tafsir surat al fatihah ayat 5 7
tafsir surat al fatihah ayat 5 7

Tafsir Surah al-Fatihah Ayat 5-7 : Jalan Kepasrahan Meraih Nikmat Allah

Berikut adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya tentang tafsir surah al-Fatihah ayat 5-7.


Memasuki ayat kelima pada surah al-Fātiẖah, pada tulisan yang lalu kita dikenalkan kepada siapa kita harus mensyukuri segalanya dan menyembah. Menyembah kepada dzat yang memberikan sifat ar-raẖmān dan ar-raẖīm-Nya. Menyembah kepada penguasa hari kiamat atau hari pembalasan.

Penulis ingin mengingatkan kembali betapa agungnya hakikat surah al-Fātiẖah ini. Menurut Syaikh Bahauddin Nursalim ar-Rimbangi, pada ayat kesatu sampai ayat keempat jika seorang hamba memaknai dan meresapi lafadz alẖamdulillāh dengan pakem yang kuat, akan menumbuhkan ‘ishq (rindu). Rindu akan Tuhan yang merahmati hamba-Nya dan ingin mencurahkan rasa kerinduan itu (maqām khudhur).

Maqām khudhur ini diekspresikan lewat redaksi ayat kelima:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” [Q.S. al-Fātiẖah: 5]

Kepasrahan Total

Dalam kitab Tafsīr Alqur’ān Al-‘Adzīm karangan Ibnu Katsir, lafadz iyyāka na’budu menunjukkan makna berlepas diri dari segala kemusyrikan, sedangkan iyyāka nasta’īn menunjukkan makna berlepas diri dari upaya dan kekuatan serta berserah diri kepada Allah Swt. sepenuhnya.

Pada redaksi ayat ini, Syaikh Musthofa Bisri menjelaskan bahwa Allah sebagai pihak kedua. Ayat ini berisi keharusan untuk beribadah. Dengan melakukan apa yang diperintah oleh Allah Swt. Ibadah tidak bisa jika tidak ditolong oleh Allah Swt. Na’budu manifestasi syariat, nasta’īn sebagai hakikat. Jadi, hakikat ibadah itu karena ditolong oleh Allah Swt. 

Pada dua ayat tersebut sebenarnya mengajarkan kepasrahahan total seorang baik dalam beribadah dan memohon. Totalitas kepasrahan itulah sebenarnya yang menunjukkan jati diri umat Islam yang sejati.

Mencari Petunjuk

 اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus” [Q.S. al-Fātiẖah: 6]

Bacaan yang dilakukan oleh jumhur ulama ialah ash-shirāth dengan memakai shad. Tetapi ada juga yang membaca sirāth dengan memakai sin, ada juga yang membacanya zirāth dengan memakai za, menurut Al-Farra ini berasal dari dialek Bani Udzrah dan Bani Kalb.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, petunjuk atau bimbingan dari Tuhan bisa diartikan ‘hidayah’. Ayat ini sangat berkaitan erat dengan hidayah. Ibnu Katsir berpendapat bahwa al-hidayah atau hidayah yang dimaksud dalam ayat ini ialah bimbingan dan taufik (dorongan).

Quraish Shihab dalam Tafsīr al-Mishbāẖ, membagi petunjuk menjadi tiga:

  1. Petunjuk terbatas pada naluri. Terbatas pada penciptaan dorongan mencari hal-hal yang dibutuhkan. Naluri tidak mampu mencapai apapun yang berada di luar tubuh pemilik naluri itu.
  2. Ketika naluri kebutuhan itu ingin mencapai sesuatu yang berada di luar diri manusia, Allah menganugerahkan petunjuk kedua berupa pancaindra. Namun, betapapun tajam dan pekanya kemampuan indra manusia, seringkali hasilnya tidak menggambarkan hakikatnya.
  3. Petunjuk ketiga yaitu berupa akal. Akal yang mengoordinasikan semua informasi yang diperoleh indra, kemudian membuat kesimpulan-kesimpulan yang sedikit atau banyak dapat berbeda.

Mengenai kalimat shirāth al-mustaqīm, Imam Abu Ja’far Ibnu Jarir semua kalangan ahli takwil telah sepakat yang dimaksud dengan shirāth al-mustaqīm ialah “jalan yang jelas lagi tidak berbelok-belok (lurus)”. Dan diriwayatkan pula yang dimaksud shirāth yaitu kitābullāh alias Alquran. Ats-Tsauri juga berpendapat shirāth al-mustaqīm adalah Alquran. Berdasarkan hadits Rasulullullah Saw. :

اَلصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ كِتَابُ اللهِ

Ash-shirāth al-mustaqīm adalah Kitabullah”

Sedangkan Adh-Dhahhak memaknai shirāth al-mustaqīm adalah al-islām (agama Islam). Ini juga sejalan dengan pendapat Ibnu Al-Hanafiyyah dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam. Bisa kita tarik kesimpulan, petunjuk atau hidayah yaitu agama Islam dan perangkatnya yaitu berpegang kepada kitab-Nya (Alquran).

Interpretasi Nikmat

Allah Swt. berfirman:

صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“(yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”. [Q.S. al-Fātiẖah: 7]

Kata ni’mah/nikmat yang dimaksud oleh ayat terakhir surah al-Fātiẖah ini adalah nikmat yang paling bernilai, yang tanpa nikmat itu, nikmat-nikmat yang lain tanpa ada artinya.

Firman Allah “shirāth alladzīna an’amta ‘alaihim berkedudukan menafsirkan makna shirāth al-mustaqīm. Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa orang-orang yang memperoleh anugerah nikmat dari Allah Swt. adalah mereka yang disebutkan di dalam Q.S. an-Nisā’ayat 69.

Abu Ja’far Ar-Razi memaknai shirāth alladzīna an’amta ‘alaihim adalah para nabi. Sedangkan Ibnu Juraij, yang dimaksud dengan “mereka” adalah orang-orang beriman. Pendapat lain dari Waki’, yang dimaksud “mereka” yaitu orang Muslim.

Ghair al-maghdhūbi ‘alaihim” (bukan ‘jalan’ mereka yang dimurkai). Mereka adalah orang-orang yang telah rusak kehendaknya; mereka menyimpang dari jalan Allah. “Wa lā adh-dhāllīn” (bukan pula jalan mereka yang sesat). Mereka yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak berilmu (agama), kemudian mereka menuju arah kesesatan tanpa mendapatkan hidayah.

Wallāhu a’lam

Bagikan Artikel ini:

About Mubarok ibn al-Bashari

Mahasiswa Pasca Sarjana UNUSIA

Check Also

palestina israel

Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 4-5: Kezaliman Bani Israel dan Janji Allah Bagi Palestina

Peristiwa yang sangat tidak manusiawi terjadi kepada saudara-saudara kita di Palestina. Di saat melaksanakan kekhusyukan …

al-quran

Jika Salah Tafsir Surah al-Fath Ayat 29: Keraslah Terhadap Sifat Kafir

Surah al-Fath turun saat peristiwa Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah merupakan peristiwa yang begitu fenomenal. Dimana …