tuhfat ar raghibin
tuhfat ar raghibin

Fikih Nusantara (17): Kitab Tuhfatu al Raghibin Karya Syeikh Husein bin Sulaiman al Jawi al Funtiani

Satu lagi warisan intelektual ulama Nusantara asal Pontianak Kalimantan Barat. Kitab fikih aliran madzhab Syafi’i yang ditulis dengan aksara Arab Jawi atau Arab Pegon berbahasa Melayu, namun disisipkan pula bahasa Arab pada bagian-bagian tertentu. Hanya pada halaman pengantar seluruhnya ditulis dengan bahasa Arab. Gaya penulisan yang sama dengan kitab Risalah Bab al Jum’ah yang telah diulas sebelumnya.

Judul lengkapnya Tuhfatu al Raghibin fi Taqlidi al Qauli bi Shihhati al Jum’ati bi Duni al Arba’in. Dalam bahasa Indonesia berarti hadiah untuk mereka yang hendak taqlid kepada pendapat yang menyatakan shalat Jum’at sah walaupun tidak mencapai jumlah empat puluh orang.

Pada halaman pembuka ditegaskan, penulisan kitab ini berawal dari permintaan para pembesar dan tokoh-tokoh agama yang ada di Pontianak. Mereka meminta beliau untuk menulis kitab yang mengulas bolehnya bertaklid kepada qaul qadim Imam Syafi’i yang menyatakan shalat Jum’at sah meskipun tidak mencapai empat puluh orang. Permintaan itu disampaikan tidak hanya sekali tapi berulangkali.

Dengan nada merendah Syaikh Husein menulis, “mungkin mereka menduga saya adalah orang yang layak dan memiliki kapasitas intelektual yang memadai untuk menyusun kitab seperti yang mereka minta, padahal saya termasuk pelajar yang lemah, ilmu dan pemahaman saya terhadap agama sangat terbatas dan jauh untuk disebut sebagai ulama. Akan tetapi, karena Allah dan berharap petunjuk dari-Nya, saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi permintaan mereka dengan harapan saya termasuk kedalam golongan ulil albab, golongan para ulama sebagai role model hamba Allah yang sesungguhnya, karena ulama adalah pewaris Nabi”.

Merendah bukan berarti tidak bisa. Beliau sangat pantas disebut sebagai ulama. Terbukti pada halam pembuka semuanya ditulis dengan bahasa Arab yang baik, memakai struktur gramatikal yang sangat fasih layaknya kitab kuning berbahasa Arab karya ulama-ulama madhab Syafi’i. Penguasaan beliau terhadap ilmu nahwu dan sharaf betul-betul sempurna.

Saya yang juga lahir dan tinggal di Pontianak menduga, permintaan untuk menulis karya ini sebagai respon terhadap kultur masyarakat muslim waktu itu. Ada sebagian masyarakat yang tinggal di dusun terpencil dan jumlah mereka relatif sedikit. Jauh dari kota, dan untuk shalat Jum’at harus menempuh jarak relatif cukup jauh.

Fenomena tersebut masih bisa dijumpai saat ini. Berjarak sepuluh kilo meter dari tempat saya tinggal, ada kampung terpencil bernama Parit Banjar yang dihuni hanya tujuh kepala keluarga, akses jalannya buruk, dan mereka shalat Jum’at di masjid tempat saya berdiam karena jumlahnya tidak mencapai empat puluh orang.

Respon terhadap kearifan lokal tersebut yang mungkin mendorong para pembesar kesultanan Kadriah Pontianak dan tokoh-tokoh agama sehingga meminta Syaikh Husein untuk menulis satu karya utuh soal sahnya shalat Jum’at meskipun kurang dari empat puluh orang.

Lahirlah kemudian kitab Tuhfatu al Raghibin ini. Kitab yang menjelaskan bolehnya bertaklid kepada qaul qadimnya Imam Syafi’i (pendapat Imam Syafi’i sewaktu berada di Irak) yang menyatakan shalat Jum’at sah meskipun jamaah tidak mencapai jumlah empat puluh orang. Sedangkan menurut qaul Jadid (pendapat Imam Syafi’i saat berada di Mesir) shalat Jum’at tidak sah apabila kurang dari empat puluh orang.

Kitab ini selesai ditulis pada hari Kamis tanggal 27 bulan Syawal tahun 1319 H di Makkah. Informasi ini tertera pada halaman penutup. Tulis Syaikh Husein, “Dengan pertolongan Allah SWT, telah selesai oleh menghimpunkan ini risalah di dalam negeri Makkah al Musyarrafah pada hari khomis pada dua puluh tujuh daripada bulan Syawwal sanah 1319 daripada hijrah Nabi SAW atas tangan hamba yang amat harap daripada Tuhannya al Ghufran, Husein bin Sulaiman al Funtiani”.

Pada muqaddimahnya membahas Ikhtilaf ulama tentang sahnya shalat Jum’at kurang dari empat puluh orang. Khususnya perbedaan pendapat para ulama khalaf dan ulama salaf  tentang boleh dan tidaknya mengamalkan qaul jadid Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa shalat Jum’at sah meskipun tidak mencapai jumlah empat puluh orang. Karena ulama beda pendapat, maka tentu boleh mengikuti salah satu pendapat. Memilih satu pendapat yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat. Artinya, memilih pendapat yang lebih maslahat untuk masyarakat muslim.

Selanjutnya, pembahasan dibuat dalam bentuk pasal seperti kitab fikih pada umumnya. Ada dua puluh pasal. Diantaranya, membicarakan qaul jadid dan qaul qadim, membahas Ikhtilaf ulama tentang keabsahan mengikuti qaul qadim, hukum mengerjakan shalat dhuhur setelah melaksanakan shalat Jum’at yang jamaahnya tidak mencapai empat puluh orang, tentang taklid dan pindah madhab, keutamaan taklid kepada qaul qadim dari pada harus loncat madhab, dan seterusnya.

Kitab setebal 16 halaman ini diakhiri dengan khatimah (penutup) yang berisi sejarah singkat empat imam madhab. Tidak lain, tujuannya hanya untuk tabarruk (mengharap berkah) kepada empat imam madhab tersebut, yakni Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Bagikan Artikel ini:

About Ahmad Sada'i

Check Also

kitab wishah al ifrah

Fikih Nusantara (32): Kitab Wisyah al Ifrah Wa Isbah al Falah Karya Muhammad bin Isma’il Daud al Fathani

Kitab berbahasa Melayu yang ditulis dengan aksara Jawi ini sekali lagi membuktikan semangat ulama-ulama Melayu …

kitab al nadlhah al hasaniyah

Fikih Nusantara (31): Kitab Al Nadhah al Hasaniyah Karya Sayyid Muhsin Ali al Musawa al Falimbani

Semakin kita membuka dan membaca karya-karya ulama Nusantara, semakin kita paham bahwa mereka telah berusaha …