Umat Islam masih banyak yang menilai sesuatu secara fisik, kulitnya saja. Misalnya, ketika seseorang hendak memilih (calon) pasangan hidup, maka paras rupawan dan menawan (masih) menjadi prioritas utama. Memang yang demikian itu tidak ada salahnya. Namun, fisik sejatinya bukan tolok ukur utama dalam memilih (calon) pasangan. Karena fisik bukan faktor utama dan jaminan akan terciptanya keharmonisan dan kebahagiaan dalam mahligai rumah tangga.
Mempunyai pasangan dan hidup bahagia adalah tujuan semua manusia. Cita-cita ini akan terwujud jika kita tepat dalam memilih pasangan. Islam sebagai agama yang syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna), telah memberikan panduan secara jelas dan detail kepada umatnya dalam memilih (calon) pasangan hidup. Tentu saja panduan atau tolok ukur memilih pasangan di sini sebagai upaya untuk melanggengkan pernikahan itu sendiri dan agar membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Banyak sekali tuntunan agama (Islam-red) yang memandu kita mencari pasangan (calon suami atau calon istri) yang akan dijadikan bukan hanya sekedar teman ‘tidur’, melainkan juga partner hidup yang bahagia, harmonis, damai dan sejahtera.
Memilih calon pasangan hidup dengan penuh pertimbangan dan sesuai dengan tuntutan agama sangat penting diperhatikan sekaligus dijalankan karena membangun dan membina keluarga, selain erat hubungannya dengan kebahagiaan di dunia dan akhirat, juga akan bertalian langsung dengan kualitas anak yang akan dilahirkan dari kelurga tersebut (Faizah Ali Syibromalisi, 2014: 4).
Berkaitan dengan hal di atas, para jomblo—semoga segera ditunjukkan oleh Allah jodohnya—harus mengetahui beberapa kriteria memilih (calon) pasangan sebagaimana digali dari nilai-nilai dan ajaran yang terdapat dalam Alquran dan hadis.
Tuntunan Islam dalam Memilih Pasangan
Dalam perspektif laki-laki (calon suami), Rasulullah Saw memberikan tuntukan kepada laki-laki agar memilih istri yang taat berpegang teguh pada agama, hingga ia paham hak dan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Penjelasan Nabi terkait kriteria calon istri yang sebaiknya dipilih di atas sesuai dengan konteks historisitas masyarakat Arab kala itu, yang memandang perempuan sebagai objek pilihan yang harus dipilih berdasarkan pertimbangan fisik. Realitas ini tidak dapat dinafikan begitu saja oleh Nabi, meski dengan beberapa catatan, bahwa ada dasar pertimbangan non-fisik (agama dan ketaqwaan) yang lebih bisa membawa pernikahan ke dalam tatanan keluarga yang lebih baik ( Nurun Najwah, 2016: 105).
Dalam sebuah hadis, dijelaskan bahwa indikator kebaikan seseorang ada pada akhlaknya. “.. dari ‘Abd ibn ‘Amr bahwasannya Rasulullah bersabda: “Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita soleha.”
Kriteria agama yang utama ini bukan dimaknai sebatas yang penting agamanya Islam. Namun, lebih dari itu, yakni pengetahuan agamanya tinggi, berakhlakul karimah dan mampu memperjuangkan nilai-nilai luhur agama Islam. Dengan kata lain, kualitas agama yang baik lebih didasarkan pada kualitas keberagamaannya yang baik, kesalehan individu dan sosialnya terjaga dengan baik (Asgar Ali Engineer, 200: 47).
Kriteria selanjutnya lebih ke fisik, seperti pemilihan atas dasar keturuan. Wanita yang berasal dari keturunan yang baik akan melahirkan kerukunan dalam rumah tangga. Rasulullah bahkan melarang menikahi perempuan cantik, tetapi berasal dari keturunan yang tidak baik. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Waspadalah kamu terhadap sayur yang tumbuh ditimbunan kotoran binatang. Seseorang bertanta: ‘Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud sayur yang tumbuh ditimbunan kotoran binatang? Rasulullah menjawab: Wanita yang cantik tapi berasal dari keturunan yang tidak baik.” (Riwayat al-Dâraquthni dari al-Wâqidy).
Di atas adalah kritiria dalam perspektif memilih istri. Lalu bagai mana dengan kriteria memilih suami? Islam telah memberikan tuntutan terkait hal ini.
Pertama
Berdasarkan agama dan akhlak. Agama dan akhlak masih menjadi kriteria unggulan, baik dalam memilih istri maupun bagi yang memilih suami. Nabi saw bersabda: “Apabila datang kepadamu seorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya, maka kawinkanlah dia dengan anak perempuanmu. Jika tidak, niscaya akan mendatangkan fitnah di bumi ini dan akan menimbulkan kerusakan yang mengerikan.” (HR. Timridzi, Ibn Majah, dan al-Hakim dari abi Hurairah).
Kedua
Bertanggung jawab. Dalam rumah tangga, tanggung jawab seorang laki-laki terhadap keluarga menjadi barang yang wajib ditegakkan. Terlebih jika memilik fungsi suami dalam keluarga, yakni sebagai pemimpin, yang tentu saja harus bertanggung jawab kepada Allah atas kesejahteraan dan kebahagiaan mahligai rumah tangganya (Faizah, 2016: 7). Kepemimpinan dan tanggung jawab laki-laki ini sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa’: [4], 34. Sifat qawwam dalam ayat ini terkait dengan pemenuhan tanggung jawab seorang suami kepada istri dan anaknya.
Hakikat memilih pasangan hidup, atau bisa disederhanakan sebagai hakikat pernikahan adalah relasi suami-istri yang seimbang sebagai dua subjek dalam membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah yang dilandasi dengan mîtsâqân ghalîdzân. Maka, dalam memilih pasangan hidup bisa mempertimbangkan dua aspek; fisik dan non-fisik. Kriteria yang sifatnya lebih abadi dan lebih menjamin keberlangsungan untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah adalah aspek non-fisik. Sementara aspek fisik sebagai pemacu dan katalisator untuk meminimalisir hambatan dan memudahkan untuk merealisasikan keluarga yang harmonis, rukun, damai dan sejahtera.