abu hasan al-asyari
abu hasan

Mengenal Imam Abu Hasan Al Asy’ari (3) : Abu Hasan Al Asy’ari Hidup dalam Tiga Fase

Sungguh sangat unik, dalam satu sisi Wahhabi menyerang imam Abu Hasan al Asy’ari, bahkan mengolok-ngolok pengikutnya sebagai Asy’ariyah atau Asya’iroh, bukan Ahlussunnah wal Jama’ah, sampai-sampai dibuat kitab yang berjudul “Asya’iroh Fi Mizani Ahlissunnah wal Jama’ah” karya Faishal Bin Qazar al Jasim, tetapi di sisi lain, imam Abu Hasan al Asy’ari diakui sebagai ulama’ yang berfaham sama dengan Wahhabi, setelah keluar dari madzhab sebelumnya yang mereka klaim dengan madzhab Kulabiyah (pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab). Dengan demikian, Wahhabi menyebutkan bahwa imam Abu Hasan al Asy’ari hidup dalam tiga fase, yaitu: Mu’tazilah, Kullabiyah, dan Ahlussunnah versi Wahhabi.

Asumsi ini sebenarnya berangkat dari pernyataan Ibn Katsir dalam kitab Thabaqat al Fuqaha’ al Syafi’iyah. Dalam kitab tersebut, Ibn Katsir menyebutkan:

لِلْإِمَامِ أَبِيْ الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ ثَلَاثَةُ أَحْوَالٍ: أَوَّلُهَا حَالُ الْاِعْتِزَالِ اَلَّتِيْ رَجَعَ عَنْهَا لَا مَحَالَةَ. 
ثَانِيْهَا إِثْبَاتُ الصِّفَاتِ الْعَقْلِيَّةِ السَّبْعَةِ ، وَهِيَ اَلْحَيَاةُ وَالْعِلْمُ وَالْقُدْرَةُ وَالْإِرَادَةُ وَالسَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالْكَلَامُ وَتَأْوِيْلُ الْخَبَرِيَّةِ كَالْوَجْهِ وَالْقَدَمِ وَالسَّاقِ وَنَحْوِ ذَلِكَ. ثَالِثُهَا إِثْبَاتُ ذَلِكَ كُلِّهِ مِنْ غَيْرِ تَكْيِيْفٍ وَلَا تَشْبِيْهٍ جَرَياً عَلَى مِنْوَالِ السَّلَفِ وَهِيَ طَرِيْقَتُهُ فِي “الْإِبَانَةِ” اَلَّتِيْ صَنَّفَهَا آَخِرًا

Artinya: Imam Abu al Hasan al Asyari memiliki tiga fase: Pertama, Mutazilah yang kemudian mana ia keluar secara totalitas. Kedua, menetapkan sifat aqliyah yang tujuh, yaitu hayat, ilmu, qudrah, irodah, sama, bashar dan kalam, serta mentakwil sifat Khabariyah seperti wajah, qadam, saq dan semacamnya, ketiga menetapkan sifat khabariyah tanpa takyif (bagaimana) dan tanpa tasybih (menyamakan) karena mengikuti metode ulama salaf. Ini metode yang berada dalam kitab Al Ibanah yang ia susun terakhir kalinya (Ibn Katsir, Thabaqat al Fuqaha al Syafiiyah: juz 1, hal 210)

Pernyataan ini lalu dikaitkan dengan kitab al Ibanah karya terakhir al Imam Abu al Hasan al Asy’ari tentang penetapan sifat Khabariyah tanpa takyif dan tanpa tasybih. Di dalam kitab tersebut, imam Asy’ari menetapkan sifat-sifat Khabariyah dengan makna hakiki bukan makna majaz.

Jelas asumsi ini keliru. Setidaknya ada tiga alasan menanggapi kebohongan di atas. Pertama, kitab al Ibanah yang beredar saat ini sudah mengalami perubahan; pengurangan atau penambahan. Ada tiga percetakan besar yang menyebarkan kitab al Ibanah, yaitu Mesir, Saudi Arabia dan India. Dari ketiga cetakan tersebut ada banyak redaksi yang tidak sama. Misal redaksi يَا سَاكِنَ السَّمَاءِ , dalam cetakan India menggunakan redaksi يَا سَاكِنَ الْعَرْشِ , sementara pada cetakan Mesir tidak terdapat redaksi tersebut.

Kedua, Para sejarawan yang menulis biografi imam Abu al Hasan al Asy’ari tidak seorang pun menyatakan ia hidup dalam tiga fase. Yang mereka tulis semua hanya sampai dua fase, yaitu Mu’tazilah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Sangat mustahil jika orang sekaliber imam Abu al Hasan al Asy’ari tidak ada seorang pun menulisnya. Manakala sejarah tiga fase ini tidak ada dalam catatan sejarah manapun ini menunjukkan bahwa sejarah tiga fase imam Abu al Hasan al Asy’ri juga tidak ada.

Ketiga, Wahhabi salah memahami pernyataan Ibn Katsir tentang makna bila takyifin wala tasybihin di atas. Menurut mereka, perkataan tersebut menunjukkan bahwa imam Abu al Hasan al Asy’ari menetapkan sifat dzat kepada Allah swt tanpa mentakwil, sama persis dengan yang mereka lakukan. Padahal tidak demikian, bila takyifin wala tasybihin menunjukkan Allah swt bersih dari keserupaan dengan apapun dan dalam aspek apapun, termasuk memiliki mata, tangan, betis, kaki atau berdiam di suatu tempat, karena hal tersebut memberikan penyamaan kepada Allah swt dari aspek ada elemen tubuh. Ini mustahil bagi Allah swt. sebagaimana firmannya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

Artinya: Tidak ada sesuatu pun yang sama dengan Allah swt

Sebab itu, ketika imam Abu al Hasan al Asy’ari menjelaskan tentang istiwa’nya Allah swt di Arsy, ia mengatakan:

وَأَنَّ اللهَ تَعَالَى اِسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ عَلَى الْوَجْهِ اَلَّذِيْ قَالَهُ وَبِالْمَعْنَى اَلَّذِيْ أَرَادَهُ اِسْتِوَاءً مُنَزِّهًا عَنِ الْمُمَارَسَةِ وَالْاِسْتِقْرَارِ وَالتَّمَكُّنِ وَالْحُلُوْلِ وَالْاِنْتِقَالِ

Artinya: Sesungguhnya Allah taala beristiwa atas Arsy dengan cara sesuai yang ia firmankan, dengan makna yang ia kehendaki, dengan istiwa yang bersih dari masuk, berdiam, menetap, singgah dan berpindah (dari satu tempat ke tempat yang lain) (Abu al Hasan al Asyari, al Ibanah an Ushuli al Diyanah: Hal 20)

Istiwa’nya Allah swt merupakan salah satu sifat Khabariyah yang harus diimani. Namun cara dan maksud dari istiwa’ Allah swt harus sesuai dengan pemahaman Allah swt, bukan pemahaman manusia yang berarti menetap. Konsep ini yang kemudian disebut oleh para ulama’ dengan “Tafwid”, di mana, makna dan maksud dari yang telah difirmankan diserahkan sepenuhnya kepada Allah swt. Dalam hal ini, manusia tidak memiliki ruang ijtihad dalam memahami makna dan tujuan teks tersebut.

Dari hal ini, maka sangat jelas tidak ada satu bukti yang mendukung bahwa imam Abu al Hasan al Asy’ari keluar dari Manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah kemudian menganut faham Wahhabi.

wallahu a’lam

 

 

 

Bagikan Artikel ini:

About M. Jamil Chansas

Dosen Qawaidul Fiqh di Ma'had Aly Nurul Qarnain Jember dan Aggota Aswaja Center Jember

Check Also

al quran hadits

Bolehkah Menerima Hadits dari Perawi Syiah ?

Di dalam menilai kredibilitas suatu hadits, maka dapat dilihat dari dua aspek; Pertama, dari aspek …

rasulullah

Apakah Rasulullah Saw Pernah Berbuat Salah ?

Ulama’ Salaf dan Khalaf sepakat bahwa Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang ma’shum (terjaga), …