meneladani nabi
Nabi Muhammad

Meneladani Nabi Lewat Profil dan Kepribadiannya

Jika mengenali artis idola lumrah di dunia hiburan, maka mengenali Nabi mestinya juga lumrah sebagaimana kepribadian Nabi sangat menyenangkan dan menghibur. Selain itu, Nabi merupakan teladan umat Islam, bahkan umat manusia yang menghendaki peradaban diatas bumi ini masih terjaga. Bagi umat Islam, memuji dan menyanjung-nyanjung Nabi bisa menaikkan derajat di sisi Allah.

Nabi membangun peradaban dari dalam rumah dengan pengelolaan waktu. Sayidina Husein bertanya kepada ayahanda Sayidina Ali tentang manajemen waktu Rasulullah saat di rumah. Sebagai menantu sekaligus sepupu Nabi, Sayidina Ali menjawab dengan gamblang: “Nabi membagi waktu rumah untuk tiga bagian; Allah, keluarga dan diri sendiri. Kemudian bagian diri sendiri dibagi lagi untuk diri sendiri dan umat (sosial). Nabi mendahulukan orang-orang khusus daripada orang-orang umum dan tidak menyembunyikan sesuatu (manfaat) dari mereka”. Jika manfaat untuk agama atau dunia mereka, Nabi akan menyampaikan. Nabi mengutamakan kalangan senior dan yang memilki keutamaan, sebagaimana tercermin dari sabda beliau:

البَرَكَةُ مَعَ أَكَابِرِكُمْ

“Keberkahan itu bersama pembesar-pembesar kalian”. Artinya pembesar (senior) dalam hal agama dan ilmu.

Orang yang mengaku meneladani Nabi setidaknya mengenal sosok Nabi yang dicintai. Al-Barra bin Azib sebagaimana dikutip oleh Bukhari dan Muslim menggambarkan Nabi adalah sosok yang paling ganteng wajahnya, paling menawan akhlaknya, tidak terlalu tinggi atau pendek posturnya. Jalan keteladanan itu mendalami profil dan kepribadian Nabi. Imam Ghazali merangkum sebab-sebab cinta adalah menemukan keindahan, kesempurnaan dan pemberian. Ketika penduduk Madinah menyambut kedatangan Rasulullah, mereka meluapkan kebahagian dengan bernasyid, memuji dan menggambarkan “foto profil” Nabi laksana bulan purnama, harus disyukuri dan ditaati. Nasyid itu sangat indah:

مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعِ   طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا
مَا دَعَا لِله دَاعٍ   وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا
جِئْتَ بِالأَمْرِ الْمُطَاعِ   أَيُّهَا الْمَبْعُوْثُ فِيْنَا

Dalam mengenalkan kepribadian Nabi, ulama hadis Suriah; Syekh Abdullah Sirajuddin al-Huseini mengarang kitab berjudul “Sayyiduna Muhammad Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Ala Aalihi wa Sallam” dengan tebal 635 halaman. Syekh Sirajuddin mengatakan bahwa jika orang berakal senang bahkan berambisi mengenal tokoh idolanya, maka yang lebih berhak untuk diperjuangkan adalah mengenali idola para pembesar dunia yang diangkat derajatnya oleh Allah diatas makhluk yang lain. Sosok  Rasulullah sulit dilukiskan dengan bahasa, kata bahkan huruf apapun. Penyair menyebutkan:

وَعِشْرِيْنَ حَرْفًا عَنْ مَعَانِيْه قَاصِرُ   وَإِنَّ قَمِيْصًا خِيْطَ مِنْ نَسْجِ تِسْعَةٍ

“Sungguh jika sebuah gamis dijahit dengan perpaduan dua puluh sembilan huruf untuk mengungkap makna kepribadian Nabi, maka tidak akan terlaksana”.

Mengenali sosok Rasulullah Saw merupakan kewajiban. Tanpa pengenalan, tidak ada jalan untuk mengikutinya ajaran atau melanjutnya warisan (legacy). Kitab hadis yang juga mengenalkan kepribadian Nabi dan cukup tua di kalangan Sunni adalah kitab “Syamail Muhammadiyah” karya Imam Tirmidzi. Sedangkan kitab rangkuman yang mengenalkan kepribadian Nabi dan paling terkenal di Nusantara adalah kitab Maulid Diba, Maulid Barzanji dan Simtud Durar.

Nabi dipenuhi dengan mukjizat dan pesona-pesona langit yang tidak ada pada manusia biasa. Misalnya, riwayat menyebutkan bahwa Nabi selalu wangi meskipun tidak menggunakan minyak wangi. Imam Muslim menyebutkan riwayat tentang cara Ummu Sulaim mengambil tetesan  keringat Rasulullah Saw dari kasur yang ditiduri beliau untuk mengambil berkah. Selain wangi, Nabi juga bersih. Selalu bersiwak ketika keluar dan memasuki rumah.

Dalam urusan kebersihan tubuh, Nabi mengajarkan kepantasan kumis, jenggot, penggunaan siwak,  lubang hidung,  kuku, rambut ketiak, rambut dan lubang kemaluan. Tentunya juga lubang telinga yang mesti dijaga, terutama bagi masyarakat non-Arab yang tidak terbiasa menutupi kepala. Nabi menyebut pembiaran bagian-bagian tersebut jangan sampai lebih empat puluh hari.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari sahabat Salman bahwa Nabi bersabda: “Keberkahan makanan adalah “wudlu” sebelum makan maupun sesudahnya”. Dalam hadis lain, wudlu dimaksud mengangdung arti cuci tangan, bukan wudlu seperti akan shalat. Nabi juga menyampaikan bahwa kehormatan seorang mukmin di hadapan Allah adalah kebersihan pakaiannya dan kerelaannya untuk mengambil bagian sedikit dari dunia.

Menggunakan pakaian bersih bukan untuk “caper” kepada manusia, melainkan kepada Allah Swt. Abu Nuaim meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah melihat kotoran di baju seorang laki-laki, kemudian Nabi berkata kepada Jabir: “apakah ada sesuatu yang membersihkan bajunya?”. Nabi tidak berkata langsung kepada yang bersangkutan agar tidak membuatnya malu.

Keistimewaan lainnya, Nabi berpandangan jeli dan melampaui batas kasat mata. Dalam Sunan al-Tirmidzi, Nabi bersabada: “Sungguh aku melihat apa yang tidak kalian lihat dan mendengar apa yang tidak kalian dengar”. Di beberapa riwayat, Nabi melihat malaikat Jibril dan malaikat-malaikat lain. Begitupun melihat sesuatu di belakang layaknya di depan.

Jika berbicara, suaranya merdu dan menjangkau seluruh jama’ah. Retorikanya memahamkan, menyentuh pikiran sekaligus perasaan. Jika suasana tegang, Nabi bercanda ringan tidak sampai ada kebohongan. Ketika bertemu anak kecil, Nabi mengajaknya bermain dan mendoakan. Nabi juga mengingatkan sahabat agar tidak banyak tertawa karena bisa mematikan hati. Nabi bergaul dan tawadlu dengan kalangan awam maupun terpelajar.

Di malam hari, Nabi juga menyempatkan diri keluar rumah melihat kondisi sahabat dan mendengar  bacaan al-Qur’an mereka. Nabi tidak suka merepotkan, mengurusi sendiri urusan pribadi sebagai bentuk ketawadluan seperti menjahit baju, memperbaiki rumah, mengendarai keledai (bukan kuda), membantu pekerjaan istri selama belum memasuki waktu shalat dan sebagainya. Sesuai dengan riwayat bahwa Nabi memilih status sebagai “Nabi yang budak” bukan “Nabi yang raja”.

Saat bicara, terkadang mengulangi perkataan hingga tiga kali agar dipahami. Pidato Nabi sangat menjiwai, tidak membingungkan dan tidak pula membosankan. Nabi tidak membebani umatnya untuk menghafal kebanyakan hadis yang disampaikan, tetapi menjanjikan syafaat dan persaksian di hari kiamat bagi yang menghafal empat puluh hadis.

Isi pidato Nabi menjangkau semua lapisan akal. Akal Nabi merupakan akal terunggul dibanding akal manusia lain. Ketika menjawab pertanyaan Sayidina Ali tentang hakekat Sunnah, Nabi menjawab; “hakekat Sunnah adalah akal yang sempurna”. Syekh Sirajuddin menyebut akal yang sempurna merupakan dasar tumbuhnya prilaku terpuji, skiil keahlian, macam-macam keutamaan dan juga keengganan untuk berbuat tercela. Meskipun diberi anugerah kenabian, kerasulan, al-Qur’an penuh ilmu dan hikmah serta akal dan rasionalitas bahasa, Nabi tidak terlena, jumawa apalagi “gila” (lupa diri). Al-Qur’an menegaskan :

وَمَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبُّكَ بِمَجْنُوْنَ.

Sebagai teladan kesuksesan, Nabi memperingatkan umat agar menjauhi prasangka buruk, rasa malas dan segera melakukan hal bermanfaat baik untuk agama maupun dunia, terutama dalam mencari ilmu. Memperingatkan agar mempertimbangkan dampak apa yang akan dilakuan, termasuk kompetisi duniawi. Al-Qur’an memerintahkan persaingan dalam kualias bukan kuantitas.

Dalam konteks perang Badar, Nabi mengutus kepercayaannya;  Sahabat Ali bin Abi Thalib, Zubeir dan Saad bin Malik untuk mencari tau kekuatan atau jumlah pasukan musuh yang dalam hal ini juga kompetitornya. Kabar tentang lawan harus didapatkan baik dengan cara mempelajari situasi atau mengumpulkan informasi.

Dengan kata lain, Nabi mengajarkan cara berfikir realistis dalam perjuangan tanpa menyepelekan sikap tawakkal (pasrah) setelah berusaha atau mengambil keputusan. Dalam melakukan interaksi politik sekalipun, Nabi jeli membedakan tingkatan-tingkatan pengaruh sosok yang diajak bicara, disamping  kalem dan tidak agresif. Selain tegas dan sabar menanggung godaan orang-orang musyrik, Nabi juga sosok pemaaf.

Dalam hal keilmuan, Nabi tidak bisa diukur kecuali oleh Allah. Dalam kitab Shahihain, Nabi mengakui maqomnya; “Sesungguhnya yang paling bertaqwa dan paling berilmu (mengenal Allah) adalah Saya”. Jauh hari, Nabi telah dibelah dadanya oleh Malaikat untuk dibersihkan dan diisi ilmu ketika  masih berusia 10 tahun. Oleh karena itu, profil dan kepribadian Nabi agung, indah dan sempurna tidak habis-habis untuk digali dan diteladani. Waalahu A’lam.

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …