Sebagaimana sudah maklum, nash-nash mutasyabihat oleh Salafi Wahabi tidak boleh ditakwil dengan makna lain[1]. Bahkan jika memaksa dengan mentakwilnya, maka dianggap mengingkari terhadap ayat atau hadits tersebut. Abdul Aziz bin Bazz mengatakan: “Tidak boleh mentakwil sifat-sifat Allah dan memalingkannya dari makna dzahir yang layak bagi Allah, serta tidak boleh mentafwidnya, bahkan orang-orang yang melakukan demikian merupakan aqidahnya ahlul bid’ah”[2]
Begitu juga terhadap “Yad” Allah swt. Tidak boleh seorang pun memalingkan makna Yad dengan makna lain selain makna tangan. Karena makna tangan adalah layak bagi Allah swt, Na’udzu billahi mindzalik. “yad Allah” harus diartinya dengan tangan Allah swt. Jika tidak demikian berarti ia telah mengingkari apa yang telah ditetapkan oleh Allah swt. mengingkari terhadap apa yang ditetapkan oleh Allah berarti telah terjerumus ke dalam lumpur kekafiran.[3]
Muhammad bin Abdil Wahhab, pendiri aliran Salafi Wahabi mengatakan dengan tegas terhadap orang-orang yang mengingkari sifat-sifat yang telah Allah swt tetapkan dalam al Qur’an dan al Hadits, semisal adanya Yad bagi Allah, turunnya Allah swt dari langit ke bumi, keberadaan Allah swt di Arsy dan sebagainya adalah kekafiran yang tidak diragukan lagi. Dalam kitabnya ia berkata:
اِنْكَارُ تَكْذِيْبٍ. وَهَذَا كُفْرٌ بِلَا شَكٍّ, فَلَوْ أَنَّ أَحَدُا أَنْكَرَ اِسْمًا مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ اَوْ صِفَةً مِنْ صِفَاتِهِ الثَّابِتَةِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ مِثْلُ أَنْ يْقُوْلَ لَيْسَ لِلّٰهِ يَدٌ اَوْ أَنَّ اللهَ لَمْ يَسْتَوِ عَلَى عَرْشِهِ اَوْ لَيْسَ لَهُ عَيْنٌ فَهُوَ كَافِرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِيْنَ
Artinya: “Pengingkaran dengan mendustakan. Ini merupakan kekafiran tanpa perlu diragukan. Seandainya seseorang mengingkari satu nama dari nama-nama Allah atau satu sifat dari sifat-sifat Allah yang telah ditetapkan dalam al Qur’an dan al Hadits seperti mengatakan Allah tidak memiliki tangan, atau mengatakan Allah tidak berdiam di Arsy atau mengatakan Allah tidak memiliki mata, maka orang tersebut telah kafir berdasarkan ijma’ ummat Islam”[4]
Dapat kita lihat bagaimana Salafi Wahabi begitu sepakat dan bersemangat dalam mensifati Allah swt dengan dzat yang memiliki tangan sebagai korban dari kesalahan dalam memahami ayat al Qur’an. Khususnya pada ayat-ayat sifat Allah swt.
Mari kita lihat bagaimana sebenarnya aqidah mereka tentang yad Allah begitu lemah baik secara akal sehat manusia atau pun nash-nash syar’i. Jika direnungkan secara mendalam, aqidah mereka tentang yad Allah sebenarnya jauh dari kebenaran secara naqly (nash) maupun aqly (logika). Kelemahan aqidah mereka dari aspek nash yaitu semisal pada ayat 75 surat al Shad, Allah swt berfirman:
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
Artinya: “Wahai Iblis, apa yang mencegahmu bersujud terhadap apa yang aku ciptakan dengan kedua tanganku” (QS. As Shad: 75)
إِنَّ مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
Artinya: “Sesungguhnya Isa di sisi Allah sama seperti Adam, ia diciptakan dari debu, kemudian Allah mengatakan kunfayakun” (QS. Ali Imron: 59)
Jika kata “yad” diartikan tangan, maka berdasarkan ayat pertama, Allah swt menciptakan Nabi Adam as menggunakan kedua tangannya. Sementara pada ayat kedua, Allah swt menciptakan Nabi Isa as sama dengan menciptakan Nabi Adam As, yaitu dengan “kun fayakun”, tidak dengan tangan. Lalu yang benar apakah Allah swt menciptakan Nabi Adam as menggunakan tangannya atau cukup mengatakan “kun fayakun” ?
Kemudian, jika kita telaah ayat-ayat yang menyebutkan “yad Allah” maka akan ditemukan kebingunan lebih berat lagi dibanding yang di atas. Seperti tentang masalah jumlah tangan Allah swt, apakah satu, dua atau tiga? Jika mengacu pada surat al Fath dan al Mulk maka Allah swt hanya memiliki satu tangan, sebab kata “yad” secara haqiqat memiliki makna satu, karena lafadz “yad” berbentuk mufrod (tunggal), tetapi jika mengamati pada ayat 75 surat As Shad maka ada dua tangan. Sebab kata yadaiya bentuk tatsniyah. Sementara dilihat dari ayat lain, ada yang menggunakan bentuk jamak, seperti:
أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا خَلَقْنَا لَهُمْ مِمَّا عَمِلَتْ أَيْدِينَا أَنْعَامًا فَهُمْ لَهَا مَالِكُونَ
Artinya: “Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan binatang ternak untuk mereka yaitu sebahagian dari apa yang telah Kami ciptakan dengan yad Kami sendiri, lalu mereka menguasainya?” (QS. Yasiin: 71)
Jika Salafi Wahabi benar-benar mau konsisten dengan aqidahnya yang melarang terhadap takwil, maka ia harus tidak boleh mentakwil kata yadun, yadayya dan aydina dengan makna lain selain mufrod, tatsniyah dan jama’. Karena makna-makna satu, dua dan banyak tersebut merupakan makna hakikat.
Akal sehat manusia juga tidak akan sepakat jika Allah disamakan dengan sebuah alien yang memiliki postur tangan berbeda dengan tangan-tangan manusia, atau tangan kera yang tidak sama dengan tangan makhluk hidup lainnya. Ini sebagai bukti bahwa firman Allah atau pun hadits tentang Yad Allah tidak sedang menceritakan tentang tangannya, tetapi ada makna lain yang pantas untuk disematkan ke pada Yad Allah.
Wallahua’lam
[1] Muhammad bin Jamil Zainu, Minhaj al Firqah al Najiyah, Hal 14
[2] Abdul Aziz bin Bazz, Majmu’ Fatawa Bin Bazz, Juz 2, Hal 106
[3] Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Latif, Nawaqid al Iman al Qawliyah al Amaliyah, Juz 1, Hal 101
[4] Muhammad bin Abdul Wahab, Mughni al Murid al Jami’ li Syuruh Kitab al Tauhid, Juz 1, Hal 2589
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah