darurat dan hak
darurat dan hak

Kaidah Fikih Cabang Keempat: Darurat Tak Menggugurkan Hak

Dalam kondisi terdesak dan terpaksa seseorang diperbolehkan melakukan hal yang dilarang dan yang tidak dibolehkan dalam keadaan normal. Sebagaimana kaidah al-dlarurat tubihul mahdhurat. Kenyataan yang terjadi terkadang tindakan tersebut bersangkut paut dengan hak orang lain. Artinya, kebolehan dalam kondisi darurat tidak lantas menegasikan hak yang lain.

Islam sangat menjaga dan menghormati hak orang lain. Lalu apakah dispensasi hukum yang disebabkan kondisi darurat sekaligus juga menggugurkan hak orang lain? Pertanyaan ini yang menjadi perhatian kaidah cabang berikut ini:

اَلاِْضْطِرَارُ لاَ يُبْطِلُ حَقَّ اْلغَيْرِ.

(al-idlthirar la yubthilu haqqal ghair)

“Kondisi darurat tidak berarti menggugurkan hak orang lain”.

Kaidah ini menjelaskan bahwa kondisi darurat yang menyebabkan seseorang boleh melakukan hal-hal yang dilarang tidak serta merta dapat menggugurkan hak orang lain. Artinya, jika dalam tindakan dispensasi itu bersangkut paut dengan hak orang lain, maka hak tersebut tidak otomatis menjadi gugur. Dispensasi hukum dari haram menjadi mubah sebab kondisi darurat hanya sebatas menggugurkan dosa, bukan menggugurkan hak.

Aplikasi kaidah: seseorang yang terpaksa menggunakan/mengkonsumsi harta orang lain dalam kondisi terdesak dan darurat tetap harus bertanggung jawab untuk mengganti harta tersebut. Dispensasi itu hanya menggugurkan dosa yang disebabkan telah berbuat aniaya terhadap harta milik orang lain. Oleh sebab itu, orang tersebut tetap harus mengganti harta yang telah dimanfaatkan di kemudian hari.

Dalam konteks tanggung jawab ini, kondisi darurat terbagi menjadi dua kategori:

Kategori pertama, darurat yang bersifat samawi, yaitu darurat alami yang tak bisa diusahakan maupun ditolak, seperti keadaan sangat lapar dan haus, atau hewan yang tiba-tiba menerkam. Misalnya, tiba-tiba hewan milik Pak Amir menyerang dan mau menerkam Pak Hamdi. Dalam upaya menyelamatkan diri, hewan tersebut terluka atau bahkan terbunuh di tangan Pak Hamdi, maka Pak Hamdi tetap bertanggung jawab atas terbunuhnya hewan milik Pak Amir, meskipun dalam kondisi terdesak dan terpaksa. Dalam dua contoh di atas pelaku harus bertanggung jawab, karena termasuk kategori darurat samawi.

Kategori kedua, darurat yang bukan samawi, yaitu darurat karena faktor paksaan dari pihak lain (ikrah). Dalam kasus pemaksaan ini yang bertanggung jawab adalah pihak yang memaksa (mukrih), bukan pelaku (pihak yang dipaksa, mukrah). Misalnya, Pak Rudi dipaksa dengan ancaman oleh Pak Arman untuk membakar toko Pak Isman, atas dasar paksaan itu kemudian Pak Rudi melaksanakan apa yang diinstruksikan Pak Arman. Dalam kasus ini kerugian yang menimpa Pak Isman menjadi tanggung jawab Pak Arman (mukrih), bukan Pak Rudi (mukrah).

Hikmah kaidah dalam kehidupan. Agama Islam sangat tegas melarang ummatnya untuk melakukan tindakan yang dapat merusak dan merugikan orang lain, dalam bentuk sekecil apapun, bahkan dalam kondisi terdesak sekalipun. Bagaimanapun tindakan yang dapat merugikan orang lain merupakan sebuah kekeliruan dan tindakan yang tidak terpuji. Tebarlah manfaat kepada orang sekitar, andai kita belum mampu, minimal tidak membuat orang sekitar menjadi rugi. []

Wallahu ‘alam

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …