Dr Muhammad Ajaj al Khatib
Dr Muhammad Ajaj al Khatib

Perintis Ilmu Hadis Ajarkan Pemahaman Moderat

Tidak sedikit kitab turos menyebut Imam Abu Muhammad Ramahurmuzi (265-360 H) sebagai perintis ilmu hadis madzhab Sunni melalui kitabnya “al-Muhaddis al-Fashil Baina al-Rawi wa al-Wa’i”, artinya Muhaddis Pembeda antara Periwayat dan Pengkaji. Tidak jauh dari namanya, kitab ini mengantarkan pemahaman tentang perbedaan antara narator murni dan narator selektif. Kitab ini menginspirasi kitab-kitab setelahnya yaitu “Ulum al-Hadis” karya Imam al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) dan “al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah” karya al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H).

Dengan kata lain, sosok Imam al-Ramahurmuzi sebagai perintis ilmu hadis menampakkan pemahaman moderat antara periwayatan (riwayah) dan pemahaman (diroyah) sebagaimana nama kitab dan bab-bab khusus di dalamnya. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat terkait mana yang lebih penting antara riwayah dan dirayah, juga antara khabar (berita) dan qiyas (analogi). Salah seorang ulama nusantara; KH. Maemon Zubeir  menyebutkan dirayah lebih penting daripada riwayah;

الدِّرَايَةُ أَوْلَى مِنَ الرِّوَايَةِ.

Munculnya sosok Abd al-Rahman bin Khalad al-Ramahurmuzi yang merangkum cara-cara selektif dalam mengumpulkan hadis bukanlah hal yang aneh. Sejak kecil Imam al-Ramahurmuzi hidup dalam keluarga terdidik, bahkan disebutkan banyak belajar dari ayahnya sendiri yang merupakan hakim, ilmuwan dan muhaddis. Tidak diragukan jika Imam Ramahurmuzi tumbuh sebagai seorang  peneliti.

Dalam kajian hadis, Imam Ramahurmuzi berkesimpulan bahwa periwayat murni terkadang memperburuk citra ahli hadis sebagaimana jalan ilmu adalah pemahaman. Artinya bukan sekedar transmiter atau penyampai berita layaknya wartawan, terlebih perpindahan pesan dari telinga ke telinga berpeluang salah baik sengaja atau tidak sengaja. Apalagi jarak tempuh perjalanan berita atau riwayat itu sangat panjang atau berabad-abad.

Dua madzhab ilmu hadis Sunni tidak lepas dari sanad atau jalur utama sahabat Ali bin Abi Thalib dan Umar bin Khattab. Imam Ramahurmuzi dalam hal ini menghibau para pengkaji hadis agar memastikan berita-berita terkait manaqib atau biografi ‘ithrah (keluarga Nabi). Imam Ramahurmuzi juga mengutip riwayat murid Ahmad bin Hambal bernama Harab bin Ismail al-Sirjani (w. 280 H) yang dikenal memperbanyak sama’ (mendengar) namun melalaikan istibshar (pemahaman).

Selain itu, Al-Sirjani disebut oleh Imam Ramahurmuzi menulis risalah khusus bertema “al-Sunnah wa al-Jama’ah” dan dengan  tulisan ini dirinya merasa “jumawa”. Sejumlah cendekiawan Khurasan (Iran) menolak risalah itu karena dianggap bermotif kekuasaan dan berambisi untuk bisa menonjol dari yang lain (al-Muhaddis al-Fashil, no. 187). Kalangan yang menolaknya adalah pendukung setia Sayidina Ali dari Syiah dan Mu’tazilah. Namun kemudian, kelompok Sunnah menjadi mapan setelah kepindahan Abu al-Hasan al-Asy’ari dari Mu’tazilah ke kelompok  ahli hadis atau “al-Sunnah wa al-Jama’ah”.

Imam Ramahurmuzi telah meninggalkan kaidah, koridor dan pemahaman ilmu hadis melalui kitabnya al-Muhaddis al-Fashil. Ketika para ulama menyebut seluruh muhaddis tidak bisa lepas dari legasi keilmuan Imam al-Khatib al-Baghdadi, maka Imam al-Khatib al-Baghdadi dikenal banyak mengutip tulisan Imam Ramahurmuzi. Ketekunan Imam Ramahurmuzi dalam menulis membuatnya dikenal banyak diam di rumah dan jarang keluar untuk urusan kebutuhannya. Sebuah riwayat menyebut Imam  Ramahurmuzi dalam hal profesi, meneruskan ayahnya sebagai hakim di Khuzestan; salah satu provinsi di Iran saat ini. Sebagian Menteri Kerajaan saat itu meminta Ramahurmuzi agar memberikan ijazah kitab karangannya untuk anak-anak mereka, kemudian dia menuliskan kitab yang diijazahkan untuk mereka dan “menandatanginya” dengan bait-bait syair.

Dr. Muhammad Ajaj al-Khatib merupakan pentahqiq pertama kitab al-Ramahurmuzi. Dirinya menyebut Imam Ramahurmuzi hidup di awal abad empat hijriyah ketika pemerintahan Dinasti Abbasiyah sedang mengalami disintegrasi sebagaimana munculnya negara-negara kecil yang terikat kepemimpinan Khalifah hanya sekedar simbolik. Ketika itu, negara-negara Afrika dan Maghrib (Maroko, Tunis dan al-Jazair) berada dibawah kekuasaan Khalifah al-Qaim bi Amrillah bin al-Mahdi salah satu tokoh Dinasti Fatimiyah sebagaimana disebutkan dalam “al-Bidayah wa an-Nihayah”. Namun kondisi disintegrasi ini mendorong gerakan keilmuan semakin meluas dan tidak terbatas hanya di Ibu Kota Baghdad.

Setiap kawasan, ulama, sastrawan, penyair dan intelektual bermunculan dimana-mana dan tidak sedikit yang berlomba mendekati keluarga istana dan kalangan Menteri untuk menyebarkan keilmuan mereka. “Halaqoh-halaqoh” keilmuan Islam tumbuh subur dan mudah ditemukan di masjid-masjid. Diceritakan bahwa para pencari hadis terbiasa hadir di majelis ilmu dalam masjid beberapa jam sebelum “syekh” mereka datang agar mendapatkan tempat duduk terdekat mengingat banyaknya jama’ah pengajian yang akan hadir.

Orang-orang non-Arab atau ajam dikenal perintis keilmuan. Dalam hal ini Imam Ramahurmuzi adalah non-Arab, berasal dari negeri Persia atau bagian selatan sisi barat Iran yang berdekatan dengan kawasan Arab-Teluk. Imam al-Dzahabi menyebutnya “Al-Imam al-Hafidz, pakar hadis ajam (non-Arab), penulis, kodifikator, pencari sanad dan berita, dan seorang penyair”. Namun demikian, Ramahurmuzi lebih dikenal sebagai seorang ahli hadis dibanding ahli sastra. Dirinya memiliki insting keilmuan yang tinggi, wawasan yang luas, pengetahuan yang mendalam dan kejelian dalam kata. Karakter ini tercermin dalam kitabnya “al-muhaddis al-fashil” yang dimulai dengan muqaddimah singkat dan sangat indah:

اَلْحَمْدُ للهِ وَلَا إِله إِلَّا اللهُ، وَعَلَى مُحَمَّدٍ نَبِيِّ اللهِ وَآلِه صَلَوَاتُ اللهِ

Setelah muqaddimah, Ramahurmuzi menyampaikan pesan bahwa para muhaddis atau kodifikator hadis ingin menjadi orang mulia lantaran namanya disandingkan atau disebut bersama dengan nama Nabi dalam satu lembar tulisan. Terlebih dalam hal ini nama-nama keluarga serta keturunan Nabi Muhammad Saw yang bagi Ramahurmuzi cukup mewakili keindahan Nabi sebagaimana  mata rantai penyebutan nama Ali bin al-Husein bin Ali – Alaihim al-Salam –  yang dikenal dengan sebutan Imam Zainal Abidin berserta cucu mereka, Ahlul Bait, keturunan Muhajirin dan Anshar serta para pengikut (tabi’in) mereka yang melakukan kebaikan.

Setelah pembukaan, Ramahurmuzi membahas bab keutamaan seorang penerus atau transmiter Sunnah Rasulllah Saw dengan mengutip sanad yang bersambung kepada Sayidina Ali bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda: “Semoga Allah mengasihi (khalifah) penerus-penerusku”. Kami (Ali bin Abi Thalib dan yang membersamainya) bertanya siapakah mereka?, Nabi menjawab: “mereka adalah orang-orang yang meriwayatkan hadis-hadis dan sunnahku serta mengajarkannya kepada masyarakat”.

Hadis merupakan salah satu dari tiga ilmu yang disebut oleh para ulama bisa meninggikan derajat seorang mukmin, yaitu tafsir, hadis dan fikih. Namun, memahami hadis harus didasarkan pada cara berfikir yang moderat agar membuahkan pemahaman yang moderat. Tidak sebagaimana cara ekstrim yang digunakan oleh kelompok salafi-wahabi dalam memahami Sunnah. Wallahu A’lam.

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …