fikih korupsi
fikih korupsi

Fikih Korupsi: Menimbang Hukuman Ekstrem Bagi Para Koruptor

Indonesia adalah primadona bagi para koruptor. Pasalnya, hukuman bagi drakula rupiah ini, tidak sebanding dengan akibat prilaku mereka yang menggerus uang Negara dan menelantarkan kesejahteraan umat. Korupsi, kini sedang menjelma menjadi ketoprak dengan dagelan menggelikan.

Pemerintah, berupaya menciptakan mesin dan obat pembasmi korupsi yang disebut KPK. Anehnya, bukan terbasmi, melainkan semakin mewabah secara masif. Belum usai kasus korupsi yang membelit Jiwasraya, kabar dugaan korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri), terendus oleh publik. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ( Menko Polhukam), Mahfud MD, bahkan menyebut angka korupsi di Asabri, sangat fantastik, tidak kalah fantastisnya dengan kasus Jiwasraya, berkisar di atas Rp 10 triliun.

Lalu bagaimana analisa fikih soal korupsi ini? Adakah persamaannya dengan tindakan pencurian? Kalau ya. Apakah mesti dijatuhkan hukuman sama persis dengan pencurian?

Dalam literatur kitab fikih klasik, pencurian itu dikenal dengan istilah sariqah. Imam  al-Nawawi  dan Imam al-Sya’rawi mendefinisikan sariqah dengan mengambil harta secara diam-diam dari tempat penyimpanannya untuk dikuasai dan digunakan secara pribadi dalam rangka pemenuhan kebutuhan (Minhaj al-Thalibin, 298 dan Tafsir al-Sya’rawi, 700).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi digambarkan dengan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Artinya, perbedaan korupsi dan mencuri hanya setipis kertas HVS. Persamaannya, keduanya, adalah perbuatan yang menyimpang dari aturan yang ada, dan untuk kepuasaan hasrat sesaat. Keduanyapun, sama sama merugikan orang lain.

Dari makna di atas, menyamakan korupsi dengan mencuri bukanlah hal yang keliru. Artinya, dalam konteks fikih, korupsi dapat dipotret melalui kasus pencurian. Lalu bagaimana fikih berbicara soal pencurian?

Al-Qur’an dengan sangat tegas memerintahkan potong tangan bagi pelaku pencurian.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS: al-Maidah:38

Dalam pandangan ulama’ madzhab fikih, tidak semua perbuatan pencurian bisa dikenakan hukuman potong tangan, namun hukuman itu hanya bagi pencuri yang aksinya, mencapai satu nishab pencurian. Untuk menentukan ukuran satu nisab ini ternyata tidak ditemukan keseragaman pendapat dikalangan mereka.

Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam al-Tsauri, pencuri bisa dihukum potong tangan bila barang yang dicuri mencapai nilai sepuluh dirham. Menurut Shubhi dan al-Zuhaily satu dirham itu senilai dengan 2,975 gram perak. Sepuluh dirham berarti senilai 29,75 gram perak.  Bila harga satu gram perak itu 15.000, maka seseorang yang mencuri uang senilai 450,000 maka ia sudah dikatakan layak untuk menerima hukuman potong tangan. Kedua Imam ini mendasarkan fatwanya pada hadits Nabi

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ” لا قطع فيما دون عشرة دراهم

RAsulullah bersabda: “ tidak wajib potong tangan di dalam barang curian dibawah 10 dirham” HR: Ahmad Ibn Hanbal No 6741

Arrtinya, menurut pemahaman mereka terhadap ibarah teks hadits di atas adalah seseorang yang mencuri barang senilai kurang dari 10 dirham, maka ia tidak dihukum potong tangan, karena terlalu kecil nilainya. Bila mencapai 10 atau bahkan lebih, maka pelakunya dihukum dengan hukuman potong tangan.

Namun berbeda dengan imam Malik dan Imam Syafii, keduanya berpendapat bahwa batas minimal barang curian yang menghinggakan pelakunya dihukum potong tangan adalah 3 dirham yaitu senilai dengan 150.000. fatwa ini sesuai sabda Nabi

عن عبد الله بن عمر ” أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قطع في مجن ثمنه ثلاثة دراهم

Dari Abdullah Ibn Umar, bahwa Rasulullah pernah memotong tangan pencuri perisai seharga 3 dirham. HR: Malik: 1519

Tindakan korupsi hingga mencapai 10 triliuan atau 10.000.000.000.000  dibanding 450.000, maka korupsi 10 triliun itu adalah 23.000.000 kali lipat dari 450.000. Jika mencuri senilai 450.000 berhak untuk dipotong tangannya, apalagi 10 triliun bisa dipastikan nyaris tak tersisa secuilpun anggota tubuh yang mau dipotong. Ini sama dengan mengatakan koruptor 10 triliun berhak untuk dibinasakan.

Memperhatikan bahwa hukuman potong tangan ini merupakan hudud, dan hudud bisa ditolak dengan hal yang masih membingungkan (syubuhat). Serta mengacu kepada bahwa ihtiyath (berhati hati dalam mengambil putusan hukum) itu adalah persoalan yang tidak bisa dikesampingkan. Maka menurut Syaikh al-Sayis pendapat Imam Abu Hanifahlah yang berpeluang menjadi fatwa yang kuat untuk dipedomani.

Kenapa? Karena Perisai yang dicuri itu di zaman Rrasulullah,  ada yang yang berkata harganya 3 dirham, ada pula yang berkata 4 dirham, 5 dirham, dan 10 dirham, bahkan ada yang berkata harganya seperempat dinar. Sementara mengambil acuan harga yang tertinggi seperti 10 dirham itu adalah hal yang lebih bisa mencakup harga dibawahnya. Rawai’ al-Bayan, Ali al-Shabuni, 1/553

Terkadang di Indonesia ini, butuh ‘kebengisan’ untuk memberangus kekacauan moral seperti korupsi. Memang butuh kebijakan ekstrim untuk menanggulangi kejahatan yang extra ordinary. Memang banyak yang menvonis hukuman potong tangan tidak manusiawi. Ya. Memang tidak manusiawi, tetapi hukuman ini cukup tepat untuk atasi dan membasmi korupsi yang tidak pernah menjera dan terselesaikan.

Bagikan Artikel ini:

About Abdul Walid

Alumni Ma’had Aly Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo

Check Also

hewan yang haram

Fikih Hewan (1): Ciri Hewan yang Haram Dimakan

Soal halal-haram begitu sentral dan krusial dalam pandangan kaum muslimin. Halal-haram merupakan batas antara yang …

tradisi manaqib

Tradisi Membaca Manaqib, Adakah Anjurannya ?

Salah satu amaliyah Nahdhiyyah yang gencar dibid’ahkan, bahkan disyirikkan adalah manaqiban. Tak sekedar memiliki aspek …