orang lailatul qadar
orang lailatul qadar

Amalan Memburu Lailatul Qadar dan Tanda Orang yang Sudah Meraihnya

Sebagaimana telah diproklamasikan Al-Qur’an bahwa Lailatul Qadar adalah malam yang lebih baik dari pada seribu bulan. Maklumat inilah yang menyita perhatian kaum muslimin untuk terus berusaha mencari dan berharap bahwa amal yang mereka lakukan untuk mengisi malam-malam sepuluh terakhir bulan Ramadlan bertepatan dengan Lailatul Qadar.

Amalan yang harus dilakukan untuk mengisi dan menghidupkan Lailatul Qadar tentu harus sesuai petunjuk, arahan, dan apa yang dipraktikkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw. Motifasi untuk mengisi Lailatul Qadar dengan ibadah berpijak pada hadis berikut ini:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ اْلقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَه مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ. (رواه الجماعة إلا ابن ماجه)

Artinya: “Barang siapa yang melakukan ibadah pada malam lailatul qadar dengan dasar keimanan dan mengharap ridla Allah, maka baginya diampuni dosa-dosa yang telah lalu”. (Shahih al-Bukhari, No. 1901, Sunan al-Nasai, No. 2205).

Di samping hadis di atas riwayat Siti Aisyah merekam apa yang dilakukan Rasulullah di saat-saat sepuluh malam terakhir bulan Ramadlan dalam hadis berikut:

قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ

Artinya: “Aisyah berkata: ketika Rasulullah memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadlan, beliau menghidupkan malam, membangunkan keluarganya, dan tekun serta mengikat sarung”. (Shahih Muslim, No. 2844, Juz 7, hal. 368).

Dalam hadis riwayat Aisyah ini menggambarkan perilaku Rasulullah ketika memasuki sepuluh terakhir bulan Ramadlan, yaitu mengisi malam-malam tersebut dengan ibadah dan mengajak keluarganya untuk lebih tekun lagi beribadah melebihi kebiasaan sebelumnya. Sedangkan mengikat sarung merupakan simbol dari dua makna, sebagaimana yang dikatakan al-Khatthabi, yaitu menjauhi istri untuk konsentrasi beribadah, dan mempersiapkan diri serta tekun untuk melakukan ibadah. (‘Aun al-Ma’bud, Juz 3, hal. 313., Syarh al-Nawai ‘ala Muslim, Juz 4, hal. 208.)

Lalu bentuk ibadah apa yang dilakukan Rasulullah untuk mengisi dan mempersiapkan diri menyambut Lailatul Qadar? Dalam mengomentari hadis di atas tentang menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir Imam Nawawi mengatakan bahwa yang dilakukan beliau adalah mengisinya dengan shalat, dzikir/do’a dan membaca Al-Qur’an, bahkan Rasulullah menghabiskan malam dengan bergadang untuk melakukan ibadah-ibadah tersebut. (Syekh Muhammad Syams al-Haq dan Syekh Muhammad Ashraf, ‘Aun al-Ma’bud ‘ala Syarh Sunan Abi Daud, Juz 3, hal. 313).

Sedangkan doa yang sunnah dibaca adalah doa yang diajarkan Rasulullah kepada Siti Aisyah, yaitu:

اَللّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ اْلعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ.

Artinya: “Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pengampun menyukai ampunan, maka ampunilah aku”.

Ketika seseorang telah mengisi malam-malam sepuluh terakhir di bulan Ramadlan dalam rangka menyambut dan berharap kehadiran Lailatul Qadar, lalu apa yang menandakan bahwa seseorang telah menggapai dan meraih Lailatul Qadar?

Menanggapi hal ini ulama membagi dalam dua kategori. Pertama, mereka yang dianugerahi Allah dapat melihat tanda-tanda Lailatul Qadar. Antara lain tanda tersebut adalah melihat segala isi alam jagat seolah bersujud. Melihat cahaya yang memancar di setiap sudut tempat, bahkan di tempat yang gelap gulita. Mendengar ucapan salam dan berkomunikasi dengan malaikat.

Kedua, mereka yang tidak melihat tanda-tanda apapun, namun mereka telah menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir dengan amalan dan ibadah, yang keesokan harinya melihat tanda-tanda Lailatul Qadar (baca artikel tanda-tanda Lailatul Qadar). (Kitab al-Shiyam, Dar al-Ifta’ al-Mishriyah, hal. 61., Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Baz, Juz 6, hal. 425.).

Tidak melihat tanda-tanda Lailatul Qadar tidak menghalangi tercapainya keutamaan dan fadilah Lailatul Qadar bagi kaum muslimin yang sudah mengisinya dengan amal ibadah yang didasari keimanan dan semata-mata mengharap ridla Allah. Bahkan tidak sepantasnya kaum muslimin memiliki keyakinan bahwa orang yang meraih dan berjumpa Lailatul Qadar hanyalah mereka yang melihat tanda-tanda keanehan (khawariq al-‘adah).

Karunia Allah sangat luas, terkadang ada orang yang tekun beribadah, namun tidak melihat tanda-tanda apapun, sementara yang lain tidak mengisinya dengan ibadah, tetapi dapat melihat tanda-tanda. Tentu lebih utama yang mengisinya dengan ibadah, karena melihat tanda-tanda itu berkemungkinan dua, bisa jadi sebuah karamah (keistimewaan) atau malah tipu daya/fitnah. (Kitab al-Shiyam, Dar al-Ifta’ al-Mishriyah, hal. 61.). []

Wallahu a’alam bisshawab.

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …