sufi nusantara
sufi nusantara

Ulama-Sufi Jawa: Syekh Dimyathi, Syekh Romli Tamim, dan Syekh Muslih

Di antara tokoh-tokoh besar tasawuf di Jawa setelah Wali Songo, dikenal tiga sosok kiai, yaitu Syekh Muslih Bin Abdur Rahaman Al-Maraqy (Mranggen Demak), Syekh Romli Tamim (Rejoso Jombang), dan Syekh Dimyathi bin Muhammad Amin Al-Bantaniy (Cidahu Banten). Wejangan ketiga kiai ini menggambarkan simbiosis antara tradisi syari’ah dengan tradisi thariqoh di dunia pesantren Jawa dan menjadi bukti adanya dinamika keagamaan yang khas.

Syekh Dimyathi al-Bantaniy atau yang lebih terkenal dengan Abunya Dimyathi. Beliau merupakan sosok ulama dari Banten sekaligus pemimpin jama’ah Thariqoh Sadziliyah. Wejangan Beliau, sebagaimana lingkup membawa pondok pesantren, tidak terlepas dari penekanan “mengaji”.

Pesan beliau yang terkenal: “Jangan ngaji ditinggalkan, meskipun jarak antara majelis dan jalan raya sangat jauh, atau di luar sana berkecamuk perang dahsyat”. Ada lagi pesan Abunya Dimyathi yang patut diingat, “Biarpun dunia runtuh 1000 kali, pengajian di majelis jalan terus…” (Azra, 2004).

Penekanan ini tidak terlepas dengan keyakian Syekh Dimyathi bahwa mengaji merupakan bentuk syukur hamba kepada Allah karena dikaruniai akal yang sempurna. Ngaji juga dikaitkan dengan upaya santri untuk membuang kebodohan dan gelapnya fikir (li izalah al-jahli). Hal itu karena rancunya pikiran adalah bencana, carut marutnya nalar adalah “kegelapan” (zhulumat) dan kegelapan adalah neraka.

Selain itu mengaji merupakan hal yang tersulit dibandingkan menjadi wali. Orang lebih terpesona dengan kekeramatan seorang wali. Untuk memperoleh karomah tersebut sangat mudah, tetapi menjaga keajekan ngaji adalah perjuangan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun (Azra, 2004).

Meskipun ia berkecimpung dalam dunia sufi, tetapi tidak meninggalkan syara’. Pesan Abunya Dimyathi kepada santrinya penempuh jalan ma’rifat adalah derajat keutamaan tak mungkin diperoleh kecuali dengan kepatahuhan terhadap syara’. Jadi parameter utamanya adalah patuh pada syara’. Maka, derajat seorang manusia di depan Allah selalu diukur dari seberapa banyak ia mau menjalankan perintah-perintah Allah dan lari dari larangan-laranganNya.

Berbeda dengan Abunya Dimyathi, Syaikh Romli Tamim merupakan Mursyid dari Thariqoh Qodariyah wa Naqsyabandiyah. Beliau mengajar para santrinya di daerah Rejoso Jombang, Jawa Timur. Beliau juga seangkatan dengan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Tebuireng), dan Syaikh Wahab Hasbullah (Tambak Beras). Hanya saja, kedua ulama itu dikenal karena kerja-kerja keulamaannya, sementara Syaikh Romli dikenal karena wejangan-wejangan dan doktrin sufistiknya bagi para santrinya yang menginginkan wushul kepada Allah (Mulyati, 2006).

Wejangan Syaikh Romli bagi para santri suluk adalah “seharusnya bagi murid-murid thariqoh selalu tafakkur setiap waktu”. Maksud Syaikh Romli adalah seorang santri hendaknya tetap dalam keadaan “sadar”, senantiasa berdzikir dengan membentangkan perenungan pada akal ataupun nalar sehingga jalan dan gerak nafsu menjadi sempit dan terbatas. Sehingga menurut Syaikh Romli, baik dan tidaknya agama seseorang, bisa disebabkan oleh aspek dari tafakkurnya.

Senada dengan pendapat Abunya Dimyathi bahwa penempuh suluk tidak bisa meninggalkan syari’at. Oleh karena itu, Syaikh Romli berpesan, “syariat tidak bisa ditunda oleh hakikat!” Maksudnya bahwa kebenaran hakikat tidak bisa mengganti peranan syari’at karena dua hal tersebut tidak bisa dipisah. Menyitir ungkapan Syaikh Imam Ghazali dalam kitab Bidayah-nya, Syaikh Romli menegaskan: “Zahirnya takwa adalah syariat, sedangkan batinnya takwa adalah hakikat.” Singkatnya, rahasia yang tersembunyi dari syara’ adalah hakikat.

Adapun Syaikh Muslih Mranggen merupakan ulama thariqot yang lebih merakyat. Risalah kecilnya yang cukup terkenal adalah Futuhat ar-Rabbaniyah yang menguraikan doktrin sufistik “tersingkapnya ma’rifat ilahiyah”. Di dalam risalah kecil ini diuraikan agak mendetail dan teknis dalam penjelasannya tentang tata cara para santri dalam menjalankan thariqah, terutama 10 doktrinnya yang disebut sebagai “mabadi ‘ilmi ath-thariqoh” yang membahas landasan thariqoh Qodariyah wa Naqsyabandiyah.

Sebagai ulama thariqoh Qodariyah wa Naqsyabandiyah, ia sangat menekankan zikir bagi para santrinya. Mengutip wejangan Syaikh Ali al-Murshifi, dalam kitab Minah as Saniyah, Syaikh Muslih mengungkapkan: ”Bahkan, para guru yang agung pun akan sulit memberi obat bagi para santri-santrinya agar memancarkan hati mereka, kecuali dengan mudawwamah dzikir” (Azra, 2004).

Menurut Syaikh Muslih, dzikir laa ilaaha illallah, merupakan harga dan sekaligus kuncinya surga. Dzikir menjadi “kunci” memasuki pintu surga maka sesungguhnya “kunci” itu terdiri dari berbagai “perangkat” lain yang merupakan bagian dari dzikir. Surga selalu digambarkan dengan keadaan tentram dan damai, maka tidaklah salah jika dzikir merupakan kunci surga, kunci ketenangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah, bahwa hanya dengan berdzikir hati menjadi tenang.

Zikir kalimat thayibah, dalam kitab Tanbihul Ghofilin, mampu melebur 4000 dosa (Suyono, 2007). Namun, Syaikh Muslih mengingatkan agar jangan menyalah pahami dengan berlaku “ceroboh” dan menganggap remeh “larangan-larangan” Allah karena menganggap dosa-dosanya mudah diampuni dengan tobat dan berdzikir kalimat thayibah. Menurut Syaikh Muslih, orang yang berperilaku demikian adalah orang-orang yang tertipu oleh nafsunya sendiri dan setan.

Bagikan Artikel ini:

About Ali Usman

Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Check Also

kemerdekaan palestina

Gilad Atzmon dan Pandangannya tentang Kemerdekaan Palestina

Gilad mendukung penuh “hak pulang kampung” rakyat Palestina dan “solusi negara tunggal” bagi penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama itu.

asmaul husna

Kearifan Sufi dan Terapi Asmaul Husna

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, …