kubah masjid berlafaskan allah 200826174728 473
kubah masjid berlafaskan allah 200826174728 473

Menjelaskan Maksud “Tidak Ada Hukum Kecuali Hukum Allah”

Di awal sekali perlu ditegaskan, siapapun tidak boleh berkata, “Ini hukum Allah” di ranah hukum yang sifatnya ijtihadi. Sebab di wilayah ini sifatnya probabilitas, bisa salah bisa benar. Terkadang seseorang dengan mudah mengklaim ini hukum Allah dan seolah-olah selalu mewakili Tuhan di muka bumi.

Imam Syafi’i sendiri sangat hati-hati terkait hukum yang sifatnya ijtihadi yang dalilnya dhanni (memiliki kemungkinan makna lebih dari satu). Dalam Al Um, beliau biasanya memakai kalimat “la ba’sa” (tidak masalah), “la Khaira Fihi” (tidak baik) dan kalimat sejenis sebagai bukti kehati-hatian beliau.

Penegasan kata bahwa ini adalah hukum Allah hanya boleh dipertegas pada wilayah yang kepastiannya telah disepakati oleh para ulama salaf dan diketahui secara umum oleh umat Islam, ma’lumun min al Din bi al Dharurah. Tegasnya, hanya yang berpijak pada dalil-dalil qath’i yang boleh dipastikan sebagai hukum Allah. Seperti wajibnya shalat, puasa, zakat dan haji.

Karenanya, ulama salaf, terlebih imam madzhab, tidak pernah memvonis ijtihad ulama yang lain sebagai suatu kesalahan. Mereka mesra dengan “Ikhtilaf” yang ada, dan hanya memberikan argumentasi dari pendapatnya masing-masing. Tidak lebih dari itu. Tidak mencela, apalagi mengkafirkan. Karena mereka paham betul apa itu dalil qath’i dan dalil dzanni.

Sikap toleran menyikapi perbedaan hukum ijtihadi ini sesuai dengan firman Allah, “Janganlah kalian mengatakan terkait apa yang disebut-sebut oleh lisan kalian secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung”. (al Nahl: 116).

Nabi juga pernah mewanti-wanti sahabatnya yang bernama Buraidah supaya tidak mengatakan “ini hukum Allah” pada ranah hukum ijtihadi. Cukup mengatakan siapa merumuskan hukumnya. Dalam konteks hari ini cukup mengatakan, menurut Imam Malik begini, Imam Syafi’i pendapatnya seperti ini, dan seterusnya.

Umar bin Khattab, salah seorang sahabat dekat Nabi, sangat mengerti dan luas pengetahuannya tentang hukum Islam karena belajar dari Nabi langsung masih sangat berhati-hati. Beliau melarang sekretarisnya untuk mencatat ijtihadnya sebagai hukum Allah. Cukup ditulis, “ini ijtihad Umar bin Khattab“.

Oleh karena itu, ujaran-ujaran yang biasa kita jumpai hari ini, sikap menyalahkan, memvonis bid’ah, dan kadang sampai mengkafirkan, padahal kasusnya sangat ijtihadi, sangat jauh  dari teladan Nabi, sahabat, dan akhlak para ulama salaf.

Kesimpulannya, boleh bahkan wajib mengatakan “ini hukum Allah” pada wilayah qath’i. Tapi tidak boleh diranah ijtihadi. Maka salah besar kalau kemudian kalimat “la hukma Illa lillah” dipakai untuk pengabsah hukum yang sifatnya ijtihadi dan seolah-olah hanya pendapat itu yang benar.

Bagikan Artikel ini:

About Khotibul Umam

Alumni Pondok Pesantren Sidogiri

Check Also

sirah nabi

Pesan Nabi Menyambut Ramadan

Bulan Ramadan, atau di Indonesia familiar dengan sebutan Bulan Puasa, merupakan anugerah yang diberikan Allah …

imam ahmad bin hanbal

Teladan Imam Ahmad bin Hanbal; Menasehati dengan Bijak, Bukan Menginjak

Sumpah, “demi masa”, manusia berada dalam kerugian. Begitulah Allah mengingatkan dalam al Qur’an. Kecuali mereka …