Islam sangat menghargai kepemilikan seseorang atas harta benda. Perhatian penuh terhadap kepemilikan harta ini terejawantah dalam konsep maqashid syariah. Hifdz al-mal (melindungi harta) menjadi salah satu bagian dari lima prinsip umum (al-kulliyat al-khams).
Segala bentuk tindakan yang akan menodai dan mencederai terhadap kepemilikan seseorang terhadap harta sedapat mungkin harus dihindari dan dicegah. Kaidah berikut ini merupakan turunan dan kepanjangan tangan dalam mengaplikasikan prinsip melindungi harta (hifdz al-mal) di tataran praksis.
Kaidah tersebut berbunyi:
لاَ يَجُوْزُ ِلأَحَدٍ أَنْ يَّتَصَرَّفَ فِيْ مِلْكِ اْلغَيْرِ بِلاَ اِذْنِهِ
(La yajuzu li ahad an yatasharraf fi milk al-ghair bila idznih)
Artinya: “Bagi siapa pun tidak diperkenankan melakukan tindakan hukum terhadap harta orang lain tanpa seizin pemiliknya”.
Maksud kaidah ini bahwa siapa pun tidak diperbolehkan sekaligus tidak sah men-tasharruf-kan (melakukan tindakan yang berkonsekuensi hukum) terhadap harta milik orang lain tanpa izin. Syekh Ibrahim al-Hariri dalam kitab Al-Madkhal ila al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kulliyah mengomentari kaidah ini serta memberikan saran bahwa kata idznih dipenggalan terakhir sebaiknya tidak menggunakan kata ganti (dlamir), cukuplah dengan redaksi bila idznin, sehingga memiliki cakupan izin yang lebih luas.
Dalam term fikih terdapat tiga macam izin yang diperhitungkan secara syar’i seagai landasan untuk bertindak. Pertama, izin dari pemilik harta secara langsung. Kedua, izin syar’i, seperti mengambil paksa barang gadai milik orang yang mempunyai tanggungan hutang pada saat jatuh tempo dan tidak mampu membayar. Ketiga, izin ‘urfi, seperti izin yang sudah menjadi pengetahuan umum dan dikenal dalam kebiasaan masyarakat setempat, meskipun tidak langsung izin kepada pemilik (‘ulima ridlahu).
Sedangkan bentuk tindakan yang berkonsekuensi hukum terhadap harta milik orang lain ada dua macam. Pertama, bersifat perbuatan/tindakan dengan cara merusak, mengambil, memberikan kepada orang ketiga.
Kedua, bersifat ucapan seperti transaksi jual beli, menyewakan, sebelum terjadi serah terima objek barangnya. Jika sudah terjadi serah terima, maka tergolong macam yang pertama. Status transaksi yang hanya berhenti pada level ucapan masih ditangguhkan (mauquf). Jika kemudian mendapat izin dari pemiliknya, maka akad dapat dilanjutkan. Sebaliknya, jika tidak mendapat izin, maka akad menjadi batal.
Aplikasi kaidah: Ahmad menyeruput nasi bungkus yang sudah diketahui milik teman satu kosnya, maka dia wajib mengganti nasi tersebut. Terkecuali nasi tadi diketahui bahwa pemiliknya biasanya memperkenankan untuk dimakan, meskipun tanpa izin langsung dari pemiliknya (izin ‘urfi).
Hikmah kaidah dalam kehidupan: Sekecil apapun sebuah nilai harta jika itu berada di bawah kepemilikan orang lain, jangan menganggap remeh dengan bertindak sembarangan seraya beranggapan bahwa harta tersebut tidak penting. Islam sangat menghormati hak-hak orang lain sekecil apapun itu. Jika berkaitan dengan hak orang lain, jangan remehkan, jangan menganggap enteng. []
Wallahu a’lam Bisshawab.
Referensi primer:
Ibrahim Muhammad Mahmud al-Hariri, Al-Madkhal ila al-Qawaid al-Fiqhiyyah al-Kulliyah, Dar ‘Imar, 1998.
Ahmad bin Syekh Muhammad al-Zarqa’, Syarh al-Qawaid al-Fiqhiyyah, Damasykus: Dar al-Qalam, 1989.
Muhammad Mushthafa al-Zuhaili, Al-Qawaid al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi al-Mazahib al-Arba’, Beirut: Dar al-Fikr, 2009.
Islam Kaffah Media Pembelajaran Islam Secara Kaffah