kaidah ucapan
kaidah ucapan

Kaidah Fikih: Abaikan Informasi yang Tidak Masuk Akal

Dalam pembahasan kaidah sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak ada ucapan yang sia-sia, tak bermakna dan diabaikan. Semua ungkapan orang yang normal dan berakal sejatinya memiliki maksud dan objek sasaran dalam realitas, sehinga setiap kata yang berkonsekuensi hukum harus dipertanggung jawabkan. Artinya, sebisa mungkin ungkapan tersebut harus difungsikan sesuai makna yang terkandung.

Namun, jika sebuah ungkapan dan informasi tidak bisa dipaksakan untuk diarahkan pada makna hakikat ataupun majaz (metaforis),  maka dengan terpaksa memang harus diabaikan. Sebagaimana kaidah berikut ini:

اِذَاتَعَذَّرَاِعْمَالُ اْلكَلاَمِ يُهْمَلُ.

(idza ta’addzara i’mal al-kalam yuhmalu)

Artinya: “Jika sulit memfungsikan sebuah ungkapan, maka diabaikan.”

Kaidah ini berfungsi sebagai catatan bagi kaidah sebelumnya, yakni kaidah: memfungsikan ucapan lebih utama dari pada mengabaikan. Akan tetapi, jika sebuah ungkapan sudah tidak memungkinkan untuk difungsikan sesuai makna yang terkandung, baik makna hakikat maupun metafora, maka tentu harus diabaikan dan tidak diberlakukan.

Pengabaian sebuah ungkapan dikarenakan terdapat faktor yang menyebabkan sebuah kata menjadi tidak berfungsi, antara lain dikarenakan realitas berkata lain (yukaddzibuhu al-waqi’). Apa yang diucapkan dengan realita yang tampak sangat bertentangan, sehinga ungkapan tersebut menjadi sia-sia alias omong kosong, berbohong, dan dusta.

Aplikasi kaidah: ucapan Pak Rendi yang menyuruh karyawannya untuk menyerahkan sebuah rumah atau pakaian kepada salah seorang temannya tidak berkonsekuensi hukum, yakni sia-sia jika tidak disertai ungkapan yang menunjukkan bahwa barang tersebut dihibahkan atau diwasiatkan.

Seseorang yang mengaku bahwa wanita yang bersamanya adalah anaknya dengan tujuan agar mendapat bagian harta waris, padahal secara usia tidak masuk akal dan wanita itu sudah masyhur tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tersebut, menjadi omong kosong yang tak bermakna.

Pak Septa berwasiat bahwa sebagian hartanya akan diberikan kepada anak Pak Dayat, sementara Pak Dayat tidak mempunyai anak ataupun cucu, maka wasiat Pak Septa sia-sia belaka, batal.

Contoh lain, seorang anak mengaku sudah mencapai usia balig, sementara secara fisik tidak meyakinkan dan usia masih belum cukup umur. Pengakuan tersebut tidak dibenarkan dan sia-sia.

Hikmah kaidah dalam kehidupan. Pertimbangkan setiap apa yang kita dengar, baca, dan lihat. Setiap informasi harus dipertimbangkan dengan akal sehat. Di era kecanggihan teknologi ini dengan mudah segala informasi berjubel masuk dan menjadi konsumsi kita. Abaikan, jangan difungsikan dengan cara sharing dan forward kepada yang lain, jika informasi tersebut tidak masuk akal. []

Wallahu ‘alam

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …