hemat berbicara
hemat berbicara

Kaidah Fikih: Hemat Berbicara

Dalam realitas sosial terdapat berbagai macam karakter manusia dalam mengungkapkan keinginan dan rasa. Karakter berbicara ini seringkali dikaitkan dengan cara seseorang bekerja dan bertindak.

Setidaknya ada empat macam karakter seseorang dalam berbicara. Pertama, tipe orang yang sedikit berbicara banyak bekerja. Tipe ini sangat pelit dalam berkata-kata, ia lebih suka action agar tanggung jawab segera tuntas.

Kedua, orang yang sedikit berbicara sedikit bekerja. Jenis ini miskin teori dan gagasan, di samping itu juga malasbekerja.

Ketiga, orang yang banyak berbicara sedikit bekerja. Tipe orang ini hanya omdo (omong doang), banyak teori, sedikit action.

Keempat, orang yang banyak berbicara dan banyak bekerja. Orang ini tidak hanya kaya teori dan gagasan, namun juga ulet dalam bekerja.

Bagaimana jika dalam melakukan transaksi seseorang berbusa-busa dalam menjelaskan barangnya, namun pada kenyataannya tidak sesuai? Kaidah berikut ini mencoba memberikan jawaban:

اَلْوَصْفُ فِي اْلحَاضِرِ لَغْوٌ وَفِي اْلغَائِبِ مُعْتَبَرٌ.

(al-washf fi al-hadlir laghwun wa fi al-ghaib mu’tabarun)

“Pemberian sifat terhadap benda yang berada di tempat transaksi (hadir) adalah sia-sia, sementara untuk benda yang tidak ada di tempat (ghaib) diperhitungkan.”

Al-washfu (memberi sifat) berarti menyebutkan kriteria barang yang dapat membedakan dengan barang yang lain, misalnya menyebutkan warna, merk, bentuk, tahun terbit, dan lain-lain. Sedangkan sifat (al-shifah) merupakan keadaan yang melekat pada suatu barang. Laghwun (sia-sia) berarti antara disebutkan dengan tidak statusnya sama saja.

Maksud kaidah ini bahwa penjelasan tentang kriteria barang yang dapat disaksikan saat transaksi sambil menunjuk barangnya merupakan penjelasan yang sia-sia dan tidak dianggap. Sedangkan penyebutan kriteria barang yang tidak ada di tempat saat transaksi tetap diperhitungkan dan dianggap.

Disebabkan tujuan dari menyebutkan kriteria adalah untuk memberi pengertian dan menghilangkan kesamaran suatu benda tertentu. Isyarat dengan menunjuk barang itu lebih kuat dari pada sekedar menyebutkan kriteria, sehingga penyebutan kriteri menjadi tidak berarti dan sia-sia.

Aplikasi kaidah: seorang penjual mobil berbusa-busa menjelaskan mobil dagangannya yang sudah ada di hadapan pembeli saat itu. Sehingga saat berlangsung ijab-kabul si penjual menyebutkan kriteria yang berbeda dengan mobil yang menjadi objek transaksi (mabi’).

Misalnya penjual bilang, “saya jual mobil Agya merah pengeluaran tahun 2011 ini”, padahal Agya berwarna putih, atau bukan Agya, tapi Ayla, atau tahun pengeluaran lebih baru, bukan 2011. Dalam kasus ini jual beli tetap sah, karena penyebutan kriteria tersebut menjadi sia-sia ketika mobil sudah nyata di depan mereka dan ditunjuk.

Sebaliknya, jika menjual mobil yang tidak ada di tempat saat transaksi dengan hanya menyebutkan merk, warna, tahun pengeluaran, lama pemakaian, dan seterusnya, maka semua kriteria tersebut menjadi pedoman dan diperhitungkan antara kedua belah pihak. Sehingga ketika melihat mobil secara langsung dan ternyata tidak sesuai dengan yang digambarkan, maka pembeli mempunyai hak memilih untuk melanjutkan atau menggagalkan.

Hikmah kaidah dalam kehidupan. Berbicaralah sesuai kebutuhan, jangan membicarakan hal-hal yang tidak penting secara berlebihan dan hal-hal yang sudah jelas tidak membutuhkan uraian. Alih-alih menambah kejelasan, yang terjadi malah membuat kekeliruan. []

Wallahu ‘alam

Bagikan Artikel ini:

About Zainol Huda

Alumnus Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo dan Dosen STAI Miftahul Ulum Tarate Sumenep.

Check Also

kaidah fikih

Kaidah Fikih: Serahkan kepada Ahlinya

Merupakan anugerah terindah Sang Pencipta ketika manusia yang ditugaskan menjadi khalifah di bumi memiliki beragam …

tergesa-tergesa

Kaidah Fikih: Beginilah Akibat Tergesa-gesa

Watak dasar manusia memang dirancang oleh Sang Pencipta sebagai makhluk yang suka tergesa-gesa, terburu-buru, dan …