Sejak awal kehadirannya Islam sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Hal ini terbukti dari berbagai aturan yang disuguhkan. Contoh representatif yang acap kali didengungkan oleh para pembela kemanusiaan soal misi menghilangkan perbudakan yang membudaya di Arab saat itu, dengan beberapa aturan sanksi yang mengharuskan untuk memerdekakan budak.
Di aspek yang lain, Islam juga menginginkan agar aib yang akan menjatuhkan harga diri untuk tidak dibuka, tetapi ditutupi dan disembunyikan demi menjaga martabat kemanusiaan. Oleh karena itu, Islam sangat detail dan ketat dalam hal menjatuhkan sanksi bagi seseorang. Misal sanksi bagi pelaku perzinaan harus disaksikan oleh empat orang yang melihat langsung terhadap kejadian. Dalam bingkai menggagalkan sanksi, kaidah fikih berikut lalu dihadirkan dengan bunyi redaksi:
اَلْحُدُوْدُ تَسْقُطُ بِالشُّبُهَاتِ.
(al-hudud tasquthu bi al-syubuhat)
Artinya: “Hukuman menjadi gugur disebabkan ketidak-jelasan (syubhat).”
Maksud kaidah ini bahwa hukuman dapat dibatalkan disebabkan terdapat aspek yang masih abu-abu dalam kasus kejadiannya. Dalam term fikih hadd adalah sanksi atau hukuman yang sudah ditetapkan oleh syariat mengenai kadar dan ukurannya. Misal, sanksi perbuatan zina, sanksi peminum khamr, sanksi pencurian, dan lain-lain yang sudah memiliki ketentuan syariat. Syubhat adalah ketidak-jelasan, keragu-raguan, samar dan abu-abu.
Kaidah ini dibangun dengan berpijak pada hadis Nabi yang berbunyi:
اِدْرَؤُوا اْلُحدُوْدَ بِالشُّبُهَاتِ.
Artinya: “Tolaklah (pelaksanaan) hukuman sebab adanya syubhat”.
Hadis di atas bersama hadis-hadis lain yang senada menjadi pijakan yang kuat dalam membangun dan menyokong kaidah di atas. Bahkan, dalam hadis jalur Siti Aisyah lebih detail memberikan argumentasi soal mengapa hukuman harus digagalkan. Di akhir bunyi hadis itu menuturkan bahwa kekeliruan pemimpin atau hakim dalam menganulir eksekusi hukuman itu lebih baik dari pada kekeliruan dalam memberikan hukuman. Jadi, lebih baik keliru memaafkan dari pada keliru mengeksekusi hukuman.
Dengan demikian, ketidak-jelasan dalam sebuah kasus akan berpotensi salah dalam memutuskan. Dari pada salah mengeksekusi hukuman lebih baik salah dalam menganulir hukuman. Kondisi syubhat ini terdiri dari tiga kategori.
Pertama, syubhat yang berkaitan dengan pelaku, artinya ketidak-jelasan tersebut diakibatkan oleh pelaku yang hanya menduga-duga dalam melakukan tindakan. Misalnya, seorang suami yang melakukan hubungan suami isteri dengan seorang perempuan yang diduga isterinya, namun ternyata malah orang lain.
Kedua, syubhat yang berkaitan dengan objek tindakan, artinya status barang yang menjadi objek masih abu-abu. Misalnya, mencuri harta milik orang tuanya, atau milik anaknya, sebab dimungkinkan ada hak milik pelaku dalam harta tersebut, atau minimal memiliki hak guna.
Ketiga, syubhat yang berkaitan dengan mekanisme dan prosedur tindakan, artinya status mekanisme dan prosedur yang dijalankan masih abu-abu. Misalnya, kawin kontrak, nikah tanpa wali, nikah tanpa dua orang saksi. Status keabsahan nikah model tersebut masih abu-abu. Kasus-kasus dalam contoh tersebut masih bersifat abu-abu, antara halal dan haram, sehingga tidak bisa diberlakukan hukuman sesuai aturan syariat.
Hikmah kaidah dalam kehidupan: Islam sangat menghargai kehormatan dan harga diri sesama. Jangan mudah memvonis dan menjustifikasi seseorang, apalagi berkaitan dengan aib dan harga dirinya. Sebaiknya, lakukan tabayyun, klarifikasi yang memadai agar tidak salah dalam menilai. Upayakan melihat persoalan dari berbagai sisi agar menjadi jelas dan terang benderang, jangan lakukan tindakan apapun dalam kondisi masih abu-abu, samar-samar, belum clear. []
Wallahu a’lam Bisshawab.
Referensi:
Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Mazahib al-Arba’ah (Beirut: Dar al-Fikr, Cet. III, 2009), hal. 706-707.
Ibrahim Muhammad Mahmud al-Hariri, Al-Madkhal ila al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kulliyah (Yordania, Dar al-‘Imar, Cet. I, 1998), hal. 166.
Zainol Huda, Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.