Setiap orang muslim yang berakal bersepakat tentang kebutuhan dan keutamaan menulis sebagaimana mereka sepakat menulis adalah kerja peradaban. Ulama yang hidup di abad I-III H atau yang dikenal dengan sebutan Salaf (bukan Salafi) telah memberikan contoh pentingnya menulis, bahkan di masa generasi Islam pertama dengan munculnya karya paling orisinil di dunia yaitu kitab suci al-Qur’an yang mengangkat moderasi Islam sebagai pedoman kehidupan. Al-Qur’an (Wahyu) yang diajarkan oleh Nabi dalam hal ini adalah nilai moderat yang kemudian menjadi institusi, dan institusi menjadi peradaban.
Al-Qur’an merupakan wahyu yang ditulis, kemudian tulisan itu diakui sebagai karya orisinil hingga sekarang. Dengan kata lain, teksnya asli dan tidak mengalami perubahan dari masa ke masa. Tidak hanya al-Qur’an, bahasa yang digunakan juga tidak berubah. Wajar jika bahasa Arab diakui sebagai bahasa paling aman untuk mendokumentasikan warisan sejarah, berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang mengalami perubahan mengikuti tuntutan perkembangan zaman.
Di masa jahiliyah, menghafal dianggap suatu kelebihan, sedangkan menulis dianggap aib. Namun berbeda di masa Islam, al-Qur’an secara gamblang mengajarkan membaca sekaligus menulis, meskipun menghafal tetap bagian dari kelebihan seorang muslim. Para sahabat dekat Nabi seperti Ali pernah didikte oleh Nabi secara langsung tentang masalah halal, haram, faraidl (warisan) dan sebagainya, Ali mencatatnya dan catatan itu kemudian disebut Sahifah Ali. Seorang ulama Muritania Dr. Muhammad al-Mukhtar Walad Abbah dalam kitabnya “Sejarah Ilmu Hadis di Timur dan Barat” menyebutkan bahwa hadis di masa Sahabat ditulis diatas lembaran dan surat-surat yang sangat terbatas, termasuk ditulis di sarung pedang Imam Ali bin Abi Thalib.
Di masa Imam Syafi’i (w. 204 H), tujuan utama menulis adalah menyebarkan ilmu dan pemahaman yang moderat. Dalam hal ini, Imam Syafi’i berkata; “Seandainya tidak ada tinta, maka dengan leluasa orang-orang zindiq berkhutbah di mimbar-mimbar” (al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’: 10/70). Selain itu, menulis juga untuk memberikan kemudahan sebagaimana Imam Bukhari (w. 256 H) menulis hadis-hadis shahih setelah terinspirasi dari perkataan gurunya Ishaq bin Rahawaih ketika hadir di majelis pengajian. Ketika itu, gurunya mengumumkan perlunya menyusun buku yang berisi hadis-hadis shahih. Sebagaimana hadis shahih merupakan hadis maqbul (diterima) yang bisa dijadikan pedoman dalam meyimpulkan hukum perbuatan (fikih). Imam Bukhari menyusun bukunya dengan sistematika fikih.
Diantara nilai moderasi yang terkandung dalam shahih Bukhari adalah metode komparatif yang digunakan untuk memahami sekumpulan jalur riwayat yang ada dalam memfilter hadis shahih dan tidak mengandalkan satu jalur periwayatan saja. Dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi Muhammad Saw menyebut bahwa posisi surga Firdaus terletak di tengah-tengah surga dan yang paling tinggi. Surga Firdaus dikhusukan untuk para Nabi, Shiddiqin, Syuhada’, Shalihin dan orang-orang yang derajatnya tinggi.
Di sisi lain, data berupa tulisan lebih kuat dari data lisan yang tidak tertulis atau tidak terdokumentasi. Dalam Islam, tulisan menjadi tuntutan kehidupan beragama sebagaimana tuntutan dari penulisan al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri. Nabi Muhammad Saw memberikan perhatian khusus terhadap kemampuan menulis atau literasi sebagaimana sejarah menyebut adanya masalah tebusan budak perang Badar dari kalangan orang-orang musyrik dengan mengajarkan membaca dan menulis untuk sepuluh anak orang-orang Islam.
Sikap moderasi yang tertulis dalam literatur ulama’ Islam tidak selalu identik dengan sikap “berada di tengah-tengah” secara persis. Membatasi sikap di posisi tengah-tengah persis merupakan perkara sulit, baik dalam hal pemikiran, kejiwaan maupun tingkah laku. Moderasi Islam dipahami melalui proses istiqra’ (induksi) dari ajaran-ajaran Islam. Dalam hal ini, Syekh Abderrahman Hasan Habankah al-Maidani membahas secara menyeluruh dalam kitabnya “Moderasi Islam”.
Prinsip moderasi Islam atau hukum asal prilaku keagamaan adalah mengikuti ajaran Nabi dan Ulama (Pewaris), bukan memahmi sendiri yang cenderung membuahkan sikap ekstrim baik eksrim kanan (radikal) atau ekstrim kiri (liberal). Loyalitas kepada agama juga harus didasarkan pada pemahaman yang benar, bukan fanatisme buta dan membutakan. Wallahu A’lam.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah