halalan tayyiban
gaya hidup halal

Fikih Pangan (5): Menyembelih Hewan yang Hampir Mati

Islam menetapkan aturan dan tata cara bagaimana hewan dapat dikonsumsi dengan baik, aman, dan halal. Hewan yang mati tanpa diproses sesuai aturan syariat berstatus ilegal dan tidak halal. Oleh karena itu, Islam mengharamkan mengkonsumsi bangkai hewan. Menurut pandangan Islam, bangkai adalah hewan yang mati tidak dengan cara disembelih secara syar’i, baik mati karena sebab lain, ataupun karena disembelih, tetapi tidak sesuai prosedur syariat (bi ghairi dzakatin syar’iyyah).

Jika dikaitkan dengan klasifikasi hewan berdasarkan habitatnya, maka semua jenis hewan darat yang boleh dikonsumsi harus melalui prosedur penyembelihan secara syar’i. Meskipun terdapat sebagian ulama yang mensyaratkan hewan laut tertentu harus disembelih.

Secara substansi tidak ada perbedaan antara mati yang disebut bangkai dengan mati karena disembelih, sama-sama kehilangan nyawa, yang membedakan keduanya hanyalah proses yang menyebabkan kematian. Akan tetapi, proses itulah yang menentukan dan mengantarkan hewan berstatus halal dan haram dikonsumsi.

Syariat penyembelihan sebenarnya bertujuan untuk memelihara kesehatan dan menjaga tubuh manusia dari bakteri (hifdz al-nafs) dengan memisahkan darah dari daging. Sementara mengkonsumsi darah segar yang mengalir berdampak negatif bagi tubuh manusia karena mengandung banyak bakteri. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid III, hal. 649).

Ketika hewan dalam keadaan normal kemudian disembelih sesuai aturan penyembelihan secara syar’i, maka status daging hewan tadi sudah pasti halal dimakan. Namun, bagaimana jika penyembelihan tersebut dilakukan terhadap hewan yang sudah mendekati mati karena sebab-sebab tertentu semisal jatuh dari ketinggian ataupun sakit parah? Apakah sembelihan itu berdampak terhadap kehalalan daging hewan tersebut, ataukah tetap dihukumi bangkai? Ayat Al-Qur’an berikut ini dapat menjadi titik tolak pembahasan terkait persoalan hewan tersebut.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ..

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al-Maidah/5: 3).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa binatang yang diharamakan adalah: (1) bangkai, (2) darah, (3) daging babi, (4) hewan yang disembelih untuk persembahan berhala, atau menyebut nama selain Allah, (5) hewan yang tercekik, (6) hewan yang mendapat pukulan keras, (7) hewan yang terjatuh dari bukit, loteng, atau terjatuh ke dalam sumur, (8) hewan yang diserang atau diseruduk sesamanya, (9) hewan yang diterkam binatang buas. Akan tetapi, apakah sembelihan berlaku sebagai media menuju status halal bagi hewan-hewan yang termasuk urutan kelima terakhir, sementara kondisi sangat kritis dan memperihatinkan karena mendekati kematian?

Menanggapi hal ini ulama berbeda pendapat. Pendapat yang populer dari mazhab Syafi’iyah bahwa jika hewan ditemukan dalam kondisi masih ada tanda-tanda kehidupan, semisal ekornya masih bergerak-gerak atau kakinya menerjang-nerjang, maka boleh disembelih dan halal dikonsumsi. Pendapat ini juga sejalan dengan mazhab Hanafiyah. Jadi, menurut mendapat ini selama masih dijumpai tanda kehidupan pada hewan yang hampir mati disebabkan kecelakaan, seperti hewan-hewan yang tercantum dalam ayat di atas, maka sembelihan berlaku dan berefek halal dikonsumsi. 

Sementara menurut sebagain ulama dari golongan Syafi’iyah, tidak cukup dengan adanya tanda-tanda masih hidup, tetapi harus masuk dalam kategori kehidupan yang stabil (hayatun mustaqirrah), gerak normal, bukan gerak sakratulmaut. Tanda-tanda hayatun mustaqirrah adanya gerakan yang tak teratur atau gerakan keras setelah disembelih, atau munceratnya darah ketika urat leher terputus saat disembelih. Sementara riwayat dari Imam Malik menyebutkan bahwa jika diyakini sudah mati, meskipun bergerak, maka sembelihan tidak berefek. (Muhammad Ali al-Shabuni, Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam, Jilid I, hal. 527-528)

Status sembelihan terhadap hewan-hewan di atas juga berlaku pada hewan yang menderita sakit akibat penyakit atau keracunan dan dalam kondisi hampir mati. Menurut jumhur ulama sembelihan tetap berlaku dan berefek. Semenatar sebagian ulama yang lain, memutuskan tidak berlaku dan tidak berefek. Alasan mereka, sembelihan berlaku bagi hewan yang hidup, sementara hewan yang mendekati kematian dihukumi sama dengan hewan yang sudah mati, maka sembelihan tidak berefek dan tidak berpengaruh. (Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuh, Jilid III, hal. 672-673). []     

Wallahu a’lam Bisshawab!

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …