sekalipun itu benar sebaiknya tidak perlu disampaikan, karena sama sekali tidak akan memberikan kebaikan. Itu lah yang dimaksud dengan sabda Rasulullah saw “aw lisyasmut”.
Dari penjelasan tersebut, ada dua hal penting yang perlu diresapi dalam menyampaikan kebenaran: Pertama, tidak semua pesan yang benar harus disampaikan. Dalam kondisi tertentu perlu juga disembunyikan, jika pesan tersebut dapat memberikan keburukan. Kedua, orang yang menyampaikan pesan kebenaran harus melihat etika-etika berbicara, setidaknya tiga hal di atas. Agar pesan yang disampaikan dapat dinikmati dengan nyaman tanpa ada persoalan yang membuntutinya di belakang.
wallahu a’lam