Hoax bisa disamakan dengan fitnah. Berita bohong yang sengaja dibikin. Padahal sejak dulu, Allah telah mewanti-wanti bahwa fitnah akan menjadi sumber malapetaka yang efeknya lebih hebat dari pembunuhan. Kata-Nya dalam al Qur’an, “Fitnah lebih keji dari pembunuhan”.
Dulu, sebelum ditemukannya teknologi seperti saat ini, andaipun terjadi fitnah pada seseorang sebarannya tidak seluas saat ini, efeknya tidak begitu meluas. Namun, dalam kondisi seperti itupun fitnah dampaknya lebih hebat dari pembunuhan. Apalagi saat ini, dipusaran media yang menyebar berita begitu cepat, efek berita bohong tak terkirakan dampaknya. Baik melalui pemberitaan maupun tulisan.
Contoh sederhana adalah berita yang baru-baru ini tayang di tvOne bertajuk “Ramai Penolakan, Syiah Tetap Berjalan”. Apalagi kemasannya melalui program yang diberi label “Fakta”. Mungkin tidak ada niat untuk memanasi suasana, tetapi akan sangat berdampak buruk bila yang menyaksikan siaran tersebut adalah kalangan awam. Sebab akan menimbulkan imajinasi menyalahkan kelompok Syiah. Seakan-akan Syiah adalah hantu yang menakutkan. Akibat paling buruk adalah bertambah buramnya wajah keagamaan dan keberagaman di negeri ini.
Ditambah lagi, berita seperti ini kemudian digoreng oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan memojokkan kelompok Syi’ah. Diviralkan dan dibesar-besarkan. Akibatnya, stigma negatif semakin akut tersemat pada penganut Syi’ah. Padahal, belum tentu demikian dan sebagai penganut agama Islam sejati harus menghormati perbedaan. Seperti apapun ragamnya. Senyampang masih di bawah payung syahadah mengesakan Allah dan kerasulan Nabi Muhammad.
Oleh karena itu, Islam sangat melarang perbuatan memviralkan berita bohong atau hoax. Baik dengan media pemberitaan maupun tulisan karena hal ini tergolong membantu kemaksiatan.
Nabi bersabda, “Barang siapa membantu suatu kemaksiatan, walaupun hanya dengan separuh kalimat, maka ia telah bersekutu dengan kemaksiatan tersebut”.
Lebih khusus tentang larangan memviralkan hoax ini dijelaskan dalam kitab Is’ad al Rafik, sesuatu yang haram diucapkan haram pula untuk ditulis. Ungkapan ini diperkuat oleh penjelasan dalam kitab Bidayah, tulisan sama hukumnya dengan ucapan. Oleh sebab itu, dilarang menulis sesuatu yang dilarang untuk diucapkan.
Untuk itu, media seperti televisi hendaknya selalu memegang etika “Jurnalisme Damai” dengan tidak memberitakan sesuatu yang berpotensi mengundang kisruh. Apalagi hanya soal perbedaan. Pemberitaan harus disiarkan secara seimbang.
Khusus untuk pemirsa harus terlibih dulu menyaring kebenaran sebuah berita. Tidak boleh secara serampangan main share saja. Sebagaimana telah tersebut di atas, memviralkan berita hoax hukumnya haram. Baik dengan model berita atau tulisan sebab akan berdampak buruk terhadap keharmonisan antar sesama. Apalagi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan keragaman yang ada di dalamnya. Agama, etnis, suku, budaya dan seterusnya.