fatwa
fatwa

Memahami Fatwa (4): Hukum Berfatwa dan Situasi yang Melingkupinya

Kehadiran fatwa di tengah-tengah masyarakat muslim yang dihadapkan dengan berbagai problematika kehidupan menjadi semacam guide yang akan menuntun mereka agar tetap melangkah di jalur syariat yang benar. Dengan demikian, fatwa merupakan menu yang dinanti-nanti oleh mereka saat membutuhkan sikap, arah, langkah yang akan diambil dalam menyikapi sebuah persoalan yang sedang terjadi dan membutuhkan sebuah keputusan hukum yang sesuai dengan syariat Islam. Oleh sebab itu, berfatwa merupakan sebuah keharusan bagi mereka yang memiliki keahlian memadai sebagai seorang mufti, agar umat Islam tidak mengalami kebingungan dan dibiarkan liar tanpa bimbingan dan arahan.

Hukum Berfatwa

Mengingat begitu pentingnya sebuah fatwa, lalu apa sebenarnya hukum memberikan fatwa, wajibkah? Atau sekedar sunnah saja? Pada prinsipnya hukum memberikan fatwa adalah wajib bagi seorang mufti, mengingat fatwa berangkat dari kasus riil yang dipertanyakan dan sedang dibutuhkan oleh umat muslim. Kewajiban berfatwa ini bisa dua kemungkinan, menjadi fardu ain jika hanya ada seorang mufti dalam kawasan tertentu. Jika mufti lebih dari satu maka hukum berfatwa menjadi fardu kifayah. Artinya, ketika salah seorang mufti sudah mengeluarkan fatwa, maka kewajiban berfatwa bagi yang lain menjadi gugur. (Syekh Jamaluddin al-Qasimiy, Al-Fatwa fi al-Islam, tt., hal. 19., Najmuddin Ahmad bin Hamdan, Shifat al-Mufti wa al-Mustafti, Riyad: Dar al-Shumai’i, Cet. I, 2015, hal. 129).

Hukum berfatwa juga menjadi fardu ain, tanpa melihat kuantitas mufti, dalam situasi tertentu, seperti: (1) dimintai fatwa tentang kasus yang mendesak untuk segera ditangani, semisal fatwa tentang hukum shalat yang mendesak karena waktunya akan segera berakhir. (2) mufti yang menduduki jabatan berdasarkan pengangkatan (SK) pemerintah dan secara khusus bertugas memberikan fatwa. Dalam konteks Indonesia direpresentasikan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI).

Selain wajib, hukum berfatwa bisa menjadi haram dalam kondisi-kondisi tertentu, sebagaimana penjelasan berikut. Pertama, ketika mufti belum memahami secara benar duduk persoalan kasus yang sedang terjadi, deskripsi utuh, latar belakang, esensi bendanya, dan hal-hal lain yang dapat menggambarkan kasus secara detail dan komprehensif. Dalam situasi seperti ini haram seorang mufti terburu-buru mengeluarkan fatwa tanpa didasari pengetahuan yang utuh tentang kasusnya.

Kedua, berfatwa berdasarkan kepentingan dan syahwat yang memihak kepada orang yang bertanya, hal ini dikenal dengan sebutan “fatwa sesuai pesanan” dengan membelokkan kebenaran. Termasuk juga haram apabila mufti mengetahui bahwa fatwanya akan digunakan oleh orang yang bertanya untuk membela kebatilan. Ketiga, berfatwa dalam kondisi dirinya tidak stabil, semisal saat marah besar, sangat bersedih, dan lain-lain yang menyebabkan akal normalnya tidak berfungsi secara maksimal. (Abdurrahman al-Najdi, Dlawabith al-Fatwa fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Mekah: Maktabah Nizar Musthafa, Cet. II, 2007, hal. 51-52., Abdullah bin Muhammad bin Sa’d Ali Khanin, Al-Fatwa fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Juz I, Riyadl: Maktabah Abekan, Cet. I, 2008, hal. 60-62).

Menahan Diri untuk Berfatwa

Di samping itu, seorang mufti juga harus menahan diri untuk tidak mengeluarkan fatwa dalam situasi berikut: (a) apabila fatwa akan mengakibatkan situasi tidak aman, kerusakan, fitnah yang diperbuat oleh mustafti ataupun masyarakat secara umum. (b) fatwa tersebut akan mengancam keselamatan diri, harta, dan keluarganya. Dalam dua situasi tersebut dikembalikan kepada kaidah fikih yang menyatakan, dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih, menghindari kerusakan dan kemudaratan lebih dipentingkan dari pada mendatangkan kebaikan dan kemaslahatan. (c) apabila sudah ada mufti lain yang menjawabnya.

Kondisi berikutnya dikembalikan kepada penanya, yakni (d) apabila pertanyaan tidak bermanfaat untuk penanya ataupun masyarakat secara umum. Imam Ahmad bin Hanbal pernah ditanya, apakah Ya’juj Ma’juj beragama Islam? Lalu beliau menjawab, apakah engkau telah menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga bertanya tentang hal ini? (e) apabila jawaban atau fatwa tidak dapat dijangkau oleh pikiran penanya. Seandainya pertanyaan dijawab kemampuan penanya tidak menjangkau, sehingga jawaban akan menimbulkan fitnah dan kekacauan dalam pikiran penanya.

Terakhir, (f) pertanyaan seputar kasus yang belum terjadi. Abdullah bin Umar pernah menyampaikan bahwa Umar bin Khatthab melaknat orang yang bertanya tentang kasus yang belum terjadi. Menyikapi hal tersebut ulama berbeda pendapat. Sebagian ahli hukum Islam berpendapat sunnah dijawab berdasarkan keumuman hadis yang menyatakan bahwa orang yang menyimpan ilmu akan dikekang dengan api neraka. Ahli fikih yang lain mengatakan makruh dijawab karena tradisi ulama salaf tidak pernah menjawab dan berkomentar tentang kasus yang belum terjadi. Sementara pendapat ketiga menyatakan boleh-boeh saja, boleh dijawab boleh tidak.

Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauzi memberikan komentar yang lebih detail tentang hal ini. Menurutnya, jika kasus yang ditanyakan dapat dijawab dengan penjelasan yang diambil dari Al-Qur’an, hadis, atsar sahabat, maka silahkan dijawab, tidak makruh menjawabnya. Namun, jika kasus tersebut tidak terdapat dalam penjelasan nas Al-Qur’an dan hadis ada dua kemungkinan. Pertama, kasus yang ditanyakan sangat jarang terjadi, atau bahkan dimungkinkan tidak akan terjadi, maka hukumnya makruh untuk dijawab. Kedua, kasus tersebut sangat mungkin terjadi dan penanya bermaksud untuk mengantisipasi kekhawatiran akan terjadi pada dirinya, sehingga memiliki pengetahuan, maka dihukumi sunnah menjawabnya. (Abdullah bin Muhammad bin Sa’d Ali Khanin, Al-Fatwa fi al-Syari’ah al-Islamiyah, Juz I, Riyadl: Maktabah Abekan, Cet. I, 2008, hal. 62-70). []

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …