udzur shalat jumat
salat jumat di sunter jakut

Apakah Wabah Mengugurkan Shalat Jum’at? Ini Faktor Udzur Shalat Jumat

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dimaksudkan untuk mengatasi Pandemi yang kian mengganas. Kebijakan ini tentu menimbulkan pelbagai konsekuensi. Salah satunya, dan ini paling krusial, umat Islam harus rela untuk meninggalkan masjid-masjid dan mushalla-mushalla untuk sementara waktu. Tidak shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat Ied dan ritual keagamaan yang lain di masjid dan mushalla. Demikian juga umat agama lain harus melakukan hal yang sama.

Catatan kali ini khusus akan mengulas shalat Jum’at di masa PPKM ini dalam situasi Pandemi yang sedang ganas-ganasnya. Sebagaimana kita ketahui dalam fikih, hukum shalat Jum’at wajib bagi setiap mukallaf, baligh, aqil (berakal), laki-laki dan merdeka. Dengan catatan tidak memiliki udzur.

Hukum ini sebagaimana ditegaskan oleh al Qur’an (al Jumu’ah:9) yang dikuatkan oleh hadits-hadits Nabi. Di antaranya, “Siapa saja yang meninggalkan shalat Jum’at tiga kali tanpa udzur, niscaya ia ditulis sebagai orang munafik”. (HR. Thabrani).

Pada hadis yang lain Nabi bersabda, “Siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jum’at karena meremehkan, niscaya Allah menutup hatinya”. (HR. Turmudzi, Thabrani dan Daruquthni).

Dari hadis ini Imam Ramli dalam kitabnya Nihayatu al Muhtaj (6/450) menjelaskan, meninggalkan shalat Jum’at tiga kali tanpa udzur dan karena meremehkan Allah akan menyegel hatinya yang dapat menghalanginya dari nasihat dan kebenaran. Redaksi hadist menyebut tiga secara mutlak, berturut-turut atau tidak. Namun yang dimaksud adalah tiga kali berturut-turut.

Demikianlah, semua ulama sepakat tentang hukum wajib shalat Jum’at bagi mereka yang telah disebutkan. Meninggalkannya tanpa udzur merupakan dosa besar, apalagi sampai meninggalkannya tiga kali berturut-turut.

Faktor Udzur Shalat Jumat

Bagaimana dengan penutupan masjid di masa PPKM Darurat karena Pandemi sedang mengganas? Apakah termasuk salah satu udzur shalat jumat?

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kewajiban shalat Jum’at tidak bisa ditawar lagi kecuali kalau ada udzur. Dengan kata lain, seseorang boleh tidak shalat Jum’at apabila memiliki udzur syari’, udzur yang telah ditetapkan oleh syari’at Islam. Cukup shalat dhuhur di rumah sebagai ganti shalat Jum’at.

Adapun udzur-udzur shalat Jum’at tersebut adalah:

Pertama, tidak mencukupi jumlah yang ditentukan, yaitu empat puluh orang penduduk asli setempat. Ketentuan ini berlaku dalam madzhab Syafi’i. Sementara madhab yang lain bervariasi dalam menentukan jumlah sebagai syarat sah shalat Jum’at.

Syaikh Zakaria al Anshari dalam karyanya Asna al Mathalib (1/263) menjelaskan, apabila mereka kurang dari empat puluh orang atau statusnya penduduk perkemahan, sementara adzan tempat berlangsungnya Jum’at sampai pada mereka, maka mereka wajib datang (ke daerah tetangga tersebut) untuk shalat Jum’at. Apabila adzan tidak terdengar maka tidak wajib shalat Jum’at.

Kedua, hujan lebat. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim. Dari Abdullah bin Abbas, ia berkata juru adzannya pada suatu hari ketika hujan lebat, “Jika engkau sudah mengumandangkan asyhadu an la Ilaha Illallah, asyhadu anna muhammadan rasulullah, maka jangan ucapkan hayya ‘ala al shalah, namun ucapkan shallu fi buyutikum (shalatlah di rumah kalian masing-masing). Juru adzan berkata, “Sepertinya orang-orang mengingkari hal ini”. Ibnu Abbas berkata, “Apakah engkau merasa aneh dengan hal ini? Sungguh telah melakukan hal tersebut orang yang lebih baik dariku (Rasulullah). Sesungguhnya shalat Jum’at adalah hal yang wajib, namun aku benci memberatkan kepada kalian sehingga kalian berjalan di jalan yang penuh lumpur dan jalan yang rawan terpeleset”. (HR. Muslim).

Hadis ini menurut Syaikh Nawawi dalam Syarah al Nawawi ‘ala Shahih Muslim menunjukkan keringanan bagi seseorang untuk tidak shalat berjamaah karena hujan dan udzur-udzur yang lain.

Dari sini bisa dipahami bahwa hujan lebat yang menyulitkan seseorang keluar rumah menjadi udzur shalat Jum’at. Dengan syarat, seperti ditulis oleh Syaikh Khatib al Syarbini dalam kitabnya Mughni al Muhtaj (1/473) hujan benar-benar lebat sehingga menyebabkan kesulitan untuk keluar rumah. Namun bila masih berjalan di bawah atap (konteks sekarang pakai mobil) maka tetap wajib shalat Jum’at.

Ketiga, jalan becek parah. Dalam madhab Syafi’i, kondisi seperti ini menjadi udzur shalat Jum’at berdasarkan hadis shahih riwayat Ibnu Abbas di atas. Hal ini seperti dikatakan oleh Syaikh Kamaluddin al Damiri dalam karyanya al Najm al Wahhaj (2/339), menurut pendapat yang shahih becek parah menjadi udzur baik di malam hari maupun di siang hari. Alasan kedua, karena kondisi seperti ini lebih menyulitkan dari pada hujan lebat. Namun pendapat lain mengatakan bukan sebagai udzur karena bisa diatasi dengan semisal memakai sandal.

Keempat, angin kencang. Dicatat oleh Syaikh Ibnu Hajar al Haitami dalam kitabnya Tuhfah al Muhtaj Hamasyi Hasyiyah al Syarwani, yang menjadi udzur adalah angin kencang di malam hari, sementara angin kencang di siang hari tidak termasuk udzur berjamaah karena tingkat kesulitannya Tidan seperti di malam hari.

Dari keterangan ini bisa dipahami pula, apabila disiang hari terjadi angin kencang yang menimbulkan kesulitan sama dengan angin kencang di malam hari maka otomatis menjadi udzur shalat Jum’at.

Kelima, sakit atau khawatir tertular penyakit. Syaikh al Mardawi dalam kitabnya al Inshaf (4/464) menjelaskan, ulama sepakat bahwa orang yang sedang sakit boleh tidak shalat Jum’at dan shalat berjamaah.  Demikian juga, boleh tidak shalat Jum’at dan shalat berjamaah seseorang yang khawatir tertular penyakit.

PPKM karena Wabah termasuk Udzur Shalat Jumat

Poin kelima ini yang menjawab pertanyaan, apakah di masa PPKM Darurat karena Pandemi yang mengganas boleh tidak shalat Jum’at. Hukum ini tentu menyadarkan kita semua bahwa hukum Islam sebenarnya sama sekali tidak bermaksud untuk memberatkan kepada umatnya.

Dalam situasi yang gawat seperti saat ini, terutama di daerah zona merah, umat Islam diberi keringanan untuk tidak shalat Jum’at di masjid, cukup shalat dhuhur di rumah masing-masing. Alasannya cukup jelas ada faktor yang membahayakan atau berpotensi mengancam jiwa manusia ketika melaksanakan shalat berjamaah.

Sebenarnya sudah cukup gamblang apa yang telah tertera dalam hukum Islam ketika masa pandemi. Dalam kasus covid-19 ini tidak sulit bagi umat Islam untuk mendapatkan referensi dan fatwa yang jernih tentang kebolehan tidak melakukan shalat Jumat dengan adanya udzur syari tersebut. Hanya saja banyak umat yang masih mengandalkan beragama tidak dengan ilmu hanya berbekal semangat semata.

Wabah covid-19 ini semestinya memberikan pelajaran penting di kemudian hari ketika ada potensi ancaman lain yang bisa mengganggu dan mengancam jiwa. Diharapkan umat Islam sudah dewasa dengan mengambil pendapat dan fatwa para ulama dan tidak bermain asumsi liar dengan pendapat pribadi yang tidak mempunyai dasar.

Bagikan Artikel ini:

About Faizatul Ummah

Alumni Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo dan Bendahara Umum divisi Politik, Hukum dan Advokasi di PC Fatayat NU KKR

Check Also

Toa masjid

Toa dan Sejarah Tadarus Al Qur’an di Bulan Ramadan

Ramadan kali ini pun tak luput dari perdebatan soal pengeras suara (TOA). Polemik bermula dari …

manfaat tidur

Hati-hati, Ternyata Ada Tidur yang Membatalkan Puasa

Pemahaman tekstual terhadap dalil agama bisa berakibat fatal. Pemaknaan apa adanya tersebut berkontribusi memberikan informasi …