Dalam banyak buku sejarah diuraikan bahwa tasawuf telah mulai berperanan dalam penyebaran Islam sejak abad ke-12 M. Peran tasawuf kian meningkat pada akhir abad ke-13 M dan sesudahnya, bersamaan munculnya kerajaan Islam pesisir seperti Pereulak, Samudra Pasai, Malaka, Demak, Ternate, Aceh Darussalam, Banten, Gowa, Palembang, Johor Riau dan lain-lain.
Itu artinya Wali Sanga yang sangat berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya Tanah Jawa, mempunyai andil yang besar dalam mengajarkan tasawuf kepada masyarakat.
Pada abad ke-12 M, peranan ulama tasawuf sangat dominan di dunia Islam. Antara lain disebabkan pengaruh pemikiran Islam al-Ghazali (wafat 111 M), yang berhasil mengintegrasikan tasawuf ke dalam pemikiran keagamaan madzab ahlu sunnah wal jamaah menyusul penerimaan tasawuf di kalangan masyarakat menengah. Ini juga berlaku di Indonesia, sehingga corak tasawuf yang berkembang di Indonesia lebih cenderung mengikuti tasawuf yang diusung oleh al-Ghazali, walaupun tidak menutup kemungkinan berkembang tasawuf dengan corak warna yang lain.
Menurut Abdul Hadi W. M, kitab tasawuf yang paling awal muncul di Nusantara ialah Bahar al-Lahut (lautan Ketuhanan) karangan `Abdullah Arif (w. 1214). Isi kitab ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang wujudiyah Ibn `Arabi dan ajaran persatuan mistikal (fana) al-Hallaj.
Hal itu menunjukan bahwa bahwa disamping tasawuf Sunni juga berkembang tasawuf falsafi di masyarakat, sehingga sejarah mencatat di samping Wali Sanga sebagai pengusung tasawuf sunni juga muncul Syekh Siti Jenar sebagai penyebar tasawuf falsafi dengan ajaran manunggaling kawula gusti.
Wali Sanga sebagai figur agamis menjadi simbol kesalihan masyarakat pada saat itu, sehingga apa yang dilakukan oleh para wali menjadi contoh yang baik bagi masyarakat. Dalam kehidupan Wali Sanga mengembangkan sikap hidup sederhana, tidak berlebih-lebihan, peduli terhadap fakir miskin, bahkan menjadi pelopor dalam memberantas kemiskinan dan kebodohan.
Dalam memilih tempat tinggal, Wali Sanga lebih memilih tempat terpencil, mereka lebih suka hidup di gunung dan perkampungan daripada di perkotaan. Hal ini sesuai dengan salah satu ajaran tasawuf yang disebut dengan ‘uzlah (mengasingkan diri).
Pada masa Sunan Giri ajaran tasawuf diadopsi menjadi norma yang harus dipegang oleh masyarakat, di antara isi dari norma tersebut adalah meper hardaning pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu) heneng- hening-henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita -cita luhur). Mulyo guno panca waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu).
Wali Sanga juga mengajak masyarakat untuk selalu berzikir mengingat Allah SWT dan menumbuhkan kesadaran kehambaan, yang dikemas dalam bentuk karya seni sesuai dengan budaya setempat, seperti tembang “Tombo Ati”, tembang “Lir Ilir”, “Suluk Wijil” yang dipengaruhi kitab Al Shidiq, perseteruan Pandawa-Kurawa yang ditafsirkan sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan) dan lain-lain.
Di antara ajaran yang disampaikan Syekh Siti Jenar adalah ajaran “Sangkan Paraning Dumadi” artinya asal dari segala ciptaan. Menurut Syekh Siti Jenar bahwa pangkal dari segala ciptaan adalah Dzat Wajibul Wujud yang tak terdefiniskan yang diberi istilah “awang uwung” (ada tetapi tidak ada, tidak ada tetapi ada) yang keberadaannya hanya mungkin ditandai oleh kata “tan kena kinaya ngapa” yang disebut dalam Al-Qur’an “laisa kamitslihi syaiun” artinya “tidak bisa dimisalkan dengan sesuatu”. Inilah tahap Ahadiyah. Dari keberadaan Yang Tak Terdefinisikan itulah Dzat Wajibul Wujud. Yang Tak Terdefinisikan mewahyukan Diri sebagai Pribadi Ilahi yang disebut Allah. Inilah tahap Wahdah di mana Yang Tak Terdefinisikan mewahyukan diri menjadi Rabbul Arbab.
Dengan pandangan itu konsep keesaan (tauhid) Ilahi yang diajarkan Syekh Siti Jenar tidak bisa disebut wahdatul wujud, karena di dalam doktrinnya disebutkan bahwa “Dia Yang Esa sekaligus Yang Banyak (al-wahid al katsir), Dia adalah Yang Wujud secara bathin dan Yang Maujud secara dhahir, sehingga disebut Yang Wujud sekaligus Yang Maujud (Ad-Dhahir Al Bathin)”.
Ajaran Syekh Siti Jenar pada akhirnya memicu kontroversi. Pertama, menganggap Syekh Siti Jenar sesat, dengan alasan ajaran tasawufnya telah tercampuri ajaran filsafat, yang mengatakan bahwa makhluk itu merupakan pancaran dari sang Khalik (teori emanasi), sehingga dia berani menyatakan diri sebagai tuhan karena dirinya mewarisi sifat-sifat tuhan.
Kedua, menganggap Syekh Siti Jenar tidak sesat, dengan alasan ajaran Syekh Siti Jenar lebih memberikan tekanan pada filsafat ketuhanan dan filsafat kebenaran dengan kata lain bukan lagi berhenti pada tataran syariat, tetapi telah melangkah pada tataran yang lebih tinggi yakni hakekat.
Namun demikian, lepas dari itu, tampak jelas bahwa ajaran tasawuf dan kaum sufi turut berkontribusi dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah