Tulisan ini merupakan tulisan berkait dari tulisan yang pernah muat di kolom Ahkam edisi 22/08/2021 berjudul Gelar Sayyid bagi Nabi Muhammad. Maka secara genesis tulisan ini bakal menyempurnakan dari tulisan sebelumnya (improve the previous post). Ialah tentang bagaimana hukum Menambah Lafadz Sayyidina dalam Shalat khususnya dalam Tasyahhud.
Seperti pendapat yang telah disampaikan oleh Imam Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Barinya, penambahan dzikir ghair al-ma’tsur (bukan anjuran langsung dari Nabi SAW) dalam shalat di perbolehkan, selama tidak bertentagan dengan dzikir al-ma’tsur. Begitu pula di perbolehkan menambahkan lafadz Sayyidina sebelum menyebut nama Muhammad. Yaitu saat membaca shalawat ibrahimiyyah.
Bahkan penambahan itu lebih utama, sebagaimana hemat para ulama semisal Imam ar-Ramli, meskipun penambahan Sayyidina tersebut memang tidak ma’tsur dari Nabi SAW. Sebab, dengan demikian berarti seseorang telah melaksanakan perintah membaca shalawat sekaligus mengikrarkan pengakuannya atas keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan Nabi Ibrahim AS. Penambahan tersebut tidak pula bertentangan dengan penghormatan kepada beliau yang merupakan tujuan pembacaan shalawat.
Dalam Nihayah al-Muhtaj Imam ar-Ramli menerangkan:
“Dan lebih utama membaca (shalawat ibrahimiyah saat shalat) dengan lafadz Sayyid, seperti hemat Ibn Dhahirah dan dijelaskan (pula) oleh segolongan ulama serta difatwakan oleh asy-Syarih (Jalaluddin al-Mahalli). Sebab dengan menambahkannya berarti telah melaksanakan hal yang diperintahkan kepada kita dan menambah pengungkapan (pengakuan keagungan derajat Nabi Muhammad SAW dan Nabi Iibrahim AS) dimana hal itu merupakan laku sebuah etika. Maka menambah gelar Sayyidina lebih utama dari pada meninggalkannya. Nihayah al-Muhtaj 4/330
Andaikan memang Nabi SAW memerintahkan pembacaan shalawat tersebut tanpa penambahan, bukan berarti kita tidak boleh menambahkannya. Sebab, selama perintah tersebut bukan perintah wajib, maka etika mesti diprioritaskan. Karena etika saat melakukan suatu perbuatan menjadi juru kunci terkabulnya perbuatan tersebut. Nudhrah al-Na’im fi Makarimi Akhlaqir Rasul Al Karim, 2/169.
Begitu pula penambahan gelar Sayyidina di dalam shalat. Kendati Nabi SAW tidak mengajarkannya secara langsung, namun lebih utama dilakukan. Meskipun begitu, sering muncul pertanyaan apakah penambahan tersebut tidak membatalkan shalat? Bagaimana dengan Hadits Nabi SAW yang menyatakan larangan beliau agar tidak menyebutnya Sayyid di dalam shalat?
Maka jawabannya adalah penambahan Sayyidina menurut al-Ramli tidak membatalkan shalat dan Hadits tersebut adalah Hadits Palsu yang tidak berdasar Dan asumsi ath-Thusi: bahwa tambahan Sayyidina itu membatalkan shalat. Adalah fatwa yang salah . Nihayah al-Muhtaj, 4/330
Jika memang penambahan sayyidina adalah hal yang buruk, tentu tidak akan pernah mengusik IBnu Mas’ud untuk membuat do’a shalawat yang redaksinya terdapat kalimat sayyidina:
اللَّهُمَّ اجْعَلْ صَلَاتَكَ وَرَحْمَتَكَ وَبَرَكَاتِكَ عَلَى سَيِّدِاْلمُرْسَلِيْنَ وَإِمَامِ اْلمُتَّقِيْنَ وَخَاتَمِ النَّبِيِّيْنَ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat, rahmat dan berkahmu pada pemimpin para utusan, pemimpin orang-orang yang bertaqwa dan pamungkas para Nabi.” (HR. Ibnu Majjah, 906)
Bahkan Sahl bin Hunaif memanggil Nabi SAW dengan berseru
يَا سَيِّدِيْ
“Wahai tuanku!”(HR. Abu Dawud, 3888)