Wahabi
Waspada Wahabi

Benarkah Dakwah Wahabi “Qur’an dan Sunnah” ?

Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang sedang berjuang membentengi umat Islam dari pengaruh wahabi. Negara-negara Arab juga demikian. Seorang ulama Sudan Syekh Awadl Karim al-Aqli  dalam hal ini menyebut penyebaran dakwah wahabi (baca: salafi) di Sudan disebabkan oleh faktor bantuan dana. Jika bantuannya terputus maka dakwahnya terputus.

Munculnya masjid-masjid baru di Sudan, termasuk “masid” (pesantren) dan “kuttab” (taman pendidikan al-Qur’an) tidak sedikit yang dijadikan sebagai pusat penyebaran paham salafi. Bahkan  kelompok Salafi juga menyerobot masjid dan “kholwah” (pesantren tahfidz). Hobi da’i-da’i salafi adalah menyerang amalan masyarakat dengan tuduhan bid’ah, sesat dan syirik tanpa menghargai perjuangan dakwah ulama dan kepercayaan masyarakat.

Ulama hadis al-Azhar Syekh Prof. Dr. Ma’bad Abdel Karem yang juga merupakan rujukan salafi dalam kajian hadis berterus terang menyebut penyebaran paham salafi (salafiyah kontemporer/wahabi) di Mesir karena tujuan-tujuan duniawi, bukan tujuan agama dan akhirat. Syekh Ma’bad menyebut bantuan luar negeri bersyarat, yaitu menyebarkan pemikiran Salafi. Syekh Ma’bad memberikan nasehat kepada siapapun yang berinteraksi dengan kaum salafi agar tetap mengutamakan keselamatan agama mengingat adanya motif duniawi yang sangat kuat meskipun nampaknya menggunakan dalil al-Qur’an dan Sunnah.

Adapun pengakuan wahabi bahwa mereka adalah kelompok salafiyah merupakan bentuk tadlis (pengelabuhan). Istilah salaf memiliki makna generasi tertentu umat Islam sebagaimana masanya telah ditentukan oleh Nabi, bukan bermakna paham atau ajaran tertentu. Cara berfikir mereka adalah cara “inderawi” yang sempit, bukan nalar sebagaimana paham tajsim (menyerupakan dzat Allah dengan makhluk) yang mereka yakini. Dengan kata lain, manhaj (cara berfikir) keilmuan mereka adalah tekstualis; keras dan kaku.

Guru Besar Ilmu Aqidah al-Azhar Prof. Dr. Thaha Hubaisyi menyimpulkan bahwa wahabi bergerak layaknya partai; terikat politik dan menghasilkan uang yang kemudian dinamakan “wahabi” dan mengklaim sebagai gerakan keagamaan. Di abad 21 yang sangat terbuka saat ini, wahabi semakin nampak dengan karakter aslinya sebagai gerakan pragmatis di satu sisi, dan politik di sisi yang lain. Prof. Thaha membagi umat Islam di dunia ini menjadi tiga kelompok manhaj (paradigma); tektualis (nashiyyun), rasionalis (aqliyyun) dan spiritualis (bashairiyyun). Tektualis dimulai dari Imam Ahmad bin Hambal, rasionalis dari kalangan mu’taziah dan spiritualis dari kalangan Sufi (zahid).

Dalam masalah aqidah, kelompok yang berada di tengah-tengah antara tekstualis dan rasionalis yaitu Asy’ari dan Maturidi. Kelompok ini dikenal mewakili Ahlus Sunnah; orang-orang yang sesuai dengan Sunnah dan metode Nabi dalam menghadapi semua persoalan. Adapun Syiah dalam hal ini berada di tengah-tengah antara tekstualis dan spiritualis.

Di media sosial, kalangan wahabi semakin dikenal dengan lidahnya yang terbiasa mencela atau mengumbar aib sesama muslim, mengkafirkan orang yang berdosa atau mengharamkan perkara yang makruh. Selain itu, wahabi dikenal suka mencampuri urusan orang lain. Dengan kata lain, wahabi sulit memberikan kesempatan orang yang berbeda untuk saling memahami atau saling menguatkan.

Seruan paling menonjol dalam khutbah dan ceramah-ceramah wahabi adalah melarang umat Islam bertawasul dan beristighasah dengan para Nabi, wali dan orang-orang saleh. Padahal Nabi Adam saja bertawasul dengan Nabi Muhammad Saw sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Hakim dan dishahihkan oleh al-Thabrani. Demikian halnya Imam Malik.

Ketika ditanya oleh Khalifah al-Manshur yang sedang berada di masjid Nabawi, “Wahai Abu Abdillah. Apakah saya menghadap kiblat lalu berdo’a, ataukah menghadap Rasulullah lalu berdo’a ?”. Imam Malik pun menjawab, “Bagaimana anda berpaling dari Rasulullah sedangkan Beliau berwasilah dengan Bapak Anda; Nabi Adam kepada Allah ?!. Jadi menghadaplah dan mintalah pertolongan dengan perantara Rasulullah, dengan itu Allah akan menolong Anda”.

Tidak sedikit riwayat hadis yang menjelaskan bahwa para sahabat juga bertawasul dengan Nabi ketika memohon kepada Allah. Demikian Imam Syafi’i bertawasul dengan Ahlul Bait sebagaimana diakui sendiri dalam bait-bait beliau:

وَهُمُ إِلَيْه وَسِيْلَتِيْ آلُ النَّبِيِّ ذَرِيْعَتِيْ
بِيَدِيْ اليَمِيْنِ صَحِيْفَتِيْ أَرْجُوْ بِهِمْ أُعْطَى غَدًا

Keluarga Nabi Muhammad adalah penyafaatku,

Mereka adalah wasilahku menuju Rasulullah.

Aku berharap dengan berkah mereka,

kelak catatan amalku diberikan dengan tangan kanan.

Selain itu, pengingkar tawasul hendaknya merenungi amalan-amalan ibadah haji seperti mengelilingi ka’bah, mencium hajar aswad, lari-lari kecil antara Safa dan Marwah dan wukuf di Arafah sebagai bagian tawasul dan sarana tabarruk meskipun semuanya adalah benda padat yang secara awam tidak bermanfaat dan tidak pula membahayakan.

Wahabi mengingkari perbuatan bid’ah secara mutlak tanpa mempertibangkan bid’ah yang boleh diingkari dan yang tidak boleh. Mereka mengaggap tarekat-tarekat Sufi adalah bi’ah. Pintu ijtihad pun terbuka bagi semua kalangan sehingga mereka terlampau bersemangat memaparkan dalil  al-Qur’an dan Sunnah.  Mereka mengaku pengikut madzhab Hambali dalam masalah fikih, namun kenyataannya mengutamakan Ibnu Taimiyah. Ketika Ibnu Taimiyah bertentangan dengan Muhammad bin Abdul Wahab, maka Muhammad bin Abdul Wahab lah yang diutamakan penyebutan mereka adalah wahabi, bukan hambali atau taimi.

Meskipun Muhammad bin Abdul Wahab mengaku madzhab fikihnya Hambali, namun para pengikutnya saat ini tidak sejalan dengan madzhabnya, alias berubah menjadi “Wahhami” (spekulator), bukan lagi Wahabi karena prilakunya sudah berbeda dengan panutannya. Dakwah yang sebelumnya ekstrim dan ideologis pun beralih menjadi gerakan bisnis dengan spirit  korporat di kalangan mereka.

Lebih dari itu, wahabi tidak segan memutus silaturahmi karena beda pendapat atau keyakinan, bahkan menjadi sebab perpecahan di masyarakat. Al-Qur’ann dan Sunnah telah menjelaskan bahwa perbedaan adalah fitrah (natural) dan niscaya sehingga jangan sampai mengafirkan sebagaimana toleransi antar umat Islam yang tercatat dalam sejarah dari generasi ke generasi. Wahabi perlu sadar bahwa mengabdi kepada agama, negara dan kemanusiaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Wal hasil, wahabi tidak bisa disebut Sunni karena prilaku mereka jauh dari Sunnah Nabi. Pesan Nabi sangat jelas; “Alahkah beruntungnya orang yang sibuk dengan aib diri sendiri sehingga tidak sempat melihat aib orang lain”.

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …