Manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, memiliki kecerdasan yang luar biasa dan kemuliaan yang tiada tara. Manusia mampu mencapai derajat tertinggi, bahkan melebihi malaikat yang paling mulia. Di satu sisi manusia memiliki sifat bejat yang luar biasa, keserakahan, kerakusan, buas bahkan mengalahkan binatang yang paling buas sekalipun. Itulah kompleksitas manusia dari dua kutub yang saling berseberangan.
Oleh karena itu, keimanan yang bersarang dalam kalbu manusia bersifat fluktuatif, membentuk kurva yang sangat variatif. Berbeda dengan para malaikat yang mempunyai keimanan dengan standar lurus sejak diciptakan, selalu taat perintah dan tak pernah durhaka. Kurva keimanan manusia akan naik setinggi-tingginya dan juga bisa turun drastis ke level titik nadir terendah.
Dengan keserakahan dan kerakusannya, manusia akan mengekploitasi apapun yang menjadi kehendaknya. Ia tak lagi peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan demi menggapai hasratnya. Demi sebuah obsesi keserakahan, kecintaan dalam mengejar harta kekayaan, mega produksi, kedudukan, penganut, ia rela mengorbankan apapun, meski harus menabrak nilai-nilai budaya dan agama.
Masih segar dalam ingatan dan sejarah mencatat bahwa kompleks Makam Mbah Priuk pernah menjadi pusat sengketa dan konflik. Konflik itu pecah akibat sengketa antara ahli waris makam dengan PT Pelindo II. Ahli waris mengklaim kepemilikan tanah dengan mendasarkan pada Eigendom Verponding (surat tanah zaman kolonial) nomor 4341 dan nomor 1780 di lahan seluas 5,4 hektare. Sedangkan status tanah tersebut berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara 5 Juni 2002 adalah milik PT Pelindo II. Hal ini sesuai dengan hak pengelolaan lahan (HPL) Nomor 01/Koja dengan luas 145,2 hektare. (https://www.cnnindonesia.com/nasional).
Fenomena Mbah Priuk hanyalah satu dari banyak kasus yang terjadi dan bukan tidak mungkin akan terus terjadi. Lalu bagaimana fikih menyikapi penggusuran makam untuk pembangunan sebuah gedung proyek, semisal hotel, perkantoran, ataupun perumahan?
Sebagaimana telah dikaji dalam artikel sebelumnya soal pembongkaran makam, semua pakar fikih sepakat bahwa pembongkaran makam tidak diperkenankan selama masih diduga kuat tersisa tulang belulang di dalamnya. Pembongkaran dalam arti penggusuran untuk relokasi mayat hanya diperbolehkan dalam dua hal.
Pertama, penggusuran boleh dilakukan terhadap makam untuk kepentingan menguburkan mayat lain ketika terjadi keterbatasan lahan (sempit). Makam boleh dibongkar dengan alasan lahan yang tidak memadai untuk menguburkan mayat baru.
Kedua, penggusuran diperbolehkan untuk kepentingan pelebaran masjid jamik. Ketika sebuah masjid jamik sudah tidak mampu menampung jamaah dan membutuhkan perluasan, namun di area sekitar masjid yang ada hanya lahan pemakaman, maka diperkenankan menggusur makam untuk kepentingan masjid tersebut. (Wahbah Zuhalili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid II, hal. 669).
Sementara penggusuran dalam bentuk relokasi selain dua alasan tersebut ulama berbeda pendapat. Menurut golongan Malikiyah penggusuran makam untuk kepentingan pembangunan gedung atau pertanian (tanaman) tidak diperbolehkan, meskipun kondisi mayat telah hancur lebur dan menyatu dengan tanah. Alasan mereka, makam merupakan tempat kurungan khusus untuk penguburan, jika makam digusur atau mayat telah hancur menjadi debu, maka tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain, semisal bangunan atau tanaman, selain menguburkan mayat baru. (Muhammad bin Ahmad bin Arafah al-Dasuqi, Hasyiyah Al-Dasuqi ‘ala Syarkh al-Kabir, Jilid IV, hal. 200., Muhammad bin Abdullah al-Kharsyi, Syarkh Mukhtashar Khalil li al-Kharsyi, Jilid VI, hal. 7).
Pendapat senada dikemukakan oleh golongan Syafiiyah, mayat yang sudah hancur dan menyatu dengan tanah boleh digusur dan ditempati pemakaman baru, namun tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain. Terkait kehancuran mayat harus berdasarkan pengkajian tim ahli yang didasarkan terhadap perbedaan iklim daerah dan struktur tanah. (Imam Rafi’i, Al-‘Aziz Syarh al-Wajiz, Jilid V, hal. 249-250., Imam Syarwani, Hawasyi al-Syarwani wa al-‘Abbadi‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Jilid III, hal. 206).
Sedangkan menurut pendapat golongan Hanafiyah boleh menggusur makam demi kepentingan pembangunan dan bercocok tanam dengan syarat mayat yang terpendam telah hancur dan menjadi tanah, sebagaimana teks yang terdapat dalam Kitab Radd al-Mukhtar berikut ini:
إذَا بَلِيَ الْمَيِّتُ ، وَصَارَ تُرَابًا يَجُوزُ زَرْعُهُ ، وَالْبِنَاءُ عَلَيْهِ ، وَمُقْتَضَاهُ جَوَازُ الْمَشْيِ فَوْقَهُ
“Jika mayat telah membusuk hancur dan menjadi tanah, maka boleh ditanami, dibangun rumah di atasnya, dan dilewati”.
Dengan demikian, Hanafiyah membolehkan penggusuran makam untuk kepentingan proyek pembangunan dengan catatan mayat yang terkubur di area tersebut telah hancur dan lebur menjadi tanah. (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar ‘ala Durr al-Mukhtar, Jilid VI, hal. 411., Muhammad Ibnu Faramurz Ibnu ‘Ali, Durar al-Hukkam fi Syarh Ghurar al-Ahkam, Jilid II, hal. 283).
Dalam tataran praktik pendapat Hanafiyah ini agak sulit diterapkan di pemakaman dengan area yang luas dengan sayarat harus memastikan mayat yang terkubur telah hancur dan menjadi tanah, karena usia makam yang berbeda-beda dan terus-menerus bertambah. Berbeda dengan makam yang hanya terdiri dari beberapa kuburan dan terbatas, semisal makam keluarga. Oleh karena itu, penggusuran area makam untuk kepentingan mega proyek hampir tidak mungkin dan tidak mendapatkan pembenaran secara syar’i. []
Wallahu a’lam Bisshawab!
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah