aliran filsafat islam
aliran filsafat islam

Mengenal Peripatetisme, Iluminasionisme, dan Filsafat Hikmah

Filsafat Islam, yang menjadi khazanah pengetahuan dalam peradaban Islam,memiiki beberapa nama aliran yang berbeda satu sama lain. Berikut ini dijelaskan secara singkat tentang perbedaan karakter dan tipologi aliran-aliran tersebut.

Pertama, peripatetisme (massya’iyyah). Berasal dari bahasa Yunani “peripatetos” yang artinya berjalan-jalan, sehingga diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi massya’iyyah, dari kata masya. Istilah ini mengacu pada metode Aristetoles dalam mengajar murid-muridnya dengan berjalan sambil mengamati semua hal yang dijumpai dalam perjalanannya.

Istilah “peripatetos” juga dipakai untuk menyebut komunitas filosofis yang dibentuk oleh Aristetoles sekembalinya dari Athena pada tahun 335 BC. Di antara filosof muslim yang dikategorikan dalam Peripatetisme adalah al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Rusyd.

Kedua, Iluminasionisme (ishraqiyyah). Berasal dari kata ishraq yang berarti pencahayaan dan bisa juga dianalogkan dengan kata masyriq, yang berarti timur. Jadi kata ashraqa berarti terbit, bersinar, berseri-seri, terang karena disinari dan menerangi. Terminologi ini dipakai pertama kali oleh Suhrawardi dengan meminjam dari istilah yang akrab dalam tradisi tasawuf.

Suhrawardi mengadopsi istilah ini menjadi konsep bagi aliran yang dicetuskannya dengan argumen: pertama, untuk membedakan dengan corak pemikiran filsafat yang sudah ada, yaitu massya’iyyah, karena dalam filsafatnya ada concern terhadap aspek intuitif; kedua, sesuai dengan simbolisme cahaya yang dipakainya untuk menjelaskan problem-problem logika, epistemologi, fisika dan metafisika.

Ketiga,  filsafat hikmah atau disebut juga dengan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyah. Istilah al-Hikmah al-Muta’aliyah terdiri dari dua istilah, yaitu al-hikmah (yang dalam perspektif ini merupakan kombinasi dari filsafat, iluminasionisme, dan sufisme) dan al-muta’aliyah (yang berarti tinggi, agung, atau transenden). Pelopor dari filsafat hikmah ini adalah Sadruddin Syirazi (Mulla Sadra).

Sadra sendiri sebenarnya tidak menyatakan secara eksplisit bahwa al-Hikmah al-Muta’aliyah adalah nama dari aliran filsafatnya. Penyebutan istilah tersebut di dalam tulisan-tulisannya, yaitu al-Hikmah al-Muta’aliyah maupun al-Syawahid al-Rububiyyah, lebih dikaitkan kepada judul karyanya, bukan pada nama aliran filsafatnya.

Murid-murid Sadra-lah, baik langsung maupun tidak, yang menjadikannya terkenal untuk menggambarkan aliran filsafatnya. Tokoh yang dengan penuh semangat menjelaskan alasan penggunaan istilah tersebut sebagai nama dari aliran filsafat Sadra adalah Mulla Hadi Sabzawari (1212-1296 H/1797-1878 M), seorang filosof dan mistikus terbesar Persia pada abad ke 13 H/19 M.

Metode Burhani

Meski ketiga aliran di atas memiliki perbedaan karakteristik, namun memiliki kesamaan dalam hal metode, yang dengannya menunjukkan pula berbeda dengan pendekatan teologi. Filsafat Islam menggunakan metode demonstrasional (burhani), melalui apa yang dipercayai dan disepakati secara umum sebagai premis-premis kebenaran; sedangkan teologi menggunakan metode dialektik (jadali), berangkat dari pemahaman baik-buruk yang didasarkan pada kebenaran keagamaan.

Metode burhani berasal dari Aristoteles, khususnya dalam karyanya Organon, meskipun terminologi yang digunakan berbeda. Aristetoles menyebutnya dengan metode analistis (tahlili), yaitu menguraikan pengetahuan sampai ditemukan dasar dan asal-usulnya. Alexander Aphrodisi, murid Arstetoles, memakai istilah logika atau mantiq, dan ketika masuk ke dunia Islam berganti menjadi burhani.

Metode burhani mengandalkan apa yang lazim dikenal sebagai mantiqiyah (logika-silogisme), yang di dalamnya terdapat beberapa unsur. Pertama, tamsil (representasi), suatu perbandingan dan persamaan, yang berfungsi untuk memudahkan penyempaian, karena sukar memberikan pengetahuan yang tepat. Contoh, menjelaskan laki-laki dengan menggambarkan bentuk manusia yang memiliki jenggot. Al-Kindi menyebutnya sebagai metode inderawi.

Kedua, istiqra’ (induksi), pengambilan konklusi dari bagian-bagian untuk mengukuhkan hukumnya secara general. Contoh, Andi adalah manusia, manusia pasti mati, maka Andi pasti mati.

Ketiga, qiyas ‘aqli (analogical reasoning), bentuk pengambilan kesimpulan dengan membandingkan persamaan antara yang belum diketahui dan selanjutnya disimpulkan. Contoh, film porno membahayakan masyarakat, dan apa yang membahayakan masyarakat wajib diberantas, maka film porno wajib diberantas (qiyas khitabi, analogi retorika).

Selain mantiqiyah, ada juga ta’wil, yaitu pengambilan kongklusi dengan cara mengeluarkan indikasi lafadz (dalalah lafadz) dari pemaknaannya yang hakiki kepada bentuk kiasan (majazi). Contoh, mena’wilkan lafadz tangan Allah dengan kekuasaan Allah.

Bagikan Artikel ini:

About Ali Usman

Pengurus Lakpesdam PWNU DIY

Check Also

kemerdekaan palestina

Gilad Atzmon dan Pandangannya tentang Kemerdekaan Palestina

Gilad mendukung penuh “hak pulang kampung” rakyat Palestina dan “solusi negara tunggal” bagi penyelesaian konflik yang sudah berlangsung lama itu.

asmaul husna

Kearifan Sufi dan Terapi Asmaul Husna

Menjadi seorang sufi, atau menjalankan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari adalah sebuah tantangan. Dikatakan demikian, …