Dalam teori hukum Islam atau fikih, dugaan dan sangkaan mempunyai kadar tingkat kekuatan yang berbeda-beda. Kalkulasi tersebut didasarkan atas peluang kemungkinan yang akan terjadi. Secara sederhana ada tiga istilah untuk mengkategorikan level dugaan dan sangkaan, yaitu wahm, syak, dan dhan.
Level terendah dugaan adalah wahm, yakni praduga yang sifatnya diperkirakan hanya 25% jika dikalkulasi dalam prosentase. Syak adalah level tengah, bisa dibilang fifty-fifty (50%-50%). Sedangkan dhan adalah dugaan kuat (kira-kira 75%) yang bisa dijadikan patokan hukum.
Dari tiga macam level inilah kaidah ini lahir dengan redaksi berikut ini:
لاَعِبْرَةَ للِتَّوَهُّمِ.
(la ‘ibrata littawahhum)
“Praduga/prasangka yang lemah (wahm) tak dapat dijadikan acuan hukum”
Praduga/prasangka (wahm/tawahhum) adalah kemungkinan yang jauh dan jarang terjadi dalam kalkulasi akal manusia. Oleh karena itu, sebuah keputusan hukum tidak bisa dijalankan dengan semata-mata mengacu pada praduga tersebut.
Sebagai konsekuensinya, sebuah keputusan yang terkait dengan hak manusia tidak bisa ditunda hanya gara-gara menunggu kepastian praduga yang mungkin terjadi, karena keberadaan bukti yang pasti dan diyakini tidak bisa digantungkan dengan hal-hal yang belum pasti dan bersifat prasangka semata.
Aplikasi kaidah: ahli waris yang ditetapkan melalui bukti-bukti dan kesaksian para saksi bahwa tidak ada ahli waris lain di luar mereka sudah cukup kuat untuk melaksanakan pembagian harta waris. Sementara kemungkinan adanya ahli waris lain tidak perlu diperhatikan, karena hal tersebut hanya berdasarkan praduga semata dan kemungkinan yang sangat jauh. Oleh sebab itu, kemungkinan munculnya ahli waris lain tidak bisa menunda pelaksanaan pembagian warisan.
Seseorang dalam kondisi bingung untuk menentukan arah kiblat kemudian melakukan shalat dengan menghadap arah sembarangan tanpa usaha mencari tahu hanya berdasar praduga semata (wahm), shalatnya tidak sah. Namun jika ia berusaha sekuat tenaga untuk menentukan arah kiblat berdasarkan pengamatan-pengamatan dan usahanya yang sungguh-sungguh, shalatnya tetap sah, walaupun pada kenyataanya arah kiblatnya keliru. Sebab kondisi pertama hanya pada level wahm, sementara yang kedua sudah mencapai tingkat dhan (dugaan kuat berdasar ijtihad).
Seseorang yang terluka akibat tindakan orang lain kemudian luka tersebut telah sembuh secara sempurna lalu orang ini hidup normal dalam jangka waktu tertentu kemudian meninggal. Jika ahli waris mengklaim bahwa kematian sang mendiang kemungkinan disebabkan luka yang telah sembuh itu, maka klaim semacam ini tidak bisa diterima.
Pada kasus tersebut karena penyebab kematian itu hanya berada pada praduga dan sangkaan (wahm). Tentu saja sangkaan ini memiliki kualitas dugaan dhan jika jarak kematian terjadi sebelum ia sembuh.
Hikmah kaidah dalam kehidupan. Jangan mudah membuat pernyataan dan berita yang hanya berdasarkan praduga semata. Buanglah prasangka-prasangka yang hanya membuat hidupmu sengsara dan hatimu gelisah.
Dugaan patut menjadi bahan kewaspadaan jika sudah berada pada level yang cukup kuat untuk dibuktikan. Jika tidak, apakah kita mau menimpakan musibah kepada orang lain karena prasangka dan praduga kita? []
Wallahu ‘alam
Zainol Huda, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.