al ghazali ibnu rusyd
al ghazali ibnu rusyd

Menghidupkan Hikmah Perdebatan Al-Ghazali-Ibnu Rusyd

“Hati punya logika yang tidak dikenal oleh logika”, sebuah ungkapan bijak yang menarik direnungkan sejak era modern hingga post-modern saat ini. Al-Ghazali menggambarkan suara agama tertinggi pada intusi, bukan akal dan emosi. Modernitas dengan rasionalitasnya telah menantang umat beragama untuk tetap normatif dalam kehidupan, disamping memahami logika hati atau nalar irfani dalam bersikap dan membuat pertimbangan sebijak mungkin. Terlebih di era post-modern yang identik tidak mengenal kemapanan segala hal, logika hati diperlukan sebagai “gas” umat beragama untuk bisa maju dan lebih baik sekaligus “rem” untuk tetap istiqomah di jalan yang benar hingga ajal menjemput.

Berbeda dari pengalaman al-Ghazali, Ibnu Rusyd sebagai sosok yang dikenal kecenderungannya pada  intelektualisme, perumusan logika rasional dan logika dialektis menolak segala apa yang berada di luar nalar rasional-filosofis terutama keberadaan ilmu-ilmu yang didasarkan pada sumber intuisi, ilham dan  kemampuan spiritual. Dirinya  menolak untuk mengakui ilham dan ketersingkapan hati (kasyf) sebagai sumber ilmu, bahkan ekspresinya nampak dengan seringnya merendahkan pendapat-pendapat al-Ghazali dalam polemik ini sebagaimana isi kitabnya “Tahafut Tahafutil Falasifah” yang membantah kitab al-Ghazali; “Tahafutul Falasifah”.

Zakariya Bashir Imam (2010) seorang ilmuwan Sudan dan Guru Besar Logika dan Filsafat Islam melalui bukunya “Metodologi Ilmiah dalam al-Qur’an” menyebut tidak hanya al-Ghazali yang dipersoalkan panjang lebar oleh Ibnu Rusyd melalui kritik dan penilaiannya, melainkan juga tokoh-tokoh Sufi dan Kalam (teologi) seperti Syiah, Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Anehnya, Ibnu Rusyd mengaku belum menela’ah literatur yang memadai terkait firqoh-firqoh (aliran) tersebut karena belum masuk ke Andalusia, dan dengan tanpa tela’ah, berani membantah pandangan mereka semua dengan tuduhan bahwa firqoh tersebut hanya ekspresi retorika dan perdebatan semata, disamping tidak memenuhi mayoritas syarat logika dialektis.

Ibnu Rusyd merasa telah sampai pada titik kesimpulan dalam pencarian hakekat kebenaran melalui dalil-dalil logika dialektis, terutama dalil yang dipromosikan oleh Aristoteles hingga memujinya “mati-matian” sebagai derajat manusia paling tinggi yang diberi keutamaan langsung oleh Allah Swt. Lantaran ketakjubannya yang tidak masuk akal kepada Aristoteles, Ibnu Rusyd menjadi lupa dengan dalil-dalil al-Qur’an yang berbicara keilmuan secara gamblang misalnya ilmu kitab, pengetahuan dan ilmu Allah yang tidak terbatas serta ilmu laduni yang dianugerahkan oleh Allah untuk para Nabi dan Rasul serta hamba-hamba pilihannya.

Dengan kata lain, Ibnu Rusyd sebagai sosok Filosof Cordova dan Penghulu Para Hakim Andalusia (Spanyol) yang bermadzhab Maliki terlena oleh filsafat Aristoteles dan melalaikan pesan-pesan al-Qur’an. Padahal sebelum menjadi Mu’tazilah, Ibnu Rusyd merupakan Teolog Asy’ariyah, Da’i Sunni dan Sufi. Selain lalai dengan pemikiran al-Ghazali, Ibnu Rusyd juga lalai dengan sikap Ibnu Thufail, koleganya sendiri yang juga Filosof Andalusia dimana Ibnu Thufail membenarkan adanya akal yang sifatnya melampaui batas dunia indrawi dan kekuatan samarnya berada di balik alam nyata.

Ibnu Rusyd memandang bahwa “akal burhani” (nalar dialektika) meskipun telah sampai pada tingkatan paling tinggi tetap memiliki batas karena akal tidak bisa melampaui batas dirinya sendiri. Padahal “akal rabbani” (ketuhanan) atau logika hati yang tersinari bisa mengenal dan menembus logika akal dan tidak berlaku sebaliknya. Padahal hati yang tercerahkan menjadikan akal tersinari, berbeda jika akal tercerahkan maka tidak secara otomatis hati ikut tersinari. Hal ini dibuktikan dengan fenomena kehidupan orang-orang yang dekat dengan Tuhan, akalnya cerdas serta pemikirannya cemerlang.

Dalam hal ini, al-Ghazali mencoba menempuh jalur lain dalam pencarian kebenaran setelah mengalami krisis pemikiran akibat terpaan keraguan akut, yaitu jalur logika hati atau tarekat. Dalam kitabnya al-Munqidz min al-Dlolal, al-Ghazali yang awalnya berpegang pada prinsip logika dialektis, mulai mempertanyakan struktur nalar logika itu sendiri yang ternyata pada akhirnya harus kembali berpegang pada konsepsi/definisi, prinsip non-argumentatif/aksioma dan persepsi umum/common sense seperti fakta “sebagian lebih sedikit dari keseluruhan”, “sesuatu tidak mungkin bergerak dan diam bersamaan”,  “dua ditambah dua sama dengan empat” dan seterusnya. Al-Ghazali  mengaku bahwa rahmat Allah telah menyelamatkan dirinya dari kebingungan sofistikasi dan kerancuan berfikir hingga akhirnya dipertemukan dengan kebenaran yang pasti dan tak terbantahkan. Menurutnya, bagaimana mungkin pernyataan pertama yang telah menjadi persepsi umum dan dijadikan premis atau landasan argumentasi logis dipertanyakan dan dipersoalkan tiada henti hingga terbentuk mata rantai yang tidak ada ujungnya.

Pengalaman intuitif dan pengakuan al-Ghazali ini nampak diantaranya ketika menampilkan koreksi Sayidina Ali terhadap perkataan Khalifah Umar bin Khattab yang menyebut Hajar Aswad secara rasional yaitu “hanya ongkahan batu yang tidak bermanfaat dan tidak pula membahayakan”, Sayidina Ali langsung menegur dan menyampaikan bahwa hajar aswad ada manfaatnya dan hitamnya yang pekat (gosong) merupakan bukti pengistimewaan Allah kepada Ahlul Bait sebagaimana diriwayatkan oleh al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin, bab Haji. Dalam kaitan ini, Prof. Zakariya Bashir Imam menyatakan bahwa Rasulullah Saw mewariskan ilmu-ilmu bathin yang berhubungan dengan logika hati, laduni dan kasyaf kepada Ali bin Abi Thalib, kemudian putranya Muhammad bin al-Hanafiyah dan Imam Ja’far al-Shadiq. Dirinya dalam pewarisan tersebut menyebut Muhammad bin al-Hanafiyah bukan Imam Hasan dan Imam Husein dengan alasan keduanya dianggap lebih banyak terjun dalam urusan politik menghadapi kubu Mu’awiyah yang memiliki agenda politik menghilangkan pengaruh Ali bin Abi Thalib di kalangan masyarakat luas demi meraih dan mewariskan khilafah atau kekuasaan.

Selain itu, fakta sejarah menyebutkan bahwa Nabi Musa yang jelas merupakan Rasul dan bahkan kelas Ulil Azmi yang istimewa di kalangan Rasul lainnya merasa butuh mencari taman orang  shaleh, dalam hal ini Nabi Khidhir untuk belajar logika hati walaupun harus memenuhi semua persyaratan yang diminta dengan terpaksa, lantas bagaimana mungkin seorang Ibnu Rusyd lalai dengan pesan-pesan al-Ghazali tentang ilmu laduni, ilmu kasyf dan rahasia-rahasia Asmaul Husna yang menggerakkan materi, energi, ruang dan waktu. Bagaimana pula Ibnu Rusyd menyelisihi sahabat sekaligus gurunya Ibnu Thufail yang telah mengantarkannya menjadi sosok dipercaya oleh Khalifah Dinasti Muwahhidin Andalusia untuk menjadi dokter dan penasehat di Istana Kerajaan, Cordova.

Sosok Ibnu Rusyd memang sosok pemberani, inspirator Barat dan pemikir yang unik di kalangan muslim meskipun tidak lepas dari kritik dan koreksi, serta menjadi pelajaran generasi muslim saat ini untuk menjadi pencetak sejarah masa depan; bukan dengan menjadi Ibnu Rusyd kedua bukan pula menjadi al-Ghazali kedua. Tentunya, dengan menjadi “diri sendiri”.

 

Bagikan Artikel ini:

About Ribut Nurhuda

Penasehat PCI NU Sudan

Check Also

Imam Syafii

Maksud Imam Syafi’i Sebagai “Penolong Hadist”

Imam Syafi’i merupakan ulama yang tidak asing di telinga masyarakat muslim Indonesia. Selain  pendiri salah …

spanyol dan afrika

Perkembangan Madzhab Maliki di Spanyol dan Afrika Utara

Masyarakat Afrika Utara secara umum mengikuti madzhab Maliki. Di Sudan, madzhab ini tersebar dengan pesat …